logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5 Kamar 102

Apa yang harus kuperbuat dengan lelaki bertopeng ini? Apa harus kubuat Salma dan Nadira membencinya? Atau kuberi pelajaran saat ini juga? Batinku berapi. Tubuh bergetar menahan bara amarah yang mulai menyala dengan sebuah pisau buah di kepalku.
Sesadarnya dari tidur, mata Andre tertuju pada sebuah pisau di tanganku. Ia mengerutkan dahi. "Buat apa Sayang bawa pisau ke kamar?" tanyanya tanpa curiga.
“Tolong kupaskan aku apel. Tanganku kebas terus,” pintaku pada akhirnya.
Akal sehatku mengatakan, hampir saja aku melakukan hal terbodoh sepanjang hidup. Apa akan menjadikan anak-anak sebagai yatim? Atau ia hanya luka, masuk rumah sakit kemudian pulih. Sedangkan aku mendekam di jeruji besi untuk mempertanggungjawabkannya.
“Siap. Tunggu ya, Sayang!” Ia segera beranjak mengambil alih pisau di tanganku, lalu pergi menuju dapur untuk mengambil buah apel.
“Iya.”
Segera kubersihkan diri yang berasa lengket karena beraktifitas seharian. Guyuran shower menghantarkan air membasahi setiap helai rambutku hingga mencapai kulit kepala. Berharap tidak hanya memebrsihkan keringat dari tubuh, melainkan membersihkan pikiranku dari kerikil tajam.
Lima belas menit berlalu. Kini piyama kimono telah membalutku. Kutarik selimut untuk menjemput mimpi yang indah agar bisa menggantikan kenyataan hidup yang pahit.
“Sayang,” panggil lembut Andre di telinga terasa menggelitik.
"Iya, Mas."
"Ini apelnya sudah dikupasin dan dipotong. Mau aku suapin?"
Aku mengambil posisi duduk. "Apa tidak merepotkan?"
"Tidak, Sayang. Mas mengerti kamu akhir-akhir ini sibuk hingga tidak sempat memperhatikan dirimu sendiri. Lihat istri tersayang Mas, kurusan.”
“Istri tersayang?”
“Iya.”
“Kenapa aku istri tersayang? Apa ada yang di sayang lagi?"
"Hus, ngaco kamu! Istri mas ‘kan Cuma kamu," ujarnya sambil menyuapkan potong demi potong apel ke mulutku.
"Mas, apa aku tidak sedang bermimpi? Aku mohon, jangan pernah berubah! Jadikan aku wanita satu-satunya yang kamu cintai seumur hidupmu. Sungguh aku tidak akan sanggup jika kamu memiliki wanita lain. Ingat selalu anak-anak kita, Mas,” tuturku lalu menghambur kepelukannya dengan tangis menyeruak.
"Sayang, kamu kenapa menjadi melow begini? Apa karena peran kamu di film kali ini sebagai istri yang dipoligami? Jadi bapernya sampai terbawa ke rumah.”
“Mas, tahu dari mana kalau aku memerankan tokoh sebagai istri yang dipoligami?" Tanyaku sambil mendongakkan kepala.
"Mas sempat baca skripmu yang tergeletak di meja makan tadi pagi."
"Oh."
"Sayang, kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh. Sekarang minum dulu, ia menyodorkan satu gelas air hangat setelah melepas pelukanku. “Sekarang kamu tidur,” titahnya sehabis aku meneguk segelas air itu.
Aku bak kerbau dicocok hidung. Menurut saja dengan apa yang dikatakannya. Perlahan mata ini terpejam di dada suami yang kini bukan hanya aku saja yang bisa menikmatinya. Sesakit inikah sebuah pengkhianatan?
**
“Sayang, apa kamu tahu kenapa kemunculan pelangi tidak pernah penuh lingkarannya?”
“Ye, memang pelangi itu hanya setengah lingkaran, Mas.”
"Kata siapa hanya setengah lingkaran? Mau tahu kenapa yang terlihat hanya setengah?"
"Kenapa coba?"
"Karena setengahnya lagi ada di matamu, Dinda.”
“Ingat! Hasna, Hasna, Hasna bukan Dinda,” tegas pengawas naskah penuh penekanan.
“Oh, sorry-sorry!” sesal Riza, lawan mainku.
Pasalnya ini sudah kedua kali diulang, Riza masih saja menyebut nama asliku dalam scene.
“Camera on,” seru sutradara pada juru kamera. “Action!”
“Sayang, apa kamu tahu kenapa kemunculan pelangi tidak pernah penuh lingkarannya?” Mata Riza menatapku hangat.
“Ye, memang pelangi itu hanya setengah lingkaran, Mas.”
"Kata siapa hanya setengah lingkaran? Mau tahu kenapa yang terlihat hanya setengah?"
"Kenapa coba?"
"Karena setengahnya lagi ada di matamu, Hasna.” Matanya menatap dalam.
“Bungkus!” seru sutradara mengonfirmasi bahwa adegan yang telah direkam sudah memenuhi ekspektasinya.
Akhirnya hari ini syuting dimulai juga setelah menjalani proses yang lumayan panjang.
“Dopping-dopping,” ucap salah satu seksi konsumsi dengan membawa beberapa kopi di nampan lengkap cemilan ringannya.
Di waktu jeda ini aku hanya meneguk botol air mineral dan make up artisku sibuk merapihkan hijab yang kukenakan. Karena dalam film kali ini aku memerankan seorang muslimah yang taat.
“Maaf, saya tadi grogi banget. Soalnya terasa mimpi bisa syuting sama artis sekelas Kakak,” aku Riza padaku.
“Kamu ini berlebihan. Anggap saja aku ini teman lama kamu. Biar kita enjoy dalam bekerja.”
“Serius? Tidak apa saya menganggap Kak Dinda sebagai teman lama?”
“Serius. Panggil saja Dinda, Enggak usah pake Kak.”
“It’s ok Din-dinda.”
“Nah, gitu lebih asyik. Satu lagi, bicaranya santai saja tidak usah formal.”
Riza mengangguk-angguk seraya tersenyum.
**
“Hei, lagi pada ngapain?”
“Eh, Mama. Tumben pulang cepat?” tanya Nadira.
“Proses syutingnya berjalan lancar.”
“Bagus kalau begitu.”
“Lho, Mama sekarang berhijab?” tanya Salma.
“Oh, ya ampun! Mama lupa hijabnya tadi belum dilepas. Mama ‘kan syutingnya memerankan wanita berhijab,” terangku.
“Tapi mama cantik banget lho, berhijab,” pujinya.
“Masa?”
“Iya, terlihat anggun banget,” imbuh Nadira.
“Terima kasih. Oya, papa belum pulang?”
Belum, tadi papa menelepon, katanya hari ini pulang telat karena masih ada urusan kantor," jelas Salma.
Aku teringat kembali akan isi chat mereka yang akan janjian di Hotel Jonson jam 19;00 wib. Kutengok jam dinding, sudah menunjukan pukul 18.45 wib.
“Oya Sal, Nad, Mama lupa naskah mama ketinggalan di lokasi syuting. Mama harus cepat-cepat balik lagi.”
“Yah, Mama. Apa tidak bisa telpon saja asisten Mama untuk mengambilkannya? Apa sangat penting?” tanya Salma kecewa.
“Sangat penting sayang. Mama harus menghapal naskahnya malam ini. Mama pergi dulu ya,” pamitku buru-buru.
Semoga anak-anak tidak kecewa lebih jauh. Segera ku lajukan mobil menuju hotel Jonson. Sekitar dua puluh menit aku sudah sampai di loby-nya.
“Mbak, saya mau kunci kamar no. 102,” pintaku pada resepsionis.
“Tidak bisa, Bu! Nomer 102 sudah ada pelanggan kami,” tolaknya halus.
“Saya sedang tidak memesan kamar. Saya hanya mau kunci nomer 102,” tegasku.
“Anda siapa memangnya?”
“Apa pemesan kamar nomer 102 adalah atas nama Andre?”
Resepsionis melihat buku tamu terlebih dahulu sekilas. “Iya, betul.”
“Saya istri sahnya,” terangku lantang.
“Tapi, maaf. Tetap saja kami tidak bisa memberikan kunci sembarangan kalau Anda belum ada janji dengan pak Andre sendiri,” kukuhnya.
“Saya ini istrinya. Kenapa harus ada janji dulu?” Nadaku meninggi.
"Maaf ini sudah prosedurnya, Bu," sesalnya.
"Saya tidak mau tahu! Kasih saya kuncinya!" sarkasku.
"Saya konfirmasi dulu sama pak Andrenya."
"Jangan! Kalau kamu mengkonfirmasi, saya tidak akan bisa menangkap basah mereka."
"Tapi, bu …."
"Berikan saya kuncinya!" titahku sambil menggebrak meja. Rasanya kesabaranku semakin menipis
"Ada apa ini ribut-ribut?" Tanya seseorang berdasi menghampiri.
"Pak, ibu ini memaksa minta kunci nomer 102. Katanya dia istri dari pemesan kamar itu," lapornya.
"Maaf, saya manajer front office hotel ini. Kami tidak bisa sembarangan memberi kunci pelanggan. Itu melanggar prosedur dan privasi," jelasnya.
"Anda tahu siapa saya?" Aku membuka kaca mata hitam yang sedari tadi menutup mataku yang berapi-api. Jilbab yang belum sempat kubuka pun segera kutanggalkan.
"Dinda Alfiora?" Ia menyebut nama lengkapku sebagai artis. Tentu semua orang tahu siapa aku. Terlebih karena promo iklan filmku sudah gencar dimana-mana.
"Ya. Berikan saya kuncinya. Kalau tidak, saya akan memanggil wartawan ke sini. Dan memberitakan kalau hotel ini melindungi pasangan berzina," ancamku tidak main-main.
"Ba-baik bu. Berikan kuncinya," perintah manajer front office pada akhirnya.
Dengan gugup resepsionis tadi mengambil kunci kamar no. 102. “Ini bu.” Ia menyerahkannya sebuah cardlock padaku.
“Maaf atas ketidaknyamannya. Mari saya antar,” ajak manajernya.
Tuk, tuk, high heel ku beradu dengan lantai hotel. Setelah naik lift dua lantai, kamar no. 102 sudah di depan mata. Kusiapkan camera on di ponsel. Kuketukan cardlock pada sebuah kotak sensor, setelah lampu sensor berwarna hijau, pintu bisa terbuka.
Aku meradang saat mata menangkap langsung gundik yang hanya mengenakan pakaian dalam sedang asyik memainkan ponsel di atas kasur. Kuyakin itu si Mila, meski belum pernah bertemu dengannya. Rasa iri mencuat, hawa semakin panas bak gunung sedang erupsi. Dia masih muda dan … ekhm, cantik. Aku benci mengakui hal tersebut.
“Apa-apaan ini?” berangnya menyadari ada yang menerobos masuk.
“Mana suamiku, Jalang?” teriakku.
“Maksud Anda apa?” tanyanya so’ tak paham.
“Jangan pura-pura!”
Plakk! Satu tamparan mendarat di pipinya.
"Apa yang telah Anda lakukan, hah?" sentaknya kesetanan dan bangkit dari kasur.
"Dasar gundik murahan!" celaku.
Tangannya langsung melayang hendak menamparku balik. Namun, kutangkap sebelum mendarat. “Sialan!” Sorot matanya tajam.
Kuhempaskan kasar tangannya dari cekalan. “Aw.” Ia terjengkang ke kasur.
Terdengar samar-samar suara shower dari arah kamar mandi. Mungkinkah dia yang kucari sedang membersihkan dirinya di sana? Langkahku tergesa, rasanya ingin mencabik lelaki pengkhianat itu.
Kugedor pintu kamar mandi dengan tidak sabar. “Buka!” teriakku menggelegar di ruang kamar hotel.
***

Comentário do Livro (144)

  • avatar
    RahayuSingku

    Ceritanya memberi kita pelajaran apa itu sebuah balas dendam? Sumpah ni novel keren banget. rugi klo gak baca. best author 👍👍👍

    07/05/2022

      0
  • avatar
    Arga Ahsanul Hakim

    Nice

    19d

      0
  • avatar
    Cepot Bouble

    sangat kerennya

    19d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes