logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Buka bajumu!

Setelah membeli handphone, Ningsih dan Tukijo  pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membeli baju seragam, tas dan keperluan sekolah.
"Sini Jo! Cobain ini deh!" Tangan kanan Ningsih memegang kaos putih bergaris, sedangkan tangan kirinya memegang jaket abu-abu.
Tukijo yang sedang asik mencoba handphone barunya, segera menyimpannya dan menghampiri kakaknya.
Setelah beberapa saat, Tukijo keluar dari ruang ganti.
"Wow!" ujar Ningsih kagum. "Ini baru keren! Coba deh, kamu ngaca!" Ningsih membalikkan badan Tukijo dan mendorongnya agar mendekat ke cermin.
Tukijo tercengang melihat dirinya di cermin. "Ini aku?" ujarnya.
"Yeah ...," jawab Ningsih bangga.
Lalu mata Tukijo tertuju pada rangkaiaan kacamata yang terletak dimeja. Melihat hal tersebut, Ningsih bertanya, "Apa kamu butuh kacamata?"
"Em, mataku terasa pusing saat melihat tulisan di papan tulis dari bangku belakang," jawab Tukijo.
"Oke, kita ambil beberapa," timpal Ningsih.
"Bukankah kita harus tau ukuran minusnya?" tanya Tukijo.
"Halah, cobain aja semua dari minus terendah. Nanti kamu pilih mana yang nyaman dipakai," balas Ningsih.
Setelah mereka keluar dari pusat perbelanjaan, kemudian mereka pergi ke toko bangunan. Ningsih membeli semen, batako, keramik dan lain-lain. Lalu pergi ke toko mebel untuk membeli kasur busa, lemari, meja dan lain-lain.
Sampai matahari tepat di atas kepala, mereka berkeliling kota hingga rasa lapar dan dahaga menggerogoti perut mereka.
"Ayo cari makanan!" ajak Ningsih. "Kamu ada saran tempat yang enak, Jo?"
"Ah, aku cuma tau Restoran Mas Agus yang paling de best. Haha," balas Tukijo sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.
"Gaaaas!" perintah Ningsih kepada Teguh.
"Siap Nona!" Teguh langsung tancap gas menuju Restoran Mas Agus.
"O iya Jo, hari Minggu Restoran Mas Agus libur nggak?" tanya Ningsih.
"Libur Kak," jawab Tukijo.
"Bagus kalau begitu. Teguh, besok kamu sama Marno jadi tukang ya ... bangun rumah Tukijo. Rekrut banyak orang handal biar cepet selesai. Aku pengin satu hari selesai. Jangan lupa, setelah selesai bagian luarnya ditempelin anyaman lusuh lagi, supaya nggak jadi bahan lirikan mata-mata jahiliyyah, wkwk" perintah Ningsih.
"Baik Nona," timpal Teguh.
"Apa! Kakak mau bangun rumahku? Kita harus minta izin dulu ke Simbah," sahut Tukijo.
"Gampang ...," jawab Ningsih enteng.
"Sudah sampai, Nona," ucap Teguh menghentikan mobilnya di depan Restoran Mas Agus.
"Guh, kamu di sini aja ya ... nanti aku bungkusin buatmu," ujar Ningsih.
"Siap Nona," balas Teguh.
Kemudian Ningsih dan Tukijo keluar dari mobil berjalan menuju salah satu meja makan. Mereka menjadi sorotan semua orang yang berada di Restoran Mas Agus.
"Wah! Ada cogan."
"Ganteng bangeeet."
"Ceweknya juga luar biasa."
"Ada bidadari turun dari syurga di hadapanku .... Eaaa."
Bisikan-bisikan dan tatapan para pengunjung Restoran Mas Agus membuat Tukijo tidak nyaman.
"Mereka kenapa sih, liatinnya gitu banget," gerutu Tukijo.
"Tentu saja itu karena adikku keren." Ningsih meletakan kedua sikunya ke meja dan menyandarkan pipinya di atas kedua telapak tangan sambil menatap Tukijo dengan senyuman.
"Apaan sih, Kak." Tukijo memalingkan wajahnya yang memerah.
"Kamu nggak pernah dapat pujian dari seseorang ya?" tanya Ningsih.
"Pernah kok," jawabnya.
Ningsih berkata, "Paling cuma ibumu yang pernah muji, kan ... ketahuan banget sama responmu. Hihi." Dia tertawa kecil dengan menutup mulutnya.
Beberapa saat kemudian, Marno datang menghampiri mereka. "Nona sama Tuan Muda mau makan siang di sini?" tanya Marno berbisik dengan meletakan tangan kanan di samping pipi kiri.
"Iya," jawab Ningsih. "Kamu mau makan apa, Jo?"
"Di sini, paling enak makan mie ayam bakar," ucap Tukijo sambil membayangkan betapa enaknya makanan itu.
"Pesen lima porsi, dibungkus dua. Nanti kamu ambil satu," ucap Ningsih kepada Marno. "O iya, sama es teh dua ya ...." Marno segera pergi menyiapkan sajiannya.
Beberapa menit kemudian.
"Wow ...!" Kami menyantapnya dengan lahap.
"Jo, soal yang kamu bilang ke Mbah Muhiroh itu bohong, kan?" celetuk Ningsih. "Walaupun nggak tau artinya, tapi Kakak paham apa yang kamu maksud."
Tukijo kaget hampir tersendak makanannya. "Uhuk ...." Dia meraih minumnya lalu menanggapi perkataan kakaknya, "Ehem ... iya Kak, aku cuma nggak mau beliau khawatir."
"Jadi, apa yang membuatmu babak belur sampai terkapar di jalan seperti itu?" tanya Ningsih dengan wajah serius.
"Emm, itu Kak ... anu ... aku ..."
"Kamu dibullying?" potong Ningsih cepat dengan sorot mata yang tajam.
...
"Iya Kak," jawab Tukijo menunduk.
"Sejak kapan?" tanya Ningsih lagi.
"Sejak SD," balas Tukijo.
"Apa! Sejak SD?" sahut Ningsih terkejut. Dia menggertakkan giginya, dan hatinya merasa tercabik-cabik mengetahui penderitaan Tukijo.
Lalu mereka terdiam, hingga mereka menghabiskan makanannya dan meninggalkan restoran. Ningsih mengajak Tukijo ke Hotel Dafam hanya berdua membawa mobilnya, sedangkan Teguh dan Marno diperintahkan untuk menjaga Nenek Tukijo.
Setelah sampai di hotel mereka melangkah menuju kamar. Ningsih membuka pintu kamarnya, tampak sebuah ruangan yang cukup luas dengan kasur dan sofa yang tertata rapi. Mereka memasuki kamar tersebut, lalu Ningsih mengunci pintunya.
Dia mengajak Tukijo duduk di kasurnya dan berkata, "Buka bajumu!"
"Hah? Apa yang mau Kakak lakukan?" tanya Tukijo.
"Pfft ... apa sih, kamu jangan mikir aneh-aneh deh. Aku cuma mau liat bekas luka di badanmu," jawab Ningsih tertawa kecil.
"Ha ha ha ... hampir saja aku tergoda." Tukijo tertawa.
Kemudian Tukijo membuka bajunya. Ningsih melihat banyak goresan luka di tubuhnya dan masih ada memar bekas injakan di punggungnya.
"Masih sakit?" tanya Ningsih sambil menekan luka di punggung Tukijo.
"Argh ... Iya, sedikit sakit," jawabnya.
"Tunggu sebentar." Ningsih mengambil es batu di kulkas dan membungkusnya dengan handuk untuk mengompres luka Tukijo.
Tukijo mengatakan bahwa bukan hanya di dekat tempat tinggalnya dia ditindas, tetapi juga di sekolahnya.
"Kenapa kamu nggak laporin aja ke guru BK?" tanya Ningsih lagi.
"Kalau aku laporin, guru akan memberitahu wali murid dan Nenek akan sedih mendengarku ditindas. Bukan hanya itu, teman-temanku juga nggak akan merasa jera hanya dengan peringatan," timpal Tukijo.
Tangan Ningsih memegang dagu sembari berkata, "Hmm, kamu benar. Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku ingin menjadi kuat," ujar Tukijo.
Ningsih tersenyum melihat tekad adiknya ingin bangkit dari keterpurukan. "Aku akan mengajarimu beladiri," ucap Ningsih.
"Hah? Kakak bisa beladiri?" tanya Tukijo terkejut.
"Kamu nggak percaya?" Ningsih melipat tangannya ke depan. "Aku bisa mengalahkan sepuluh orang seperti Marno loh ...," ungkapnya percaya diri.
"Woah! Kalau begitu, mohon bimbingannya, Kakak!" Tukijo tiba-tiba berlutut di hadapan Ningsih. Mereka mulai berlatih hingga malam tiba.
_________
Hari Minggu pagi, Marno dan Teguh sudah siap dengan pasukan tukangnya untuk membangun rumah Tukijo. Sementara itu, Ningsih mengajak Tukijo ke Lapangan Tegong untuk melatih kebugaran tubuh dan materi cara memprediksi gerakan lawan.
Tukijo yang tadinya hanyalah seorang remaja lusuh, dekil dan acak-acakan, sekarang telah menjadi lelaki tampan dan rapi meskipun hanya mengenakan kaos oblong dan celana training. Dia mendapat banyak pelajaran dari kakaknya.
Disaat dia sedang serius mengikuti arahan dari kakaknya untuk berlatih beladiri, matanya tertuju pada seorang wanita yang sedang menaiki motor butut. Dia adalah Markonah. Wanita itu berhenti di salah satu rumah lalu memberikan sebuah bingkisan kepada seseorang yang berada di rumah tersebut. Di samping rumah itu kebetulan ada beberapa ibu-ibu sedang duduk mengobrol.
"Jo!" panggil Ningsih melambaikan tangannya di depan wajah Tukijo. Namun karena Tukijo tidak merespon panggilannya, dia berteriak di telinganya, "TUKIJO!!!"

Komentar Buku (437)

  • avatar
    WidyaningsihNi luh putu

    aku. bisa. mendapatkan. Damien. yang. sangat. banyak. sekali. dan. mendapatkan. daimen. 50000

    7d

      0
  • avatar
    AndaCantik

    bagus

    19d

      0
  • avatar
    FAIZ 08FZ

    bangus

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru