logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB09-Merasa Lucu

Kedua kaki Ansel melangkah dengan hati yang sangat dongkol menuju pintu keluar. Ia merasa tidak terima dengan permintaan kedua dari sang kakek tadi.
"Brad," panggil Ansel ke pria yang sedang menunggunya di teras depan.
Bradley tersadar dan menoleh ke arah kedatangan sahabatnya itu.
"Ada apa?" tanyanya kemudian berdiri.
Kini malah Ansel yang duduk.
"Aku pusing, Brad. Kakek menjodohkan aku kali ini," ujarnya kesal.
Ansel mengusap kasar wajahnya merasa frustasi. Bradley, dia tersenyum dan kembali duduk di kursi bagian samping kanan Ansel.
"Bagus dong. Bukankah itu jalan terbaik untukmu?"
Ansel melempar pandangan sengit ke arah Bradley. "Kau selalu saja membelah apa yang dilakukan kakekku, Brad. Sebenarnya, kau itu bekerja untukku atau kakekku?"
Bradley menggeleng-geleng kepala dan masih tersenyum. "Dua-duanya," balasnya jujur.
"Berhentilah untuk selalu memihak pada mereka, Brad," ketus Ansel.
Daripada terus mendengar keluh kesah Ansel, Bradley memilih untuk pulang saja ketimbang terus-terusan memikirkan pria tengik itu, pikirnya.
Bradley berdiri. "Sebaiknya aku pulang saja, Sel. Renungi saja dirimu sendiri, dan pikirkanlah masa depanmu. Sebaiknya, aku pergi gitu dan kau bisa mengintropeksi diri dari sekarang dan sikapilah kebaikan kakekmu dengan benar. Tidak ada yang tidak baik diberikan olehnya. Kalau begitu, aku pamit," kata Bradley.
"Sial! Aku benar-benar bingung denganmu, Brad. Apa kau masih seorang manusia?" tanyanya dengan perasaan kesal.
"Seperti ucapanmu barusan. Baiklah, aku pergi. Tidak baik berlama-lama saat bukan jam kerja."
Pria itu tak mempedulikan Ansel yang sedang menggerutu kesal. Dengan mengayunkan langkah pasti, Bradley terus fokus menatap ke arah jalan.
"Brad!" teriak Ansel.
Terus berjalan tanpa berbalik badan hingga menghilang di balik tembok rumah.
☘☘☘
Hari yang tidak dinanti-nantikan Alona pun akhirnya tiba. Perempuan itu kini sedang bersusah hati untuk melewati paginya. Makan pun tak berselera, hingga memilih untuk mengurung diri sebelum tiba waktunya.
"Alona!"
Suara gedoran pintu terdengar kencang dari dalam. Alona yang sempat menopang dagunya pun tersentak, kaget.
"Buka pintunya!" teriak sang Mama sambil menarik-narik gagang pintu dengan paksa.
Alona mengarahkan pandangannya ke pintu kamar. "Sangat mengganggu sekali. Pasti, itu adalah tentang pertemuan nanti," gumam Alona.
Tidak bisa membiarkan begitu saja. Andai pun bisa, mungkin Alona tidak boleh melakukannya. Sebab, dia bisa dalam masalah berurusan dengan Mamanya.
"Ada apa, Ma?" tanyanya malas.
Hanya kepalanya saja yang keluar di balik pintu yang tak terbuka lebar.
Alis Madam Issabel terangkat sebelah. "Kau tidak mengizinkanku masuk ke dalam? Apa kau sedang melakukan cara untuk kabur?" dia menerka-nerka membuat Alona gerah.
Bola mata Alona berkeliling. Gadis itu kini mundur sembari menarik daun pintu agar terbuka lebar.
Tanpa bersuara dan meminta untuk masuk, Madam Issabel lebih dulu mengayun langkahnya. Sorot mata itu, memutar mengitari ruang kamar Alona.
"Jangan berbasa-basi, Ma. Langsung saja ke intinya," tegas Alona.
Madam Issabel duduk di pinggir ranjang dengan kaki disilangkan. Wajah yang terbilang angkuh, sedang dia arahkan ke Alona yang masih tetap di posisi semula.
"Jangan berlaku tidak sopan, duduk dulu."
"Aku sudah sedari tadi duduk. Katakanlah," balas Alona acuh tak acuh.
Wanita paruh baya itu pasrah dan tak berniat untuk berdebat.
"Jangan lupa, di Manhattan kau bisa langsung ke restoran Steak Yummy dengan diantar oleh David. Kumohon, jangan membuat masalah. Pokoknya, kau harus menerima ajakan cucu dari Tuan Alaska ketika dia membicarakan pertunangan atau pernikahan. Bersiaplah." Madam Issabel kini berdiri dan berjalan mendekati Alona.
"Kau tidak boleh menolak soal ini, Alona," seolah berbisik dengan penuh tekanan. Alona tak menjawab sampai Madam Issabel pergi dari kamarnya.
Kini, asisten pribadi keluarga mereka memiliki jadwal langsung ditugaskan dari Madam Issabel. David, dia sedang mengendarai mobil besar milik keluarga menuju Manhattan.
"Dav," panggil Alona tiba-tiba.
David membalas tatapan Alona dari kaca spion depannya. Ya, Alona duduk di jok belakang.
"Iya, Nona," balasnya.
"Menurutmu, apa aku harus menerima perjodohan yang tak di luar akal sehat ini? Dalam pikiran mereka hanya terus memikirkan tentang uang. Apakah menurutmu mereka itu jelmaan uang yang sudah usang?" tanyanya dengan bibir cemberut.
David tersenyum melihat Nona mudanya yang teramat sangat polos itu.
"Apakah di dunia ini ada jelmaan uang usang? Maaf, saya baru mendengarnya dari Anda, Nona."
Alona membuang napas. "Itu bukan jawaban yang kuminta, Dav. Sama saja berbicara denganmu tidak ada jawabannya. Kau juga tidak tahu perasaanku. Apa aku masih bisa menganggapmu teman, Dav?"
"Tentu saja, Nona. Saya percaya dengan yang Anda lakukan. Ikuti kata hatimu, Nona," balas David tanpa ragu.
"Ikuti kata hati?" batin Alona.
"Kenapa tidak terpikirkan olehku?"
David masih sesekali melihat Nona mudanya yang tiba-tiba berdiam dan tampak berpikir itu. Namun, tidak ada yang perlu ditakuti oleh pria muda yang terpaut tiga tahun di atas Alona.
Dia mengerti, kalau Alona memiliki kecerdasan luas dibanding dengan ketiga kakaknya. Memiliki hati yang penuh kasih ke sesamanya, dibandingkan dengan seluruh anggota keluarganya sendiri.
Sampai di Restoran Steak Yummy yang berlokasi di daerah Manhattan, kini perlahan kaki jenjang Alona melangkah turun satu persatu setelah David membuka pintu.
"Terima kasih, Dav."
"Sama-sama, Nona. Saya akan memantu Anda dari kejauhan," balas David.
Alona mengembang senyum dan mengangguk. Mengenakan atasan crop top berwarna peach dengan aksen kancing besar di bagian tengahnya, membentuk lekukan tubuh Alona yang sangat dominan itu. Ia pun mendominasi bawahannya dengan midi pleated skirt berwarna hitam disertai sepatu bertumit emas 3cm.
Sangat sempurna dilihat oleh mata saat ia berjalan dengan rambut panjang yang tergerai indah mengikuti gerak tubuhnya.
Ekor mata Alona mengitari ruangan resto sambil terhenti sejenak. Ia sempat ditanya oleh salah satu pelayan restoran, namun ia mengatakan mencari seseorang. Dan benar saja, kini orang yang sedang ia cari sesuai dengan nomor meja yang telah diberikan oleh Madam Issabel pun, tampak tak jauh dari posisinya.
Alona mengibaskan rambutnya dan kembali mengayun langkah menuju meja di dekat jendela berbahan kaca itu. Ansel, ia tak sengaja menyoroti kedatangan Alona, dan langsung menebak itu adalah dia. Perempuan pilihan Tuan Alaska, kakeknya.
Meletakkan tas bermerek miliknya, Alona berkacak pinggang serta menantang. Ansel, dia terlihat bingung dengan yang ia lihat barusan.
"Kau yang bernama Ansel?"
Anggukan pelan terlihat dari Ansel.
"Aku beritahu padamu. Jangan menerima perjodohan ini!" ketusnya masih berkacak pinggang.
Bradley, pria itu baru saja hendak duduk di samping Ansel, sesuai janji mereka sebelumnya. Dia tercengang, ketika sorot mata Alona kini mengarah padanya.
"Kau?" tunjuk Alona pada Bradley.
Ansel mengarahkan telunjuknya bergantian ke Bradley maupun Alona. "Kalian saling kenal?"
"Ya. Dia yang hampir menabrakku kemarin. Apa kalian juga saling mengenal?"
Ansel mengangguk. "Dia sahabatku."
"Agh, begitukah?" Alona melipat kedua tangan di atas dada, dan sambil menggerakkan kepalanya. "Aku beritahu pada yang namanya Ansel untuk menolak perjodohan kita. Kau harus tahu, kalau makanku sangat banyak. Aku tidak bisa melihat makanan nganggur di atas meja."
Dia menatap makanan yang sudah tersedia. Duduk, dan dengan cepat melahap makanan berupa kentang, sirloin steak berkuah saus dengan menggunakan tangannya langsung.
Kini, ia merampas minuman milik Bradley. Dia menyeruput sesekali, kemudian menyantap kembali makanan yang ada di depannya.
Demi apa pun, Alona kini sedang mempermalukan dirinya sendiri. Bradley, pria itu bukan merasa jijik seperti Ansel yang sedang memperhatikan Alona sekarang.
Bradley merasa lucu dan paham akan tujuan Alona. Tak cukup sekali ia tertawa hingga mengucek matanya karena tidak pernah sebelumnya, ia bisa tertawa sampai cairan bening membuat jejak di ujung mata.
Di ujung sana, David merasa bangga akan kepintaran yang alami di miliki Alona.
"Aku pergi," kata Ansel beranjak dari duduknya.
Bersambung.

Komentar Buku (55)

  • avatar
    Akhwat Fakir Ilmu

    Bagus banget kak Semangat Lagi Membuat karyanya Jgn pantang semanggat semanggat 💪 kk

    14/01/2022

      3
  • avatar
    WahyuniTri

    menarik cerita nya...lucu...gemez semoga selalu semangat membuat cerita² yg lebih baik

    13/01/2022

      0
  • avatar
    Nisa Diva

    500

    15/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru