logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Seorang Anak Yatim

Seperti daun yang jatuh tak pernah menyalahkan angin, begitu juga hati yang patah tak ingin menyalahkan takdir. Maut yang tak bisa dihindari oleh makhluk yang bernyawa. Air mata jatuh meluapkan kecewa, tapi tidak dengan seorang anak yang duduk di sudut rumah, wajahnya tanpa ekspresi. Ia adalah Fauzan.
Fauzan masih membisu, matanya menatap lalu lalang para pelayat dan tatapannya berhenti pada kerumunan warga di tengah rumahnya. Suara pelayat yang sedang membacakan al-Qur'an Surah Yasin itu membuat siapa saja yang mendengarkan merasa tenteram. Lalu tatapannya beralih ke samping kanannya, seorang wanita berkerudung hitam dan berbaju putih itu sedang khusyuk membaca surah Yasin. Ia adalah ibunya, Ningrum.
Fauzan kembali menatap jenazah yang tertutup kain jarik di tengah rumah. Jenazah itu sudah dikafani dan tinggal mengantarkannya ke rumah terakhir. Jenazah itu adalah---Ridwan---ayahnya. Ridwan meninggal karena kecelakaan. Ia terjatuh dari pohon aren saat mengambil air nira.
"Kalau Mang Kono tidak mengambil kayu ke arah sana, mungkin Mang Ridwan tidak akan ditemukan secepat ini," bisik seorang ibu-ibu yang duduk di samping kiri Fauzan. Bisikannya pelan, tapi cukup terdengar dari dekat.
"Tapi lebih baik ditemukan dalam keadaan hidup, bukan jasadnya," jawab ibu-ibu berkerudung navy di sampingnya.
"Orang jatuh dari ketinggian segitu mana ada yang selamat, Nur. Mana di bawahnya bebatuan. Kasihan Fauzan yang masih kecil, sudah ditinggalkan ayahnya."
Nur menoleh sekilas ke arah Fauzan, lalu mencubit wanita di samping kirinya. Keduanya kembali membaca Al-Qur'an lagi.
Setelah jasad Ridwan dikebumikan, Fauzan masih belum berbicara. Ningrum yang sedang sibuk merapikan karpet yang berantakan dengan sampah kertas, sekilas ia melihat anaknya itu, lalu mendekat. Ia mengusap pucuk kepala anaknya. Membuat Fauzan mendongak, keduanya saling tatap.
Ningrung tersenyum, meski ujung bibirnya berkedut. "Nak, jangan bersedih, kalau bersedih kasihan ayah di alam sana. Jangan bersedih, kita doakan ayahmu."
"Ya," jawab Fauzan singkat.
Ningrum menghela napas panjang, lalu mengusap kembali pucuk kepala anaknya sambil tersenyum. "Anak sholeh."
Ningrum kembali ke aktivitasnya, saat sedang membersihkan karpet dengan sapu lidi. Fauzan mendekat. Ningrum kembali menoleh sekilas lalu menyapu kembali sampah pada karpet yang masih tersisa. Fauzan duduk di samping ibunya, membuat Ningrum menghentikan kembali aktivitasnya.
"Bu!" panggilnya.
"Ya?" Ningrum menjawab sambil duduk menghadap anaknya.
"Siapa yang mau mengantarku pergi ke masjid, mulai hari esok?"
Ningrum terdiam lagi, apa yang harus ia katakan pada anaknya itu. Biasanya yang mengantar Fauzan ke masjid saat azan maghrib adalah Ridwan. Bahkan, ayahnya itu selalu menunggu Fauzan sampai kegiatan mengaji selesai, lalu melaksanakan salat Isya berjamaah.
"Ibu yang akan mengantarmu," jawab Ningrum sambil tersenyum. "Sebentar lagi mau Maghrib, nanti beres shalat, semua teman-teman akan datang ke rumah kita untuk mendoakan ayah. Jadi, bisakah sekarang berangkat sendiri dulu?" tanya Ningrum hati-hati.
Fauzan mengangguk sebagai jawaban. Ia pun segera membantu ibunya merapikan karpet. Setelah selesai, barulah ia mengambil kain sarung yang sudah usang beserta Al-quran.
"Aku pergi dulu, Bu. Assalamu'alaikum." Fauzan menyalami tangan ibunya, lalu setelah terdengar jawaban salam dari Ningrum, ia bergegas turun dari rumah untuk berangkat ke masjid.
Fauzan tiba di masjid tepat saat azan maghrib berkumandang. Ia bergegas mengambil air wudhu supaya tidak tertinggal salat berjamaah.
"Kirain nggak ngaji, tau gitu kita berangkat bareng," ucap Karvo saat Fauzan mengambil shaf di dekatnya.
"Tadinya sih, mau absen," jawab Fauzan sambil memamerkan deretan gigi putihnya.
Semua murid yang sudah tiba di masjid segera melaksanakan salat berjamaah. Setelah salat selesai, ustaz yang menjadi imam itu memutar duduknya. Menghadap ke arah jamaah yang terdiri dari muridnya.
"Hari ini mengajinya di tunda dulu, kita akan berangkat ke rumahnya Bu Ningrum untuk acara tahlilan. Besok, kita mulai lagi mengajinya," ucap Ustaz Yoyo.
Fauzan menundukan wajah, barulah saat ini kesedihan terlukis di wajahnya. Karvo yang duduk paling dekat dengannya segera menepuk pundak Fauzan dengan tujuan menenangkan sahabatnya itu.
"Zan. Ayo kita berangkat!" ajaknya setelah beberapa murid keluar dari masjid.
Arip, Agus, Ijon dan Karvo berjalan tak jauh dari Fauzan. Keempat temannya itu tak berkata apa-apa, bahkan tidak punya kata-kata untuk menghibur sahabatnya.
"Zan, kamu yang kuat, ya!" seru Karvo sambil menepuk pundak sahabatnya itu.
Fauzan terdiam, memberi senyum tipis. "Kalian masuk lewat pintu rumah, ya!" ucap Fauzan, lalu ia beranjak pergi ke arah pintu dapur.
Teman-teman mengajinya sudah tiba lebih dulu di rumahnya. Tidak hanya murid dari ustaz Yoyo yang hadir, bapak-bapak pun banyak yang hadir di acara tahlilan tersebut.
Saat memasuki pintu dapur, ada Nur dan Rasih di sana sedang membantu Ningrum menyiapkan cemilan untuk para tamu. Fauzan bergegas masuk lalu menyalami tangan ibunya serta mengucap salam.
Hari berganti, sesuai adat di kampung, acara tahlilan dilakukan sampai hari ketujuh. Fauzan masih terlihat pendiam dan berbicara seperlunya.
"Nak. Cepat habiskan makanannya, teman-temanmu sudah menunggu di depan!" perintah Ningrum sambil merapikan jemuran.
"Iya, Bu!" Fauzan segera menyimpan piring kotor ke dalam baskom. Setelah selesai meneguk segelas air, ia keluar rumah sambil menjinjing sepatu. Ia akan memakai sepatu itu sambil duduk di ambang pintu.
"Rum, hari ini mau buat cemilan apa? Aku hanya bawa tepung beras sama gula," ucap Nur sambil membawa sangku yang terbuat dari anyaman bambu.
"Yang ada saja, Nur." Ningrum menjawab sambim menoleh. Pakaian sudah selesai dijemur di kawat jemuran. Ningrum membuang air sisa pada baskom dan bergegas menghampiri Nur.
Fauzan menghampiri ibunya, lalu ia mencium tangan Ningrum sambil mengucapkan salam.
"Eh, tadi pagi sekali Mang Kono ke sini memberikan belanjaan. Kita masak itu juga buat acara nanti." Ningrum berjalan menuju pintu dapur bersama Nur.
Fauzan yang baru saja bergabung dengan teman-temannya untuk berangkat sekolah, mulai meragu mengambil langkah saat mendengar ucapan ibunya barusan. Otaknya mulai mengingat kejadian subuh tadi, tak lama kemudian ia menghela napas berat sambil melangkah menyusul keempat temannya.
Kelima anak itu berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Menyusuri jalan setapak yang hanya cukup dilalui oleh manusia dan kendaraan beroda dua. Melewati padang rumput ilalang yang luas serta semilir angin yang membuat embun pagi bergelayut di ujung daun ilalang.
"Zan, nanti pulang sekolah main bola, yuk!" ajak Arip yang langsung mendapat sikutan dari Karvo.
Fauzan menoleh sekilas, lalu menatap tanah yang diinjaknya lagi tanpa menjawab.
"Sesekali main lah, Zan!" ucap Arip lagi.
"Iya, Zan. Jangan di rumah terus," ucap Agus. Ia berjalan sambil menatap Fauzan. Yang ditatap masih fokus pada tanah yang di pijaknya.
"Aku takut, setelah Ayah pergi, Ibu juga ikut pergi," gumam Fauzan samar terdengar oleh keempat sahabatnya.
Keheningan menyelimuti sepanjang perjalanan menuju sekolah. Hari-hari berikutnya pun sama, Sikap Fauzan belum kembali ceria. Hingga acara tahlilan ke sepuluh dan selanjutnya setiap hari ke sepuluh sampai genap hari ke empat puluh. Fauzan masih menutup diri dan enggan bermain.

Comentário do Livro (24)

  • avatar
    wahidahnrfarhana

    best, tapi tergantung

    23d

      0
  • avatar
    FebrianniEny

    👍👍👍

    29d

      0
  • avatar

    sangat baguss ceritanyaa

    25/05

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes