logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 4 Chat Panas

“Sayang, baru pulang?” tanya Andre yang sedang duduk di ruang tamu.
“Kamu menungguku, Mas?”
“Iya. Kenapa tadi ditelpon tidak diangkat?”
“Oh, aku hanya menggetarkan ponselku dan ponselnya dalam tas, jadi tidak terdengar.”
“Bagaimana hari pertama kamu kembali ke dunia artis?” tanyanya dengan seulas senyum.
Aku pikir dia akan terus mengintrogasi atau marah karena aku pulang terlalu larut tepat pukul 23:00 WIB.
“Lumayan cape. Tadi aku bertemu banyak rekan-rekan lama. Ngobrol sana sini. Terus kami juga makan-makan bareng. Makanya aku pulang larut. Besok-besok tidak akan kuulangi,” paparku merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Sayang. Anak-anak sudah tidur, kok.”
“Tapi mereka sempat makan malam dulu?”
“Iya dong. Tadi mas masakin mereka spaghetti.”
Aku memang tidak pernah ragu saat anak-anak bersama papanya. Andre sedari dulu memang sosok orang tua yang sangat perhatian pada anak. Bahkan kalau mereka sakit, dia lah yang semalaman tidak tidur. Dari segi apa pun, Andre unggul kalau sudah berkaitan dengan anak-anaknya. Sayang sekali kesempurnaanmu kini cacat karena pengkhianatan. Bahkan mungkin kamu berencana akan membuangku seperti isi chat dari si gundik Mila.
"Sayang, kok bengong? Ada yang dipikirkan?"
"Tidak, Mas. Hanya lelah mau istirahat."
Aku semakinn tidak bisa menyembunyikan kekecewaan ini. Harus bagaimana lagi besok-besok aku berakting agar terlihat baik-baik saja?
"Ya sudah. Sebelumnya mandi air hangat dulu, biar tidurnya nyenyak," saran Andre.
**
"Pagi Mah," sapa Salma yang sedang menyantap sarapan paginya.
"Pagi juga," balasku yang baru keluar kamar.
"Eh, Sayang sudah bangun?" Tanya Andre yang masih sibuk menyiapkan sarapan. Mungkin untukku.
"Masakan papa emang selalu sedap," puji Nadira.
"Ya sudah, mulai sekarang setiap pagi, biar papa saja yang masak," usulku ketus.
"Ih, mama merajuk ya? Masakan mama juga sedap kok," ujar Nadira.
"Ekhm," dehamku.
"Mama kenapa sih tampangnya sudah jadi artis jadi judes gitu?" tanya Salma.
"Mama, hanya cape saja sayang. Atau mungkin mama lagi datang bulan," bela Andre.
"Ah, Papa selalu belain Mama terus."
"Eh, bukan belain. Memang benar kan, Mah?"
Aku hanya diam tidak merespon. “Tuh 'kan Mama judes,” kukuh Nadira.
“Ayo, habiskan sarapannya. Jangan godain mama terus,” ujar Andre.
“Siapa juga yang godain? Papa bela mama terus ih," protes Salma.
"Wajarlah, Kak. Papa ‘kan bucin banget sama Mama," celetuk Nadira.
"Uhuk, uhuk …." Aku yang sedang minum langsung tersedak.
"Cie, cie ... Mama sampai batuk-batuk," goda Nadira.
"Adek, tahu bucin dari mana kamu?" Selidik Salma.
"Dari Papa."
Bola mataku langsung memutar ke arah papa anak-anak. Andre pasti paham kalau aku tak suka jika dia mengenalkan kosa kata gaul seperti itu. Namun, bukan suamiku namanya kalau tidak bisa ambil hati.
"Iya dong. Papa memang bucin banget sama Mama kalian. Ya enggak, Mah?"
Andre menghampiriku dan langsung mengecup pucuk kepalaku di depan anak-anak.
"Hihi, Papa genit!" seru Nadira.
"Haha …." Mereka semua tertawa bersama. Sementara aku hanya menyunggingkan senyum. Itu pun dipaksakan.
Hal seperti ini bukan untuk yang pertama kali. Andre sering mengekpresikan rasa cinta yang besar kepadaku di depan anak-anak. Biasanya aku akan tersipu dan membalas godaan mereka. Kali ini? Entahlah. Rasaku tidak tersentuh sama sekali. Kecuali rasa sakit yang kian mendalam.
**
Aku sudah memutuskan untuk memilih sebuah film yang diangkat dari sebuah novel terkenal. Film yang bergenre melow-drama. Karena mengisahkan tentang poligami yang dilakukan diam-diam dan tersakitinya hati seorang istri pertama. Saat naskah ini ada di deretan naskah yang disodorkan, aku langsung memilihnya tanpa pertimbangan.
“Tumben kamu memilih genre yang berbeda?” tanya Ari.
“Aku hanya ingin belajar keluar dari genre nyamanku saja,” timpalku.
Dulu aku dikenal sebagai aktris yang menyukai genre aksi. Namaku pun melejit lewat film-film bergenre tersebut. Aku suka wanita yang kuat, suka adegan bag big bug dan suka adegan memainkan pistol dari pada sebuah adegan kumenangis.
“Apa genre ini mewakili keadaanmu sekarang ini?” pertanyaan Ari menohok.
Bagaimana bisa dia menebak apa yang sedang kualami. Padahal sudah berusaha menyembunyikannya.
"Ri …." Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain air mata yang tidak mampu kubendung.
Ari mengusap-usap punggungku. "Sabar cin, akika yakin kamu wanita kuat. Seperti peranmu di film-film. Jadikan ini modal sukses. Setidaknya ada keuntungan yang you dapat saat memerankan karakter yang sesungguhnya sedang dialami. You akan bermain dari hati tentunya,” papar Ari.
"Hatiku sakit Ri," ucapku terisak-isak.
"Ya, sebelum you cerita banyak juga, akika dapat merasakannya. You janji akan menceritakannya ‘kan?"
“Eh, Din kenapa menangis?” tanya sutradara tiba-tiba saat memergokiku berlinang air mata.
“Oh, ini Si Cinta terlalu menghayati perannya Bos,” jelas Ari.
"Ya ampun, kamu memang selalu totalitas dalam genre apapun. Tidak salah rumah produksi ini memilihmu." Ia terkagum-kagum. Aku tersenyum lebar seraya menghapus air mata.
"Bagaimana perlengkapan syuting sudah siap?" tanya produser ke asisten produksi.
"Baru 80%, Bos."
"Hello semuanya," sapa seseorang berkacamata hitam tiba-tiba.
"Hello juga, Brow. Ayo cepat sini!” seru produser.
"Din, kenalkan ini lawan mainmu."
"Dinda." Aku mengulurkan tangan.
"Riza. Jadi benar lawan main saya seorang artis papan atas?" tanyanya sambil membuka kacamata.
"Iya dong. PH kami akan buat gebrakan baru," jawab sang produser.
"Suatu kehormatan bisa bermain film bersama Anda. Jujur saya ngefans dan kagum sama Anda," akunya lalu.
"Saya juga kagum sama Anda. Masih muda sudah menyabet banyak penghargaan di dunia perfilman. Benar-benar berbakat,” balasku tidak kalah.
Meski sudah tidak terjun, tapi sekali-kali aku masih mengikuti perkembangan industry ini. Sering sekali aku mendengar namanya wara-wiri di layar kaca. Usianya terpaut delapan tahun lebih muda dariku.
"Awal yang bagus karena kalian saling kagum. Semoga menjadi rekan acting yang loyal dan klop agar proses pembuatan film kita berjalan sesuai harapan," cetus sutradara.
"Aamiin," ucap kami serempak.
Mulai hari ini aku benar-benar disibukkan dengan persiapan syuting. Saling mengenal lebih jauh semua pemeran yang terlibat agar kami mudah membangun kemistri team.
Tidak jarang pulang kerja, aku langsung tepar. Pengertian dan perhatian Andre dalam mendukung karirku, membuatku terus maju. Ia bahkan selalu menyiapkan sarapan serta suplemen harian. Seringkali ia juga menelepon hanya untuk memastikan apakah istrinya sudah makan atau belum.
Semua itu Hampir saja membuatku lupa akan pengkhianatannya kalau saja tidak membaca kembali isi chat yang sudah tersadap.
**
Seperti malam-malam sebelumnya ku tiba jam sepuluh malam di rumah. moodku benar-benar hancur ketika kumemeriksa isi chat sadapanku.
Kutarik kasar kursi meja makan dan duduk untuk meneguk sebotol air soda. Kemarin-kemarin chat itu selalu sepi. Paling isinya say hallo doang. Mungkin selebihnya mereka melakukan percakapan via telpon. Namun, kali ini chat mereka kembali menguras kesabaran.
[Honey, bagaimana servisku tadi?]
[Seperti biasa, selalu bikin nagih.]
[Ya dong. Emangnya kayak istri tuamu yang maunya dipuaskan mulu.]
[Besok sepulang kantor kita bertemu lagi di Hotel Jonson.]
[Masih kamar no. 102 ‘kan ?]
[Yes.]
Segera kucari sosok pengkhianat yang mungkin sudah terlelap. Blug, kubanting pintu kamar saat menutupnya kembali.
Benar saja Andre tengah tertidur pulas dan seketika terperanjat. “Sa-sayang? Itu kamu?” tanyanya sambil mengucek mata dan menggedikkan kepala untuk mengumpulkan kesadaran.
Apa yang harus kuperbuat dengan lelaki bertopeng ini? Bagaimana caranya agar topengnya bisa kurobek? Agar Salma dan Nadira bisa melihat betapa jahatnya ia. Apa harus kubuat mereka membencinya? Atau kuberi pelajaran saat ini juga? Batinku berapi. Tubuh bergetar menahan bara amarah yang mulai menyala dengan sebuah pisau buah di kepalku.
***

Comentário do Livro (144)

  • avatar
    RahayuSingku

    Ceritanya memberi kita pelajaran apa itu sebuah balas dendam? Sumpah ni novel keren banget. rugi klo gak baca. best author 👍👍👍

    07/05/2022

      0
  • avatar
    Arga Ahsanul Hakim

    Nice

    19d

      0
  • avatar
    Cepot Bouble

    sangat kerennya

    19d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes