logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Orang baru?

Embusan angin dingin menerpa pepohonan, membuat pohon meliuk-liuk. Sinar matahari yang baru muncul di ufuk timur sedikit terhalang oleh awan hitam. Musim penghujan datang bersama langit yang selalu mendung. Tidak mengenal waktu pagi atau siang hari, hujan akan turun saat awan tak mampu menampung butiran air.
Hari ini disebut 'matangpuluh'. Hari ke empat puluh kepergian Ridwan. Tepat di hari minggu, membuat Fauzan lebih senang duduk di serambi rumah dan sesekali membantu ibunya jika dibutuhkan.
Dari sekian banyak warga yang membantu, satu orang yang membuat Fauzan menatap kesal ke arah pria itu. Tubuhnya tambun, tatapan matanya selalu berbinar saat bertemu dengan Ibunya. Ia adalah Kono.
Karvo dan ketiga sahabatnya datang dan menghampiri Fauzan. Keempat anak itu saling sikut. Hingga akhirnya Agus memberanikan diri untuk angkat bicara.
"Fauzan, main, yuk!" ajak Agus.
"Hooh, kita maen bola, mumpung masih pagi." Karvo menimpali.
Fauzan masih terdiam, tatapannya tak lepas dari Kono yang sedang memotong kayu bakar.
"Sejak ayahmu meninggal, kamu nggak pernah main lagi bareng kita, padahal sudah hari ke empat puluh," ucap Arip.
Kini Fauzan menoleh ke arah teman-temannya, terutama Arip. "Aku nggak suka sama Mang Kono. Setiap hari dia datang dan membawa kayu bakar."
Keempat temannya itu serempak menoleh ke arah kanan dari tempat mereka berkumpul, tepatnya depan pintu dapur.
"Ibuku juga tiap hari datang, kan, Zan!" bisik Ijon.
"Rumah kalian kan dekat, nggak aneh, sedangkan Mang Kono lumayan jauh rumahnya."
"Dia mau deketin ibu kamu, mungkin, Zan," celetuk Karvo sambil terkekeh.
Fauzan lalu mendelik kesal. "Dah, kita main," ucapnya sambil beranjak pergi.
Fauzan pergi bersama keempat temannya tanpa pamit kepada Ningrum. Mereka menyusuri jalan setapak menuju tanah yang lapang, di sanalah tempat mereka bermain bola bersama anak-anak dari kampung tetangga.
"Zan, ke mana saja baru nongol?" tanya Dasep.
"Iya. Kirain nggak akan main lagi!"
"Kamu nggak akan pindah, kan, Zan?" tanya Ocid. Ketiga anak-anak itu mendekat ke arah Fauzan dan keempat temannya.
"Pindah ke mana? Ibuku betah di sini."
"Sudah kumpul semuanya?" tanya Agus mengalihkan pembicaraan.
"Sudah!"
"Kita hom pim pah untuk membagi tim!" seru Agus.
Anak-anak dari dua kampung yang berbeda usia itu mulai berdiri membentuk lingkaran. Semuanya ada 18 orang, terdiri dari kakak kelas dari Fauzan, juga adik kelasnya.
"Hom pim pah alaiyum gambreng!" Lirik lagu hom pim pah itu dinyanyikan bersama sambil menggerakan satu telapak tangan.
"Agus sama Himan, gunting batu kertas dulu. Biar adil, siapa yang akan jadi anggota di timku," ucap Fauzan sambil berkumpul dengan tim-nya.
"Gunting, batu, kertas!" ucap keduanya bersamaan.
"Yes, aku menang!" teriak Agus sambil berlari ke arah tim Fauzan. Permainan sepak bola itu pun dimulai.
Sementara di rumah, Ningrum bersama tetangganya yang membantu menyiapkan makanan untuk acara tahlilan, sesekali mengawasi keadaan di luar rumah.
"Nur, lihat Fauzan, tidak?" tanya Ningrum dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
"Paling juga main sama Karvo," ucap Nur sambil mengipasi nasi yang baru diangkat dari atas panci.
Tungku masih mengepul, kayu bakar yang keras dan berukuran sedang itu dilahap api. Di atas tungku, ada wajan yang berisi air santan bercampur rempah-rempah. Aroma masakan menguap, menggelitik indra penciuman dan membuat gemuruh pada perut yang sedang demo.
"Ini sudah mau sore, acara berdoa akan segera dimulai. Aku titip rumah dulu, ya, Nur. Mau nyusul Fauzan," ucap Ningrum.
"Kamu di sini saja, Rum. Biar aku yang nyusul. Sekalian mau ke warung Mak Kasih." Nur membetulkan kerudungnya, lalu hendak berdiri dari duduknya.
"Tapi, Nur."
"Fauzan pasti sama Karvo." Nur langsung berdiri, ia mulai berjalan menuju pintu ke luar.
"Terima kasih, ya, Nur."
Nur mengangguk, Ningrum masih menatap Nur sampai sosok itu terhalang oleh dinding kayu rumahnya.
Nur berjalan menyusuri jalan setapak, sebelum ke lapang, Nur singgah di warung.
"Mak!" ucap Nur sambil melongok ke dalam jendela warung.
Seorang wanita paruh baya keluar dari dapur. Ia berjalan sambil membetulkan kain jarik yang melilit di pinggangnya. "Ya!" jawab wanita itu.
"Beli kopi lima bungkus, telur seperempat saja," ucap Nur. Matanya tertuju pada bungkusan roti. Tangannya dengan sigap menghitung roti yang akan dibelinya. Ia juga tidak lupa membeli beberapa jajanan untuk anaknya.
Setelah selesai belanja, Nur melanjutkan perjalanannya, menyusuri jalan setapak dan tak lama, tibalah ia di lapang. Kedatangannya disambut sorak sorai anak-anak yang fokus pada permainan bolanya.
"Avo!" teriak Nur dari sisi lapang.
Anak berambut ikal yang sedang menendang bola itu seketika menolah. Namun, tak menghentikan sorak sorai dari teman-temannya.
"Pulang!" teriak Nur mengisyaratkan anaknya untuk pulang. "Ajak Fauzan juga!" perintahnya.
Karvo yang masih berdiri di tengah lapang itu seketika celingukan mencari Fauzan. "Sudahan mainnya, woy!" teriak Karvo. Seketika anak-anak yang sedang memperebutkan bola itu berhenti.
"Zan, kita pulang. Sudah sore. Yang lainya juga."
"Masih seru, nih!" teriak Ocid tidak terima.
"Ibuku sudah nyusul!" ucap Karvo sambil menunjuk ke arah sisi lapang dengan isyarat.
"Besok kita lanjutkan mainnya," ucap Fauzan sambil berjalan mendekati Karvo.
Kelima anak-anak itu memisahkan diri dari teman-temannya. Mereka berjalan keluar lapang untuk menemui Nur.
"Nanti mau berangkat ngaji bareng?" tanya Agus kepada Fauzan.
Fauzan terdiam. Pikirannya, tak mungkin ia meminta diantar terus oleh ibunya meski ibunya tak pernah protes. "Iya, aku nanti berangkat sama Karvo."
"Sip!" seru Agus sambil mengacungkan jempol. Setibanya di pertigaan, Agus berpisah dari keempat temannya.
"Bi Nur, Mang Kono masih ada di rumah?" tanya Fauzan sambil menoleh ke belakang.
Nur terperangah, lalu kemudian ia terdiam. "Sudah pulang sepertinya tadi siang."
Keempat remaja itu berpisah, Fauzan berjalan menuju rumahnya. Ia memasuki rumah melalui pintu dapur. Suasana rumahnya masih ramai. Ada Mak Jum dan Rasih yang sedang bebungkus.
"Assalamu'alaikum," ucap Fauzan sambil memasuki rumah.
"Cepat mandi, lalu makan. Seharian kamu belum makan," ucap Ningrum sambil berjalan di belakang Fauzan.
"Bu," panggil Fauzan.
"Ya?"
"Ibu nggak akan ninggalin Fauzan, kan?" tanya Fauzan saat keduanya berada di kamar.
Pintu kamar terbuka lebar, membuat Ningrum menutup sedikit rapat pintu kamar itu. "Kenapa bertanya seperti itu, Nak?" tanya Ningrum sambil duduk, mensejajarkan tingginya dengan Fauzan.
"Aku takut, ibu juga pergi."
Ningrum tersenyum, ia mengusap pucuk kepala anaknya. "Ibu tidak akan meninggalkanmu, Ayah pulang karena sudah waktunya untuk pulang."
Fauzan merangkul ibunya. "Ibu jangan pergi, Fauzan janji akan jadi anak yang baik. Mulai hari ini, ibu tidak usah repot-repot mengantar aku ke masjid."
"Wah, anak ibu sudah besar rupanya!" seru Ningrum sambil mengacak rambut Fauzan. "Sudah, sana mandi. Lalu makan," ucap Ningrum sambil melepaskan pelukan anaknya.

Comentário do Livro (24)

  • avatar
    wahidahnrfarhana

    best, tapi tergantung

    23d

      0
  • avatar
    FebrianniEny

    👍👍👍

    29d

      0
  • avatar

    sangat baguss ceritanyaa

    25/05

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes