logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Sosok Ayah?

Tiba hari keseratus setelah ayahnya wafat, Fauzan duduk di bangku depan rumahnya. Sesekali ia menoleh ke arah kanan rumah. Di depan pintu dapur, banyak ibu-ibu yang sedang sibuk membantu. Mulai dari mengupas sayuran, membereskan kayu bakar sampai ibu-ibu yang hilir mudik keluar masuk dapur.
Tatapan matanya teralihkan ke arah kiri rumah, di mana jalan setapak itu berada. Fauzan menghela napas kasar, lagi-lagi ia melihat Kono yang membawa kayu bakar. Dalam satu hari ini, sudah sepuluh ikat kayu itu dibawanya.
Fauzan bergeming, tatapannya tetap menatap Kono yang berjalan mendekat, hingga pria itu melewatinya tanpa sepatah katapun. Bahkan senyum yang biasanya terukir di depan Ningrum, tak ia lihat. Fauzan terus menatap Kono yang kini menjauh dan hanya terlihat punggungnya saja.
Di depan pintu dapur, tak jauh dari empat ibu-ibu yang sedang duduk. Kono menjatuhkan kayu bakar yang ia bawa. Tak lama kemudian Ningrum keluar dari dapur, ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu diberikan pada Kono.
"Tidak usah, Bu Rum. Saya hanya membantu."
"Tapi, Pak. Anda mengantarkan kayu bakar setiap hari, ambil ini sebagai upahnya meski tidak sesuai dengan jumlah kayu bakarnya."
"Tidak usah, Bu Rum." Pria itu tersenyum lalu pamit.
"Bu Rum tidak peka, ya," celetuk Rasih setelah Kono pergi. "Pak Kono kan, suka sama Bu Rum."
Ningrum menoleh ke arah empat ibu-ibu yang sedang mengupas kentang. "Ngada-ngada, kamu, Ras."
"Rum memang nggak peka, Ras. Padahal sudah jelas begitu," ucap wanita yang duduk di dapur dekat pintu.
"Terima saja Bu Rum, kalau Pak Kono melamar. Toh, masa idah Bu Rum tinggal sebulan lagi. Lagi pula Pak Kono juga duda ditinggal mati, terus belum punya anak." Wati menimpali.
"Iya, Rum. Kamu kan masih muda, butuh sosok ayah juga buat Fauzan," timpal wanita tua yang sedang mengiris kentang.
"Saya belum terpikirkan ke sana, Mak,'' jawab Ningrum dengan ramah.
"Lagian Mak Jam, nyari suami dan ayah buat anak itu harus hati-hati, nggak sembarangan. Gimana kalau Mang Kono itu nggak sayang sama Fauzan, kan berabe," timpal Nur dengan nada ketus.
Fauzan yang sedari tadi memperhatikan kerumunan ibu-ibu itu mendengkus kesal lalu pergi menuju lapang sepak bola yang tak jauh dari rumahnya.
Sore harinya, barulah Fauzan pulang ke rumah. Ia bergegas mandi dan berganti baju.
"Nak. Makan dulu!" titah Ningrum. Fauzan berjalan menuju pintu tanpa menoleh maupun menjawab perintah ibunya. Ia lalu membuka pintu, menyampihkan sarung dan bergegas berangkat ke masjid.
Sesampainya di masjid, Fauzan segera mengambil wudhu. Lalu, ikut sholat Maghrib berjamaah.
Selesai Sholat. Ustadz Yoyo memulai acaranya. Ia tidak membuka Al-qur'an seperti biasa. Melainkan merapikan sorbannya. "Hari ini, kita ke rumah Fauzan lagi. Memperingati hari ke seratus Almarhum Ayahnya."
Fauzan bergeming, rasa hangat dan sesak itu memenuhi rongga dadanya. Rindu? Tentu saja. Sosok ayah yang tak tergantikan itu tak akan bisa ia lihat kembali. Senyumnya, suara tegasnya, marahnya. Ia tidak akan merasakannya lagi.
Ustadz Yoyo pun membimbing muridnya keluar dari masjid dan berjalan menuju rumah Ningrum. Fauzan berjalan paling belakang seperti biasa. Karvo dan Agus menemani kangkahnya.
Sesampainya di rumah, Fauzan mengambil posisi duduk di depan kamarnya. Acara doa bersama pun dimulai dengan khidmat. Banyak yang hadir, sehingga rumah kecil itu sangat penuh.
Acara berdoa bersama di hari ke seratus meninggalnya Ridwan selesai, Fauzan hanya duduk diam di depan pintu kamarnya, memperhatikan satu per satu teman-teman ngajinya keluar rumah. Lalu, bapak-bapak mulai pamit pulang hingga tersisa Kono sendirian di sana. Fauzan semakin gelisah, kini hanya mereka berdua di tengah rumah meski jaraknya berjauhan.
Dua ibu-ibu berjalan dari dapur ke tengah rumah, lalu membereskan piring kotor. Nur merapikan piring kotor ke dalam wadah, sementara Yanti merapikan gelas kotor.
"Masih mau dipakai gelasnya, Mang?" tanya Yanti saat mau mengambil gelas di depan Kono.
"Ambil saja," jawab pria itu.
"Mang Kono mau pulang bareng Mak Icah?" tanya Nur sambil berjalan menuju dapur. Kono tak menjawab, lalu tak lama kemudian Ningrum datang. Fauzan menatap ibunya yang berjalan menuju ke arah Kono. Ia membawa dua kantong kresek hitam berisi makanan.
"Terima kasih sudah banyak membantu," ucap Ningrum.
Kono tersenyum ramah. "Tidak, Rum."
Wanita tua berjalan tertatih-tatih menuju ke arah Ningrum dan Kono. Fauzan masih membisu, seolah ia tidak dianggap oleh ketiga orang dewasa di depannya.
"Rum, apa kamu ada rencana untuk menikah lagi?" tanya wanita tua itu sambil menepuk pundak Ningrum.
"Sebenarnya tidak ada, Fauzan sepertinya belum siap punya ayah baru."
Mendengar jawaban ibunya, Fauzan menghela napas lega.
"Tapi, Rum. Saya punya niat baik, apakah akan ditolak? Lagipula Fauzan pasti membutuhkan sosok ayah," ucap Kono.
Fauzan membelalakan mata, ia masih duduk dan mendengarkan pembicaraan ketiga orang dewasa itu.
Ningrum menundukan wajah, ia tidak menjawab pertanyaan dari Kono. Bingung, itulah yang sedang ia rasakan.
"Tidak baik, Rum. Menolak niat baik seseorang," ucap wanita tua itu sambil mengusap punggung Ningrum.
Fauzan yang mendengar hal itu segera berdiri, lalu beranjak masuk kamar, pintu kamar ia tutup rapat. Kedua tangannya mengepal kuat. Wajahnya menunduk dalam. Sorot matanya nyalang, napasnya memburu karena menahan kesal yang memuncak.
"Bagaimana kalau ibu benar-benar menikah lagi?" bisiknya bertanya-tanya.
Lima bulan berlalu setelah kepergian Ridwan, Fauzan lebih sering berangkat ke masjid sendiri. Ia tidak berani meminta ibunya untuk mengantar, lagi pula ia kini sudah besar. Sebentar lagi ia akan naik kelas ke kelas empat. Gengsi untuknya jika merasa takut saat pulang mengaji, sedangkan ada keempat temannya yang membersamai.
Fauzan berjalan bersama empat dua temannya, lalu berpisah dengan Arip dan Agus di pertigaan. Setelah itu ia berjalan dengan Karvo dan Ijon menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.
"Tuh Mang Kono dari rumahmu, Zan!" tunjuk Karvo ke arah pintu rumah Fauzan yang terbuka. Di depan rumah ada Kono yang sedang berdiri sambil bercakap-cakap.
"Benar, kan, kalau Mang Kono suka sama Ibumu!" ucap Karvo.
"Sebentar lagi kamu punya ayah baru, Zan!" seru Ijon.
"Nggak, aku nggak mau punya ayah baru!" tegas Fauzan. Lalu ia berlari menuju rumahnya dan meninggalkan kedua temannya. Karvo dan Ijon bergeming, keduanya menyadari kesalahan yang baru saja diperbuat.
"Kamu, sih!" ucao keduanya saling menunjuk.
Fauzan tiba di depan rumahnya, napasnya terengah-engah. Tatapan matanya berapi-api. "Ibu, aku nggak mau punya ayah baru!" ucap Fauzan dengan lantang dihadapan ibunya dan Kono.
"Nak," ucap ibunya gugup.
Fauzan menatap dua orang di hadapannya bergantian. Napasnya masih tersengal-sengal.
Kono tampak tersenyum ke arah Fauzan, bukan senyum ramah yang Fauzan rasakan. Senyum yang membuat hatinya semakin patah, semakin lama semakin hancur.

Comentário do Livro (24)

  • avatar
    wahidahnrfarhana

    best, tapi tergantung

    23d

      0
  • avatar
    FebrianniEny

    👍👍👍

    28d

      0
  • avatar

    sangat baguss ceritanyaa

    25/05

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes