logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 VI

“Pak Asep jadi bertahan karena anak-anak?” tanya Joni serius.

Pak Asep mengiyakan dengan satu anggukan. “Kalau saya kuat untuk nahan lapar. Tapi, saya enggak tega kalau anak dan isteri saya juga melakukan hal yang sama.”

Wajah Arsa tiba-tiba terbayang. Sebenarnya, keinginan untuk keluar dari perusahaan tersemat beberapa hari ini. Gaji Joni hanya cukup untuk keperluan Arsa aja. Untuk biaya listrik dan makan sehari-hari, Ayah Joni memberikannya lewat Mama Ida.

Arsa yang tampan. Arsa yang gemuk. Arsa yang menggemaskan. Joni tidak mau anak semata wayangnya itu menderita.

“Oh, ya, anak kamu udah berapa bulan umurnya?” Pak Asep mengalihkan, “saya lihat fotonya di pesbuk. Lucu, ya. Ganteng dan gendut.”

“Jalan tujuh bulan, Pak. Iya, lucu. Mirip isteri saya.”

“Sepertinya kamu setelah nikah makin subur.” Pak Asep baru sadar kalau perut Joni mulai mencembung. Celana dan ikat pinggangnya sudah berpindah posisinya. Joni yang kurus, sudah tidak ada lagi.

“Saya ikut hamil, Pak. Tapi bayinya enggak keluar,” canda Joni.

“Ada-ada saja kamu ini.” Pak Asep menggeleng seraya tertawa kecil.

Makan siang selesai. Akan tetapi, di kepala Joni masih tergiang-ngiang obrolannya bersama Pak Asep tadi. Sementara itu, Pak Asep siap bekerja lagi seolah tadi ia tidak membahas hal yang terlalu berat. Orang tua mungkin begitu. Pandai menyimpan kepedihan dan keinginan mereka sendiri. Joni pun sudah jadi orang tua. Meski pikirannya terkadang masih condong ke diri sendiri.

***

Pulang dari kantor, Joni segera membersihkan diri. Tak lama kemudian, ia sudah duduk manis di kursi, menyalakan layar laptop dan menatapnya sejurus. Mouse wirelessnya menggerakan kursor untuk mengklik folder novelnya yang mengisahkan tentang mereka.

Sepuluh ribu kata. Sudah tiga bulan semenjak ia berjanji untuk mengabadikan momen pertemuannya dengan Tika menjadi sebuah cerita. Harusnya, jika ia menulis setiap hari setidaknya satu halaman perhari––mungkin naskah itu sudah jadi dan siap dikirim ke penerbit yang dikehendakinya. Sayang, Joni tak berhasil mengalahkan kebuntuan yang dialaminya.

Matanya sayu. Seperti menerawang sesuatu yang tidak bisa diungkapkannya dengan sang isteri. Apakah ia gagal menjadi seorang suami dan ayah? Apakah ia gagal?

Saat lamunannya sedang menguasai, tanpa sepengetahuannya, Tika menghampiri dan menatap punggungnya itu.

“Kamu kenapa?” tanya Tika.

Joni menoleh lesu. Ditatapnya isterinya itu. Satu-satunya yang Tika tangkap dari sorot mata suaminya adalah padam. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan Joni selama di kantor tadi. Suaminya itu jarang bercerita perihal pekerjaan. Yang ia tahu, Joni adalah lelaki sempurna yang tak akan membiarkan masalah merusak keharmonisan keluarga mereka.

Pikiran melumat dirinya sendiri. Kekhawatiran demi kekhawatiran memenuhi pikiran Joni. Apa ia akan berakhir seperti Pak Asep? Tapi, ia masih muda dan punya tenaga. Ia punya bakat yang tak semua orang memilikinya. Ia punya isteri yang selama ini mendukung dan mencintainya sepenuh hati. Memikirkan semua itu, kebimbangan makin merajai benaknya.

“Kamu nyesel enggak nikah sama aku?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Joni tiba-tiba. Mengingat obrolannya tadi dengan Pak Asep membuatnya makin tambah down.

“Kenapa tiba-tiba bilang gitu?”

“Enggak, aku cuma nanya aja,” Joni berkilah. Ia tak mungkin membeberkan alasan yang sebenarnya. Sebagai laki-laki, terlalu lemah jika ia mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Dia tak ingin dicap sebagai suami yang gagal.

“Ada yang mengusik kamu di kantor?”

“Enggak.” Joni menggeleng.

“Kurang-kurangin berpikir negatif, Pa. Selama kita menjadi suami isteri, Mama bersyukur memilih Papa sebagai pendamping hidup.” Tika mengecup pipi Joni sebagai tanda ketulusan isi hatinya.

“Papa takut, Ma.”

“Takut kenapa?”

“Takut enggak bisa jadi kepala keluarga yang baik. Kepala keluarga yang bertanggung jawab.”

Di dalam kamar, Arsa tiba-tiba berbicara dengan bahasa bayinya memanggil-manggil Tika yang sedang menemani Joni di ruang tengah, ruang yang sekaliguas menjadi ruang menulis. Mereka berdua kemudian masuk bersama dan melihat Arsa yang tengah berupaya membalikkan badannya sendiri. Sebetulnya, mereka sempat kebingungan. Kebingungan itu mulai muncul kala Arsa menginjak usia enam bulan. Banyak bayi yang sudah bisa menengkurapkan tubuhnya sebelum usia mereka enam bulan. Kenapa Arsa lebih lamban?

Tika kesenangan. Anaknya yang gemas itu sedang berupaya menggerakkan tubuhnya sendiri. Beberapa kali Arsa menunjukkan ekspresi lucunya. Kedua alisnya berkerut saat kesulitan berpindah posisi karena terhalang lengannya sendiri.

“Akhirnya kamu bisa tengkurap juga, Nak,” ucap Tika. Sudah lama dirinya mengharap hal itu terjadi. Bukanlah hal umum jika seorang bayi belum bisa tengkurap saat usianya sudah lewat enam bulan.

Keponakan-keponakan jauh Tika bahkan ada yang sudah bisa tengkurap di usia yang belum genap lima bulan. Pertumbuhan seorang anak memang tidak bisa disamakan. Tetapi, setiap hal selalu punya tolak ukur. Dan ia sadar, bahwa anaknya sedikit terlambat dari bayi-bayi pada umumnya.

Joni mengambil hape Blackberry-nya. Kemudian segera merekam hal yang menurutnya bersejarah itu. Tak hanya Tika, Joni pun sebenarnya sangat menanti momen itu. Sudah beberapa kali rekan kerja di kantornya menanyakan soal, “Arsa sudah bisa apa?”

Ia tak sabar menceritakan apa yang bisa dilakukan Arsa. Ia sudah punya jawaban. Anaknya sudah bisa tengkurap. Meski hal itu bukanlah hal yang mengesankan. Setidaknya, ia bisa pamer kepada rekan-rekan di kantornya.

“Bagaimana kalau Arsa ulang tahun nanti kita rayakan di Mc.D?” usul Joni. “Soal uang nanti aku yang cari. Demi anak kita. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Arsa.”

Tika manut saja. Baginya, Joni adalah lelaki bertanggung jawab yang pernah ia kenal. Lelaki yang tidak akan pernah mengecewakan dirinya. Lelaki yang memiliki kepribadian seperti drama-drama korea yang ia tonton saban malam di salah satu stasiun televisi. Itulah Joni. Sampai kapan pun hanya ada Joni di hatinya.

Lewat usaha yang keras dan berkali-kali, mungkin juga penasaran, Arsa berhasil tengkurap. Adalah keinginan terbesar bagi mereka untuk melihat pertumbuhan Arsa tanpa melewatkan satu momen sekalipun.

Joni kembali menatap layar laptopnya. Ia mencoba memfokuskan pikirannya yang tadinya semaput. Perasaannya jauh lebih baik setelah melihat sendiri perjuangan Arsa untuk berkembang. Ia membaca ulang sepuluh ribu kata yang telah teruntai menjadi sebuah cerita yang belum tuntas––malah jauh dari itu. Kali ini, ia mesti berhasil menuntaskan.

Komentar Buku (435)

  • avatar
    KhoirilOing

    saya suka dengan novelah ini sangat bagus dan menarik

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Dyan Adriansyah

    sangangat menarik, dan tutur bahawsa nya juga sangat efektif. saya sanganat terhibur sekali dengan novel ini, daripada saya belo buku yg akhirnya menjadi barang bekas lebih baik saya membaca di sini. sangat menghibur sekali pokonya

    23/01/2022

      2
  • avatar
    FaridaqilMuhd

    good the best

    4d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru