logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 10 Mencoba Bersahabat

Nila kesal sekali pada dirinya sendiri. Ia tadi sampai kelepasan bicara kalimat yang mungkin akan sangat menyakitkan bagi kakaknya. Apa daya, ia tersulut emosi karena sang kakak tak mau sedikit pun berbagi cerita kepadanya. Mereka kan kakak beradik yang sesama wanita, beda usia juga tak begitu jauh, seharusnya bisa saling curhat tanpa main rahasia segala, begitu isi pikirannya.
Ia baru mendengar dari ibunya mengenai Jingga yang telah putus dengan sang kekasih. Si ibu juga tidak menceritakan alasan tepatnya, hanya berkata bahwa mereka belum jodoh saja. Jiwa kepo Nila tentu saja langsung meronta-ronta.
Di samping itu, ia juga geram dengan kebiasaan sang kakak yang sering gonta ganti pacar. Ia tak tahu bahwa itu bukan keinginan Jingga. Kalau saja mereka bisa saling terbuka bercerita, Nila pasti akan sangat kasihan pada pengalaman-pengalaman buruk kakaknya dalam hal asmara.
Sifat introvert Jingga terlalu dominan sehingga bahkan adiknya sendiri tak paham apa saja ihwal yang telah dilaluinya. Ia jauh lebih suka memendam sendiri perasaan dan segala luka hati. Sampai akhirnya kini dengan kejadian Miko, seluruh kesakitan itu bertumpuk menjadi satu dan menciptakan sebuah lubang besar dalam hatinya. Lubang yang takkan mudah tuk disembuhkan.
* * *
"Memangnya Mbak Jingga itu nggak pengen nikah apa gimana, sih, Bu?" terdengar Nila bercakap-cakap dengan Bu Setyowati di dalam toko. Hari itu hari Minggu, ibunya baru saja pulang dari belanja stok toko dan Nila membantu menata barang-barang dagangan tersebut ke etasale.
Toko sembako Bu Setyowati berbentuk ruangan memanjang ke belakang dengan ukuran 4x7 meter persegi. Terdapat tiga buah etalase berbeda ukuran yang ditata saling bersisian. Tembok bercat kremnya dipenuhi dengan berbagai dagangan yang digantung di kabinet besi yang terpasang di sepanjang sisi dindingnya.
"Aduh, itu sabun coleknya bukan di situ tempatnya, Nila. Pindahin sana campur sama deterjen."
"Ya ampun, Bu. Sama aja, kan? Di sini kosong, nih." Nila yang dasarnya memang suka ngeyel membantah ibunya.
"Nanti biar nggak susah nyarinya pas ada orang beli, kalau pindah-pindah Ibu suka lupa."
Nila mencebik sambil terpaksa menuruti perintah ibunya. Sang ibu bernapas lega. Ia hanya sedang mengalihkan pembicaraan anak bungsunya mengenai Jingga. Jingga sedang di rumah, jadi ia khawatir percakapan mereka mungkin akan terdengar olehnya. Perasaannya yang sedang sangat sensitif itu sebaiknya harus mereka jaga dulu untuk sementara waktu.
Akan tetapi, ternyata kalimat Nila tadi sempat juga terdengar oleh Jingga yang tadinya hendak masuk ke toko melalui pintu ruang tengah rumah mereka yang memang tersambung ke toko. Ia sedianya berniat ikut membantu menata stok. Namun urung, ia langsung berbalik ke kamar gara-gara mendengar ucapan adiknya.
"Keterlaluan!" ucapnya kesal sambil meninju boneka besar bugs bunny di ranjang yang belakangan memang kerap ia pakai sebagai sasaran tinju saat sedang melampiaskan kemarahan.
"Kenapa, sih, tu anak suka amat ngomentarin hidup orang! Nggak sopan!" Ia mengomel sendiri sembari memijat pelipisnya yang mendadak terasa pening.
Karena merasa tak enak hati di rumah akibat perkataan Nila yang tak sengaja didengarnya tadi, ia pun memutuskan pergi jalan-jalan seorang diri. Entah kemana yang penting keluar dari rumah.
Ia segera mengambil jaket di gantungan belakang pintu kamar dan menyabet kunci motor serta dompet dan HP. Ia ke toko untuk berpamitan kepada ibunya dengan alasan mau membeli sesuatu.
Self riding adalah jalan ninjanya. Kegiatan yang membuatnya nyaman saat hati gundah. Biasanya ia pergi ke taman kota dan menyendiri di sana, memilih tempat tersepi, membeli seporsi jumbo cilok pedas dan menghabiskannya sampai bibir dower kepedasan. Setelah itu perasaannya akan berangsur membaik.
Di tengah perjalanan menikmati mengomel di sepanjang jalan, ia ingat janjinya yang kapan-kapan akan mampir ke rumah Nindy. Mumpung memang sedang searah dah Jingga sendiri belum memutuskan mau pergi ke mana, ia pun memutuskan ke rumah Nindy saja.
Ia pun pergi ke Peterongan, di mana alamatnya berada. Berbekal ingatan beberapa hari lalu saat temannya itu menjelaskan ancer-ancer rumahnya yang lumayan mudah dicari karena terletak di depan jalan besar, ia akhirnya sampai.
Sebuah rumah yang lumayan besar dengan halaman luas ditanami berbagai macam  tanaman menyambutnya. Banyak sekali jenis bunga dalam pot-pot yang tersusun rapi beraneka ukuran di satu sisi halamannya. Jingga berhenti di depan pintu pagar dan menghubungi nomor Nindy.
"Orang cantik udah di depan rumah, nih," ucapnya begitu terdengar suara Nindy dari seberang.
Nindy terbahak dan menjawab sambil bergegas keluar membukakan pintu pagar untuk temannya itu. Tampak ia keluar dari rumah dan berlari-lari kecil menyeberangi halaman luasnya ke arah pintu pagar.
"Wah, kaget aku, beneran datang rupanya. Nggak ngasih kabar dulu, deh," ujarnya sembari tersenyum dan menyorongkan pagar rumahnya, memberi jalan bagi motor Jingga masuk.
"Halah, jadi harus bikin laporan dulu kalau mau mampir, nih?" seloroh Jingga sambil memajukan motornya masuk ke depan teras. Sementara Nindy berjalan mengekorinya.
"Ya nggak gitu, kalau tahu kan aku bisa masakin apa, kek. Kesukaanmu apa sih, Ngga? Kerupuk, ya? Ada banyak, kok, kalau kerupuk aja."
"Elahh, jauh-jauh cuma dikasih kerupuk, pulang dulu ah, kalo gitu," seloroh Jingga menggoda kawannya.
Nindy mengajaknya masuk ke rumah, tetapi Jingga menolak. Ia lebih suka ngobrol di teras sembari memandangi aneka bunga yang tampak segar dan terawat.
"Kalau minggu gini gak ada orang di rumah. Bapak dan ibuku mengunjungi nenek. Kakak jualan bunga di Car Free Day. Kadang-kadang aku ikut bantu, sih. Tapi ini tadi lagi pegel." Nindy menjelaskan panjang lebar kenapa rumahnya tampak sepi.
"Oh iya, ada sepupuku dari Malang datang menginap, tapi dia tidur mulu kerjanya dari kemarin. Abaikan."
"Oooh, jadi keluargamu emang jualan bunga, toh? Pantesan aja banyak banget koleksi bunganya, nih." komentar Jingga menanggapi dengan takjub.
"Iya, Mbak Ratih tuh suka banget nanem bunga. Yang di belakang malah lebih banyak, ada pembibitannya juga, mau lihat?" Nindy menawarkan.
Jingga spontan tertarik, "Boleh?"
Nindy mendahuluinya berjalan menuju pekarangan samping yang menuju ke halaman belakang rumahnya. Pekarangan samping yang sempit hanya sekitar semeter saja itu ternyata juga dimanfaatkan untuk menggantung-gantung bunga dalam pot. Jingga kagum sekali dengan keuletan Mbak Ratih yang belum ia kenal itu.
"Duh, telaten sekali, nih, pasti si Mbak Ratih. Tapi, kok adiknya kayak kamu, sih, Ndy,"
"Ih, kayak apa emangnya? Aku juga bantuin tahu. Sama telatennya aku tuh, cuma nggak ku tampilin aja imageku yang asli," Nindy membela diri.
"Apa'an image palsu segala, aslinya sailormoon, gitu? Wkwkwk" Jingga terbahak membayangkan temannya itu berkostum kartun sailormoon.
"Sialan!" Nindy pura-pura menonjok lengan Jingga. Alhasil Jingga kesakitan lagi, karena sepura-pura apapun sebuah tonjokan, kalau berasal dari sebelah lengan orang berbody seperti Nindy ya tetep aja sakit.
* * *

Komentar Buku (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    23d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru