logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Ketulusan Cinta Amira

Ketulusan Cinta Amira

Mak Halu


Chapter 1

"Dasar perempuan tidak tahu diri!" Seorang wanita berumur tiga puluhan datang menghampiri seorang gadis yang sedang melayani di meja pengunjung. Sontak, kejadian itu membuat semua pengunjung di sebuah restoran menatapnya.
Wanita yang sedang naik darah itu menjabak rambut gadis itu. Tak hanya menjambak, tetapi tamparan demi tamparan dilayangkan padanya. Sang gadis berusaha melepaskan tangan wanita itu dari rambutnya, tetapi usahanya sia-sia.
"Lepaskan! Aku tidak mengerti apa maksudmu!" seru gadis itu memberi pembelaan.
Wanita itu tidak menghiraukannya. Bahkan, dia akan kembali menampar gadis itu. Namun, dia tertahan saat seorang lelaki datang menghentikannya.
"Lepaskan aku!" teriaknya pada lelaki itu. Dia tersenyum kecut saat melihat lelaki itu yang tidak lain adalah suaminya. "Bukankah, dia adalah gadis simpananmu itu? Apa sekarang kamu bisa mengelak?"
"Hentikan! Apa kamu tidak malu?" Lelaki itu berusaha menarik tangan istrinya. Dia melirik ke arah gadis itu yang kini telah berdarah di bagian sudut bibirnya.
Gadis itu menatapnya. Ada tatapan benci dan marah yang merasukinya. Dia beralih menatap wanita itu. "Kalau tidak mau suamimu berselingkuh, maka jaga dia. Berikan apa yang dia inginkan. Jangan salahkan wanita lain! Apa kamu pikir, aku suka dengan suamimu? Tanyakan padanya, apa yang sudah dia lakukan? Apa aku yang merayunya? Ataukah dia yang ternyata lelaki mata keranjang?"
"Apa katamu? Jadi, kamu menyalahkan suamiku?"
Gadis itu membuka celemek yang dipakainya dan membantingnya di atas meja. "Lalu, kamu ingin menyalahkanku? Apa kamu pikir aku tertarik dengan suamimu itu? Aku masih punya harga diri. Aku bekerja dengan cara halal. Kalau untuk mendapatkan uang dengan cara seperti itu, aku bisa mencari lelaki yang lebih kaya dari suamimu, tapi aku bukan perempuan seperti itu. Mulai saat ini, aku berhenti! Dan ingat, perhatikan suamimu karena dia tidak hanya menggodaku, tapi juga karyawan yang lain. Camkan itu!"
Gadis itu kemudian pergi. Dia berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. Rasanya terlalu sakit saat dipermalukan di depan banyak orang hanya karena fitnah yang ditujukan padanya.
Dia pergi dengan mengangkat wajahnya karena dia merasa tidak bersalah. Untuk apa dia harus menunduk jika tuduhan itu tidaklah benar? Namun, ketegarannya akhirnya runtuh saat dirinya keluar dari restoran. Di sudut halaman, dia terduduk sembari menangis.
Gadis itu menunduk dengan isak tangis yang terdengar pilu. Hatinya begitu sakit saat dituduh sebagai perebut suami orang. Padahal, dia tidak pernah melakukan hal sebejat itu.
Di antara isakannya, dia merasa sentuhan lembut di kepalanya. Sontak, dia mengangkat wajahnya.
"Kakak kenapa menangis?"
Gadis itu terkejut saat melihat seorang gadis kecil yang berusia sekitar empat tahun berdiri di depannya. Gadis kecil itu bahkan menyeka air matanya.
"Kamu dengan siapa? Mana orang tuamu?" tanya gadis itu.
Gadis kecil itu menunduk sedih. "Aku datang bersama Papa dan juga Tante. Tadi aku ingin pipis dan Tante mengantarku ke toilet, tapi saat aku keluar, aku tidak melihat Tante lagi," jelasnya.
Gadis itu lantas membelai rambutnya. Gadis kecil itu sangat pintar dan menggemaskan. Untuk sesaat, dia terhibur dengan kehadiran gadis kecil itu.
"Ayo, Kakak antar cari Papa dan Tante, ya."
Gadis kecil itu mengangguk. Gadis itu lantas menggendongnya dan berniat untuk mencari ayah dan tante gadis kecil itu. Dia ingin masuk ke dalam restoran, tetapi dia enggan. Karena itu, dia meminta bantuan pada salah satu security untuk mencari tahu apakah ada pengunjung yang kehilangan anak.
Security itu lantas masuk dan menemui bagian informasi. Sementara gadis itu menunggu di luar. Tak lama, seorang wanita datang dan menarik gadis kecil itu dari gendongannya.
"Kamu mau menculiknya, ya?" tanya wanita itu dengan kasar. Sontak, gadis kecil itu pun menangis.
Seorang lelaki tiba-tiba datang menghampiri mereka.
"Papa," panggil gadis kecil itu yang kini menangis. Lelaki itu kemudian mengambilnya dari wanita itu.
"Ada apa ini? Kenapa Indah menangis?" tanya lelaki itu.
"Perempuan ini rupanya tak hanya pandai merayu suami orang, tapi dia juga pandai merayu anak kecil. Kalau tidak ada aku, Indah pasti sudah dibawa kabur olehnya. Ziyan, ayo laporkan dia pada polisi!" serunya dengan tatapan kebencian.
"Apa maksudmu? Aku tidak mungkin menculiknya. Apa kamu pikir aku tega melakukan hal itu?"
"Ah, jangan banyak alasan! Gadis murahan sepertimu memang pantas untuk masuk penjara. Jangankan anak kecil, suami orang pun kamu tega mengambilnya."
Walaupun membela diri, nyatanya dia selalu disudutkan. Dia akhirnya memilih untuk pergi, tetapi wanita itu menarik lengannya dan melayangkan tamparan ke pipinya. Kembali dia harus merasakan nyeri dan panasnya pipi karena tamparan itu.
"Rina, sudahlah! Jangan buat masalah lagi. Lagipula, Indah baik-baik saja," ucap lelaki yang bernama Ziyan itu.
"Tidak! Gadis sepertinya harus diberi pelajaran!"
Tiba-tiba, security datang menghampiri mereka. "Maaf, ada apa ini?"
"Pak, tangkap gadis ini! Dia hampir saja membawa kabur keponakanku," jawab Rina.
"Sepertinya ini hanya salah paham," ucap security itu.
"Apa maksudnya, Pak?" tanya Ziyan.
"Nona Amira tadi sudah melapor padaku kalau ada anak kecil yang lepas dari tantenya. Karena itu, dia meminta padaku untuk memberitahukan melalui ruang informasi, siapa tahu ada orang tua yang kehilangan anaknya,'" jelas security itu.
Lelaki yang bernama Ziyan itu terkejut dan menatap gadis yang bernama Amira. "Maafkan kami. Kami tidak tahu, kalau ...."
Gadis itu kemudian pergi. Dia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dari mereka. Hatinya sudah terlanjur sakit karena tuduhan bertubi-tubi.
"Maafkan aku, Ziyan. Aku ...."
"Seharusnya kamu meminta maaf pada gadis itu. Kamu sudah salah sangka padanya. Lalu, kenapa kamu bisa terpisah dari Indah? Bukankah kamu bilang akan menjaganya?"
Wanita itu terdiam. Ziyan kemudian meninggalkannya.
"Ziyan, aku bisa jelaskan semuanya. Aku tidak sengaja meninggalkan Indah karena aku ...."
"Sudahlah, Rina. Aku tidak bisa melanjutkan semuanya. Bagaimana bisa aku memercayakan putriku pada wanita yang tidak bisa menjaganya? Rina, Indah itu keponakanmu. Bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan pernah memaafkanmu." Ziyan kemudian masuk ke mobilnya. "Kamu pulang sendiri saja. Aku pergi."
Lelaki itu kemudian melajukan mobilnya dan meninggalkan Rina yang terlihat marah dan kesal. Sementara Indah, duduk bersandar sambil memperhatikan ayahnya.
"Papa, apa Papa marah pada Indah?"
Ziyan menghentikan mobilnya di sisi jalan. "Tidak, Nak. Papa tidak marah pada Indah. Indah tidur saja, nanti Papa gendong kalau sudah sampai di rumah," ucapnya sambil mengecup dahi putrinya itu.
Tampak hujan gerimis membasahi jendela. Ziyan berniat untuk menutup jendela mobil, tetapi pandangannya tertuju pada seorang gadis yang belum lama ini dijumpainya.
"Itu kakak yang tadi 'kan, Pa?" tanya gadis kecil itu. Ziyan mengangguk.
"Kakak itu tadi juga menangis. Indah kasihan padanya. Padahal, Kakak itu sangat baik padaku. Tadi, saat aku menangis, Kakak itu memelukku dan akan mengantarkanku pada Papa, tapi Tante Rina datang dan memarahinya," jelas gadis kecil itu sambil menatap gadis yang duduk seorang diri di salah satu bangku taman.
Gadis yang bernama Amira itu sedang duduk menumpahkan tangisnya yang tertahan. Di depan orang, dia berusaha tegar walau hatinya hancur penuh luka. Dia berusaha tabah walau hatinya hancur berkeping-keping.
Ziyan masih menatapnya. Ada rasa bersalah saat melihat gadis itu menangis. Dia lantas ingin mendekati gadis itu, tetapi hujan turun semakin deras, hingga membuatnya tertahan.
Amira lantas pergi sambil berlari meninggalkan tempat itu. Dia menyusuri jalanan yang diguyur hujan lebat. Tanpa peduli dengan kondisinya yang kini telah basah kuyup.
Di kamar kostnya, Amira berbaring sekadar melepaskan lelah dan kegelisahannya. Dia menatap langit-langit kamar yang remang-remang.
"Ibu, maafkan aku. Aku tidak bisa membahagiakanmu." Air matanya jatuh saat mengingat ibunya. Ibu yang saat ini sedang terbaring lemah di rumah sakit karena penyakit yang menderanya.
Amira, gadis berusia 23 tahun itu terlihat sedih. Di usianya yang masih muda, dia harus menanggung beban kehidupan yang cukup berat. Ibunya menderita sakit yang memaksanya untuk mencari uang. Biaya pengobatan ibunya membuatnya harus bekerja siang dan malam. Bahkan, untuk mengurus keperluannya saja dia tidak sempat.
Amira memiliki wajah yang cantik. Karena itulah, mantan bosnya yang memiliki restoran sangat menginginkannya. Dia dirayu dengan segala cara agar bisa menjadi kekasih gelap lelaki itu.
Walau sudah menolak, tetapi lelaki mata keranjang itu sama sekali tidak memedulikan penolakannya. Bahkan, dia melapor pada istrinya kalau Amira-lah yang merayunya. Karena itu, wanita pemilik restoran itu marah besar.
Amira mengembuskan napas kasar. Setidaknya, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menenangkan hatinya. Tak lupa, dia selalu berdoa pada Sang Khalik agar selalu diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi ujian-Nya.
Sementara Ziyan, baru saja menidurkan putrinya. Dia duduk di ruang kerjanya sambil menatap foto seorang wanita yang tersenyum. Wanita yang mengenakan gaun pengantin sembari menggandeng tangan mempelai pria yang tidak lain adalah dirinya.
"Rani, aku merindukanmu," ucapnya lirih. Dia menyentuh foto itu dengan lembut. Kenangan bahagia di masa lalu kembali hadir. Kenangan yang membuatnya sulit untuk menemukan pengganti.
Rani adalah istrinya yang empat tahun lalu meninggal dunia karena melahirkan buah cinta mereka. Wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta dengan kelembutan dan juga kecantikannya.
Mereka bertemu dan berpacaran selama dua tahun dan memutuskan untuk menikah. Namun, kebahagiaan mereka dalam mengarungi rumah tangga hanya berlangsung satu tahun saja. Karena tidak lama, istrinya meninggal dunia.
Tak terasa, air matanya jatuh saat mengingat istrinya itu. Dan kini, dia dihadapkan pada permintaan mertuanya untuk menikahi adik kembar Rani yang tidak lain adalah Rina. Namun, hati kecilnya menolak karena dia sama sekali tidak menyukai adik iparnya itu.
Mereka memang memiliki wajah yang identik. Namun, sifat dan perangai keduanya sangat jauh berbeda. Rani sangat lembut dan perhatian. Sementara Rina, sangat susah diatur dan tentu saja kurang menyukai anak-anak. Karena itu, Ziyan sudah berniat untuk menolak permintaan mertuanya.
Keesokan harinya, Amira menjenguk ibunya di rumah sakit. Wanita itu terlihat lemah. "Bu, aku datang," ucapnya sambil menggenggam tangan ibunya. Wanita paruh baya itu hanya diam karena dia telah dinyatakan koma sejak dua hari yang lalu.
"Ibu baik-baik saja, kan? Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja. Aku akan mengeluarkan Ibu dari sini dan kembali ke rumah. Aku ingin merasakan masakan Ibu lagi."
Amira menahan air matanya. Rasanya begitu sakit saat melihat orang yang disayang lemah tak berdaya.
Setiap pagi, Amira selalu datang menemui ibunya untuk membersihkan wajah dan tubuhnya. Setelah itu, dia harus pergi bekerja untuk mengumpulkan uang. Biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dia optimis kalau suatu saat nanti, ibunya bisa kembali pulih dan tinggal bersamanya lagi.
Pagi ini, dia harus mencari pekerjaan baru. Selama bekerja di restoran, gajinya belum cukup untuk menutupi biaya rumah sakit. Karena itu, dia menyusuri setiap jalan dan bertanya pada beberapa toko atau kafe yang membutuhkan karyawan. Namun, selama sehari itu dia hanya mendapat penolakan demi penolakan. Keesokan harinya, dia melakukan hal yang sama. Namun, lagi-lagi dia harus kecewa.
Di bangku taman, dia duduk sambil memperhatikan selembar kertas. "Mohon selesaikan semua tunggakan ini. Jika tidak, dengan berat hati, ibumu akan dikeluarkan dari rumah sakit," ucap seorang dokter yang menangani ibunya.
Amira merasa putus asa. Dia merasa takdir terlalu kejam padanya. Di saat dia berlaku jujur, orang-orang malah menuduhnya dengan keji.
"Apa aku harus benar-benar melakukannya agar mereka puas? Apa salahku hingga takdir begitu kejam padaku?"
Dia menangis meratapi nasib diri. Tidak ada tempat baginya untuk meminta bantuan. Walau tak jemu memohon dan meminta pada Sang Pencipta, nyatanya cobaan demi cobaan selalu saja menghampirinya. Dia kini lelah. Dia putus asa.
Dengan langkah tak pasti, dia berjalan menyusuri jalanan yang ramai, tetapi baginya terasa sepi. Hingga tiba-tiba, dia terkejut saat seorang gadis menepuk pundaknya. "Amira! Kamu Amira, kan?"
Amira menatapnya sesaat. "Maaf, apa kamu mengenalku?"
"Aku Irene. Apa kamu lupa? Kita 'kan satu sekolah waktu SMA dulu," jelas gadis itu.
Amira menatapnya sekadar mencari kebenaran dari ucapan gadis itu. "Ah, aku ingat," jawab Amira sambil tersenyum.
"Kamu mau ke mana?" tanya gadis itu. Amira tersenyum kecut.
"Aku ...."
"Apa kamu sudah bekerja?" tanya gadis itu lagi.
"Aku ...."
Gadis itu lantas tersenyum. "Apa kamu sedang mencari pekerjaan?"
Amira mengangguk pelan.
"Apa kamu mau bekerja di tempatku? Aku memiliki sebuah kafe. Dengan wajahmu yang cantik, aku rasa tamu-tamuku akan senang," ucapnya pada Amira.
Mendengar tawaran kerja, Amira mengangguk. Dia lantas mengikuti Irene menuju ke sebuah tempat.
Sebuah kafe dengan dekorasi yang unik menjadi tujuan mereka. Kafe itu terlihat ramai, tetapi bukan kafe yang menjadi tujuan bagi anak-anak muda. Kafe itu disediakan khusus untuk para eksekutif muda yang ingin bersenang-senang ataupun ingin membicarakan bisnis mereka.
Amira lantas dibawa ke salah satu ruangan. Irene menyodorkannya seragam yang harus dikenakan saat bekerja. "Gunakan pakaian ini. Aku akan membayarmu di muka. Karena kita berteman, aku tidak ingin menyulitkanmu."
Gadis itu memberikannya uang sebesar lima juta rupiah. Amira terkejut.
"Ambillah, itu gajimu. Kamu bisa mendapatkan lebih dari tamu-tamuku. Karena itu, kamu harus selalu tersenyum. Mengerti!"
Amira mengangguk. Irene kemudian pergi. Amira memegang uang lima juta itu sembari tersenyum. Setidaknya, biaya rumah sakit bisa terselesaikan.
Setelah mengenakan seragam, Amira lantas keluar menuju ruangan di mana terlihat ramai dengan pengunjung.
Ternyata, itu bukan hanya kafe, tetapi juga menjadi tempat karaoke. Banyak pengusaha yang datang ke sana.
Setelah Irene menjelaskan tentang tugasnya, Amira lantas mulai bekerja. Dia membawa sebuah nampan yang berisi beberapa kaleng minuman dingin ke salah satu meja. Dia menganggap pekerjaannya kali ini sama seperti sebelumnya. Hanya menjadi pelayan dan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Namun, semua itu berbanding terbalik. Seorang lelaki dengan mudahnya menyentuh bagian belakang tubuhnya. Tak terima, Amira lantas menamparnya.

Comentário do Livro (154)

  • avatar
    AmeliaIca

    Bgus skli

    3d

      0
  • avatar
    ranissafiyaa

    🥹🥹🫶🏻🫶🏻🫶🏻💗💗💗✨

    29/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus bgt sedikit nguras emosi alur ceritanya😘

    04/05

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes