logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB06-Kemarahan

Perlahan-lahan Alona menarik wajahnya, kemudian ia mendongak ke sumber suara tepat di depannya. Napasnya terdengar tak beraturan disertai tubuh yang sedikit bergetar karena merasa takut.
"Apa Anda baik-baik saja, Nona?" tanya pria itu mengulang.
Alona menggeleng dan kemudian hendak bangkit dengan bersusah payah, dikarenakan efek kaget yang masih tersisa dalam dirinya.
"Mari aku bantu," katanya mencoba menyentuh lengan Alona.
"Maaf," kata Alona setelah dia berhasil berdiri.
Kini dia berada di samping pria si pemilik mobil yang hampir menabraknya.
Pria tersebut mengukir sebuah senyum, dari bibir merahnya yang merekah sebagai respon pertama untuk ucapan Alona tadi. Terselip tatapan penuh mendamba di iris mata kecoklatan milik pria itu.
Dia menggeleng pelan.
"Tidak masalah, Nona. Asal kau tidak terluka, tidak ada yang perlu dimaafkan. Beritahu padaku jika ada bagian tubuhmu yang sakit. Aku akan membawamu ke rumah sakit," tuturnya masih memperhatikan tubuh Alona seolah sedang mencari sesuatu.
Alona cepat menggerakkan kepalanya.
"Ahhh, sepertinya tidak ada Tuan. Aku baik-baik saja. Hanya terkejut," balas Alona menolak seraya mengangkat kedua tangan ke udara.
Pria tersebut masih mencoba membujuk Alona.
"Jangan takut, Nona. Meskipun ini bukan kesalahanku. Aku tetap akan membantumu," tandasnya.
Suara lelaki itu membuat Alona merasa sangat sungkan dan menjadi tidak enakan. Dikarenakan kesalahan memang terletak pada diri Alona.
"Tidak apa-apa, Tuan. Aku merasa baik-baik saja. Terima kasih atas kebaikanmu." Menolak dengan sopan dengan harapan pria asing itu percaya pada dirinya.
Alona pun mengamati pria di depannya yang kini menatap terang-terangan ke arahnya. Tanpa berkedip pula. Tapi, semakin membalas pandangan, akhirnya dia mengingat bagaimana pertemuan pertama tadi dengan pria yang terlihat sangat baik dan sopan.
"Maaf, apa benar kau-pria yang ada di butik tadi?"
Sempat tak mengalihkan pandangan, pria tersebut sudah mengerjap-ngerjap ketika Alona mengingat dirinya.
"Yah, aku yang menyambut kedatanganmu di butik temanku tadi," kata Bradley salah tingkah dan menunjuk ke posisi butik yang cukup berjarak. "Tapi, bukankah kudengar tadi kau hendak ke taman?" tanya Bradley berbasa-basi.
Tiba-tiba saja rasanya Alona menjadi beku dalam posisinya.
Berhadapan dengan pria seperti Bradley, sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Alona.
Perempuan itu mengedikkan bahu. "Ya, karena cuaca tidak mendukung semuanya batal. Aku ingin pulang," balasnya jujur.
Bradley tampak berpikir.
"Pulang? Dimana rumahmu? Siapa tahu kita searah, Nona," balas Bradley kemudian.
"Searah?"
Bradley mengangguk. "Ya, mungkin saja. Katakan, biar aku bisa mengantarmu jika kau tidak berkeberatan, Nona. Lihat sendiri," tunjuknya ke arah langit yang sedang hujan, "kebetulan cuaca sedang tidak bersahabat," tutur Bradley beralasan.
Alona melesatkan pandangannya ke arah jari telunjuk Bradley, sebelum ia kembali menemui mata pria di depannya yang sama sekali tidak berpindah dari wajahnya.
"Tidak perlu, Tuan. Aku bisa menggunakan taksi. Kalau begitu, aku permisi," balasnya seraya setengah menunduk ke Bradley.
Tidak menunggu jawaban Bradley. Alona mengayun langkah besar ke tempat yang bisa mendapatkan taksi tanpa berniat memandang ke belakang.
"Mampu mengguncang hati," gumam Bradley sambil tersenyum.
Ekor mata itu memuja dan masih memperhatikan punggung Alona, sebelum benar-benar menghilang dari pandangannya.
🌳🌳🌳
88 Remsen St, Brooklyn, NY.
Alona akhirnya tiba di depan kediaman megah keluarganya. Seorang pria berbadan tegap tengah berdiri di atas tangga penghubung pintu masuk pun, menantikan kedatangan Nona muda mereka.
Status pria itu diketahui sebagai sekretaris pribadi keluarga Alona. Langsung saja dia berjalan mendekati pintu taksi yang terbuka dengan sebuah payung di tangan.
"Selamat datang kembali, Nona. Anda sudah ditunggu oleh Madam Issabel di ruang keluarga," ucapnya dengan suara bariton.
"David, apa kau tidak melihatku? Kakiku saja belum menapaki jalanan," katanya lirih dengan menghadapkan wajah ke arah pria tersebut.
David, dia mengangguk. "Maafkan saya, Nona."
Alona kemudian menuruni satu persatu kakinya, lalu berjalan sesudah David menutup pintu.
"Apakah Mamaku marah?" tanyanya saat keduanya sudah menapaki anak tangga.
"Mungkin saja, Nona. Beliau pulang dengan raut wajah yang kesal. Dia juga melempar tasnya ke atas sofa," kata David jujur.
Alona menarik napas. "Aku sudah menduganya, Dav," balas Alona.
"Silahkan masuk, Nona," ucap David setelah pintu yang terbuat dari kayu kokoh itu terbuka.
"Terima kasih, Dav," katanya kemudian melangkah cepat.
Alona langsung saja menapaki lantai berbahan parket menyerupai kayu itu, mengarah ke ruang keluarga.
Tiba di tujuannya, Alona mendapati kedua daun pintu berwarna putih susu yang menjulang tinggi itu terbuka dengan lebar. Tampak, wanita yang menanti kedatangannya sedang duduk di atas sofa, memainkan benda persegi miliknya.
"Ma," panggilnya setelah melewati pintu masuk.
Perempuan yang di panggil Mama itu, mendongak mengarahkan tatapan ke wajah Alona dengan mata yang menyala-nyala.
"Anak gak tahu diri! Sudah puas membuatku malu?!"
Dia berdiri mendekati Alona.
"Membuat malu bagaimana, Ma?"
"Apa kau masih tidak berpikir, Alona? Kau sedang berhadapan dengan siapa tadi?" sentaknya dengan suara yang mulai meninggi.
"Siapa? Pria tua tadi? Apakah Mama tega menjual anakmu sendiri demi sebuah jabatan, harta, dan martabat? Apa Alona ini anakmu, Ma?"
"Pria tua kau bilang?"
Alona menggeram. Rahangnya mengeras dengan wajah putih yang berubah merah padam, ketika pikirannya memerintah untuk melawan ucapan sang Mama. Perasaan Alona juga ikut berkibar dengan nyala api yang siap dia semburkan.
"Ya, Mama ingin aku menikah dengan pria tua tadi, bukan? Kenapa gak Mama aja yang menikah dengannya dan dapatkan semua harta yang kau inginkan!" teriaknya menggebu-gebu.
Plakkkkkk ....
Satu tamparan keras di dapat Alona. Ia menyentuh pipinya yang bergetar, menahan rasa sakit yang kian hari terus mengusiknya. Alona masih menunduk. Dia enggan membalas tatapan sengit dari wanita itu.
"Jangan sekali-kali kau berteriak padaku! Kau harus mengikuti semua perintahku jika masih ingin tinggal di rumah ini, Alona. Aku, tidak akan mungkin mengenalkanmu dengan pria tua untuk dijadikan suamimu. Apa kau pikir aku ini sudah gila?"
Alona perlahan membawa kembali pandangannya ke Madam Issabel.
"Kau harus mengingat ini, Alona. Lusa, kau tidak boleh ke mana pun. Kau harus datang ke restoran yang ada di Manhattan untuk bertemu dengan cucu-Tuan Alaska bernama Ansen. Nanti, aku akan mengirimkan alamatnya padamu. Jangan membuat masalah lagi untukku. Kau mengerti?!"
Madam Issabel kini melewati tubuh Alona yang masih terpaku di posisinya. Sebelum dia mencapai pintu, Alona membuka mulut dan berbalik badan menghentikan langkah Madam Issabel.
"Ini yang terakhir kalinya. Aku tidak ingin kau memperlakukan ku lagi seperti tadi!" serunya dengan lantang.
Giliran Alona yang berjalan melewati tubuh Madam Issabel. Wanita itu meratapi kepergian putri kecilnya dengan perasaan yang tidak percaya.
"Ada apa denganmu, Alona?" tanya Leon saat berpapasan dengan Alona, saat berjalan melewatinya.
Alona tidak menggubris sang kaki. Langkahnya semakin dipercepat untuk menggapai anak tangga menuju kamarnya.
"Tidak seorangpun yang mengerti tentang perasaanku. Atau bertanya, bagaimana dengan keadaanku hari ini." ~ Alona.
Bersambung.

Komentar Buku (55)

  • avatar
    Akhwat Fakir Ilmu

    Bagus banget kak Semangat Lagi Membuat karyanya Jgn pantang semanggat semanggat 💪 kk

    14/01/2022

      3
  • avatar
    WahyuniTri

    menarik cerita nya...lucu...gemez semoga selalu semangat membuat cerita² yg lebih baik

    13/01/2022

      0
  • avatar
    Nisa Diva

    500

    15/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru