logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Lampu Mati

[24/3 15:28] Staf kantor madrasah diniah: Masuk madrasah diniah kelas enam mulai tanggal satu, memakai seragam madrasah seperti biasanya. Memakai hijab hitam dengan rok hitam bersama atasan seragam hijau terlu asin.
[24/3 15:28] Lenda: Baik, terima kasih pak.
Pesanku hanya di read.
Tidak dibalas setelah aku tunggu lima menit ke depan. Tapi biarlah, pemilik nomornya mungkin sibuk.
***
Gus Iqbal
Malam kini begitu padam. Tidak seperti biasanya cahaya rembulan tiba-tiba meredup tertutup mendung. Bukankah hujan masih belum waktunya untuk turun?
Lampu kota kini sebahagian padam, deruh angin yang kencang, sepertinya merobohkan pepohonan yang dekat dengan arus listrik sehingga memutuskan sambungan.
Pondok pesantren yang aku asuh begitu gelap gulita, tidak ada seberkas satupun cahaya yang keluar dan terlihat.
Aku rasa agak jauh dari sana listrik ada yang menyalah.
Kenapa baru kali ini dari beberapa tahun lampu bisa padam?
Aku memperhatikan keadaan lingkup pondok pesantren Abah Umiku yang ramai, bersama kegelapan pesantren yang semakin menjadi.
Keributan santri ratusan terdengar hampir dari sisi segala arah, bertabrakan dengan suara angin kencang. Sehingga suaranya seperti lebah yang mau menyerang bersama kawananya.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya diributkan, apa mungkin juga membahas, kenapa tiba-tiba listrik bisa padam?
"Le, bukannya kamu masih punya jam untuk santrimu? Lalu kenapa masih di sini, lhang berangkat! Santrimu banyak yang menunggu nanti."
"Lampu mati seperti ini mungkin tidak akan ada yang mau kulo masukin untuk ngaji kitab. Kan ruangannya gelap, Umi. Meskipun sudah pakai lilin juga pasti tidak mau, ujung-ujungnya juga bakalan ditinggal bubuk."
Umi yang menduduki kursi rotan dengan ditemani cahaya lilin yang sedikit meredup, akhirnya mulai mengajakku berbicara.
Abah jam segini sudah tidur duluan, sementara Mas Haikal yang sukanya di kamar pribadinya yang dekat dengan aula wilayah santri putra, tidak mau sedikitpun campur tangan soal pesantren.
Aku tidak tahu benar, Mas Haikal itu maunya seperti apa? Mulai dari aku lulus kuliah di Universitas Kairo, dia lebih memilih tinggal menyendiri di kamar pribadinya dan seakan ingin lari serta menjauh dari tanggung jawab mengasuh pesantren.
Padahal juga tahu sendiri, pesantrennya Abah dan Umi itu santrinya banyak.
Sudah menjadi kewajiban sebagai anak untuk meneruskan tanggung jawab mengasuh pesantren.
Tetapi entah kenapa, Mas Haikal enggan melaksanakan tanggung jawab itu.
Jam pelajaran diniah malam yang dulunya dia pegang, kini diserahkan semua ke aku. Tentang mengurus data penerimaan santri baru yang muasalnya Mas Haikal, seketika beralih menjadi tanggung jawabku.
Abah tidak bisa seperti dulu, yang bisa marah saat anaknya tidak lagi disiplin. Yang bisa memberi hukuman saat anaknya tidak lagi bertanggung jawab.
Abah yang sekarang bukan abah yang setegas dulu, abah yang sekarang adalah abah yang hanya bisa berdoa agar anaknya bisa seperti harapanya, tanpa harus lagi marahin tanpa harus lagi memerintah yang ini itu.
"Biy, kamu lupa? Bukannya seminggu lalu habis nyuruh Kang Ali beliin jensed. Kenapa tidak difungsikan saja?"
Umi mencoba mengingatkanku.
Bentar, aku rasa Umi benar.
Aku yang lupa. Bagaimana aku bisa seperti ini? Padahal aku sendiri yang memutuskan untuk membeli jensed ke luar kota, itupun yang menyuruh kang Ali juga aku.
"Astaghfirullah ... nggih, Nggih, Umi ... kulo sendiri yang lupa. Tapi jensednya kulo taruh di mana nggih?"
Kali ini, aku juga lupa soal jensed yang aku taruh di mana.
Seingatku naruhnya itu di kamarnya Abah Umi.
Tapi, tadi aku sempat mampir ke kamarnya Abah Umi. Yang ada hanya pakaian Abah yang belum dilipat dan mushaf yang ditaruh di atas meja.
"Kamu kan megang hp, Biy. Sekarang mending, tanya langsung ke kang Ali. Mungkin dia tahu."
"Nggih, Umi."
Ya allah, pikiranku ini apa? Dari tadi kok malah ngrepotin Umi dengan pertanyaan. Tanya sesuatu yang sesuatu itu seharusnya aku sudah tau.
"Assalamu'alaikum ... Kang Ali."
"Wa'alaikumsalam ... ada apa, Gus? cari saya?"
Dari nada bicaranya, seperti nada yang agak kesal. Entah,
Apa lampu padam membuat Kang Ali harus berkamuflase? Tidak mungkin bila Kang Ali berkamuflase secepat itu. Toh, dia manusia.
"Kamu tahu jensednya pesantren itu, ada di mana? Bukannya kemarin kamu yang aku suruh nyimpen, bukannya?"
"Jensed aku taruh di gudang, Gus."
"Gudang yang di sebelah mana? Kita itu punya tiga gudang Kang Ali."
"Gudang yang ada di dekat kawasan perbatasan antara santri putra dan putri."
"Kok jauh banget naruhnya?"
"Tak ambilin aja, Gus."
Aku tersenyum rapi. Aku tidak menduga kalau urusan bisa semudah ini.
"Apa tidak ngrepotin, kang?"
"Kenapa ngrepotin, justru malah membuat aku bahagia."
"Bahagia?"
"Bahagia dapat pahala lagi, dan bisa menjadi pengabdi yang bermanfaat di pesantrennya Gus."
"Ya sudah ... terima kasih loh, Kang."
Aku hanya menunggu sekitar lima belas menitan, namun lampu sudah menyalah terang.
Kang Ali ini hebat, masalah lampu sekarang sudah kelar.
Namun ini masih belum selesai, sekarang tugasku ke aula putra, ngajar santriku yang katanya Umi bakalan lama menungguku.
"Assalamu'alaikum."
Aduh, ini yang membuat aku harus menjadi super sabar. Mencoba juga pengertian.
Aula yang berisi sekitar dua puluh limahan anak, kini anak-anak tersebut dengan kompak mengambil barisan ikan laut, merebahkan badan di atas karpet-karpet hijau yang sudah dua mingguan kemarin aku belikan yang baru. Apa karpetku ini, memabukkan mereka, sehingga mampu tidur?
Apa hanya karena lampu mati tadi?
"Wa'alaikumsalam, Gus."
Ada seorang santri putra yang begitu spontan menjawab salamku, selekas terbangun dari tidur tepat di barisan yang bagian paling depan.
Sekitar empat langkah dariku.
"Ya allah, ayo bangun! Masa' masih baru jam delapan malam sudah berlomba tidur. Ayo bangun!"
Mendengar suaraku sebahagian ada yang terbangun. Namun juga masih menata diri dengan meregangkan tubuh sejenak, bahkan ada juga yang langsung terduduk sambil menunduk.
Terutama yang paling mengefek di bagian depan sendiri dan pertengahan. Tapi yang belakang malah justru masih pura-pura tidak dengar atau bagaimana?
"Jadid, belakangmu tolong bangunin, ayo semua yang tidur ini bangun, dan yang bangun jangan ditidurkan!"
Aku sudah menyiapkan diri untuk membuka kitabku untuk malam ini.
Tinggal menunggu mereka saja, untuk proses mengajarku.
Mungkin mereka semua memang lagi kecapekan. Wajarlah, para santri masih lelah belajar. Nanti kalau besar baru akan merasakan bagaimana capeknya habis kerja.
Kali ini aku agak malas berdiri lagi.
Mungkin karena posisi dudukku yang sudah nyaman.
Meski tidak berdiri buat ngajar, palingan sudah ke dengar ke telinga santri putra yang ada di depanku ini, bilamana aku pada menyuruh mereka untuk membuka matanya buat maknain kitab kali ini, lalu menyuruh mereka untuk meluangkan waktu sejenak untuk mendengar, sambil menulis makna kitab yang aku bacakan dan memahami beberapa materi yang aku jelaskan.
"Baik, Gus."
"Ayo ... semangat, tujuan kalian di sini itu mondok bukan bubuk. Ayo kitabnya silahkan dibuka!"
Sebenarnya aku geram terhadap mereka.
Namun aku hadapi dengan sedikitku tersenyum, karena melihat mereka yang mulai menyusul untuk terbangun dengan peci yang tak karuan bentukya, peci yang arahnya juga tak menentu. Dan juga melihat sayup mata mereka yang tak dapat dicegah lagi rasa kantuknya.
Ya Allah, santri putraku ini.
Kadang kala aku ingin marah, ingin selalu bersikap amat tegas kepada mereka semua. Namun rasanya aku terkadang juga tak tega, mereka sudah lebih dulu membuatku tersenyum.
Mereka juga sama halnya sepertiku yang dulu pernah berada di pesantren. Namun bedanya aku dengan mereka, aku dulu malah tidak pernah belajar hanya cukup dengarin guru, memahami materi dan menulis saja. Tetapi kalau mereka, mungkin mereka lelah sibuk belajar amat serius sampai menunggu guru terkadang harus tidur meski tahu, nanti bakalan geragapan sendiri.

Komentar Buku (115)

  • avatar
    AzahraWiwin

    ceritanya sangat inspiratif, bagus dan memotivasi kita semua. thanks

    24/07/2022

      0
  • avatar
    Dwi CahyaFardana Difka

    Cerita Ini Sangat Menarik Dan Alurnya Juga Indah

    21/07/2022

      0
  • avatar
    Selvia Putri

    seru banget novelnya

    7d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru