logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

BAB03-Menyebalkan

Alona berjalan dengan pelan mendekati sang Mama, dan berhenti tepat di sampingnya. Obrolan yang sempat terlihat sangat serius pun, kini teralihkan saat pria tua itu lebih tertarik melayangkan tatapan ke Alona. Ia mengulas senyum, seolah menyambut kedatangan Alona ke tengah-tengah mereka. Anggukan kecil diberikan Alona sebagai kesopanannya.
Madam Issabel menyoroti sang putri, lalu berpindah mengarahkan senyum yang merekah ke pria tua di depannya.
"Tuan Alaska, perkenalkan ini putriku, Alona." Madam Issabel menunjuk ke arah Alona.
Alona tersenyum simpul.
"Alona? Nama yang sangat indah seperti wajahnya," puji Tuan Alaska dengan suara sedikit serak.
Ekor matanya menyoroti keanggunan dari putri kecil keluarga Smith.
"Seperti yang Anda lihat," gumam Madam Issabel bangga.
"Alona, berikan salammu ke Tuan Alaska. Dia adalah pemilik perkebunan, peternakan, industri, resort, dan lain sebagainya di beberapa negara dan kota besar."
Ekspresi wajah Alona tampak berubah, saat dia mengerti arti panggilan Mamanya barusan. Demi menjaga martabat seorang Madam Issabel. Alona lantas memberikan senyum palsu ke Tuan Alaska.
"Senang berkenalan dengan Anda Tuan Alaska. Tapi, maaf, saya tidak pernah tertarik dengan dunia bisnis. Jadi, izinkan saya untuk undur diri," katanya dengan sedikit menunduk dan mengukir sebuah senyum.
Alona menoleh sekilas ke Madam Issabel, dan kemudian pergi dari sisi sang Mama. Pembuluh darah Madam Issabel tampak menegang di bagian lehernya, melihat kelancangan Alona secara terang-terangan.
Ia mencoba kembali fokus ke Tuan Alaska. Tersenyum, pria tua itu lagi-lagi mengembangkan sebuah kesenangan yang tidak di buat-buat saat menyoroti nona kecil di keluarga Smith pergi di tengah keramaian tamu.
Alona memilih duduk di pojokan. Mengambil segelas wine, yang sempat ditawarkan oleh pramusaji di sekitarannya.
"Kau di sini Nona kecil?"
Baru saja menenggak minumannya, ia kembali kedatangan tamu baru. Tak lain dan tak bukan, itu adalah Kakak pertamanya, Larry Smith.
Ia lagi-lagi harus memainkan drama.
Alona menarik sedikit sudut bibirnya, mengulas senyuman tipis.
"Hemmmm ... apa yang kau lakukan di sini, Kak?"
"Melihat adik kecilku," balas Larry seraya duduk tepat di depan Alona. Kedua sudut bibir tertarik membentuk senyuman.
Segelas wine juga menjadi minuman sang Kakak. Sekilas, ia melirik ke arah Alona yang sedang menggenggam gelas kaca miliknya.
"Tidakkah membuang waktumu duduk bersamaku?" sindir Alona.
Larry memandang dan kembali membentuk senyum. "Tentu saja tidak. Untuk adikku sendiri, apakah aku terlalu kejam?"
Tawa kecil terdengar keluar dari mulut Alona. "Ayolah, Kak. Ini bukan kau yang sesungguhnya. Langsung saja ke topik."
"Wuah ... aku tidak tahu, kalau adik kecilku ini memiliki mata batin. Begini, apa kau mau membantuku, Alona?"
Dahi Alona mengerut. "Bantu? Bantu apa maksudmu?"
Larry meletakkan gelas dalam genggamannya ke atas meja. Kemudian, dia mengulurkan tangan untuk menunjuk ke arah beberapa orang di tengah keramain.
"Kau lihat pria tampan itu?"
Sejenak ia menatap sang Kakak, lalu ikut berpindah memandang ke tempat yang ditunjuk. "Ya? Kenapa?"
Dengan menggebu-gebu Larry hendak menjelaskan. "Dekati dia. Atau, kau bisa memacarinya jika kau mau Alona. Dia anak pengusaha telekomunikasi terbesar di Amerika. Jika kau berhubungan dengannya, kita semua akan mendapatkan percikan." Larry tertawa merasa sangat istimewa memikirkan jika itu terjadi.
Alona menajamkan pandangan. "Jangan gila, Kak! Aku tidak mau. Kau tahu bagaimana aku, 'kan?"
Tawa yang sempat mengudara tadi, berangsur menghilang menjadi kemarahan. "Apa kau tidak bisa membantu keluargamu sedikit pun, Alona?"
"Bukan seperti itu bantuan untuk keluarga. Kau seperti memanfaatkan aku. Lihat dirimu, Kak. Bagaimana pernikahanmu atas dasar bisnis? Perceraian. Apa kau menginginkan aku sama denganmu? Tidak! aku tidak akan pernah mau!" ketus Alona.
Ekor mata Larry membulat sempurna dengan tangan terkepal menahan emosi. Benar saja yang dikatakan Alona. Pernikahan yang dilakukan antar dua perusahaan, tidak berlangsung lama saat istri sang Kakak menggugat cerai.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Leon, Kakak kedua lak-laki, Alona.
Kedua pria dalam keluarga Smith itu, memiliki tinggi 170 cm, tampan dan berwibawa tentunya. Sayang, Alona sangat tidak suka dengan sikap dan sifat yang tidak mencerminkan dari kedua Kakaknya. Ambisi menguasai diri mereka, dalam merebut kedudukan, kekayaan, dan perusahaan orang tua mereka. Hingga mengenyampingkan rasa kekeluargaan.
"Bukan urusanmu, pergilah," cetus Larry.
"Apa kau tertekan, Alona?"
"Tidak, Kak. Aku ingin pulang saja. Apa aku sudah boleh keluar dari sini?" tanya Alona dengan menyembunyikan rasa kesal.
"Hemmm ... ada baiknya kau menyapa Kakak kita terlebih dahulu. Kau sudah memberikan ucapan selamat?"
Alona menggeleng. "Belum. Apa kau mau menemaniku?"
Larry dan Leon, di antara keduanya, Alona masih lebih nyaman dengan Kakak keduanya. Entahlah, meskipun mereka sama-sama keras, namun Leon masih memiliki sedikit hati untuknya.
"Baiklah ... ayo, Kakak akan menemanimu."
Alona mengangguk patuh. Sebelum dia beranjak dari duduknya dan menoleh sekilas pada Kakak pertamanya.
"Kau tidak ingin mencoba yang kukatakan tadi, Alona?" tanya Larry lagi.
"Tidak. Aku pastikan, tidak akan pernah masuk ke perangkap kalian, Kak. Permisi," katanya seraya berdiri.
Leon mengulurkan telapak tangan ke arah Alona. Sigap, sang adik menautkan jemarinya di buku-buku jari sang Kakak, kemudian mereka berjalan meninggalkan Larry yang tampak sangat kesal.
"Ada apa dengan Kakakmu?" bisik Leon.
"Entahlah ... aku tidak mengerti dengan kalian semua, Kak. Apa nantinya kau juga akan menjualku?"
Leon menghentikan kaki, melesatkan tatapan keterkejutannya.
"Menjualmu? Apa maksudmu, Alona?"
"Kak, tadi Mama memintaku berkenalan dengan pria tua. Dan sekarang, Kak Larry memintaku untuk membantunya berkenalan dengan pengusaha itu," tunjuk Alona ke arah pria tampan yang dimaksud Larry tadi. "Dan kau? Apa kau juga akan seperti itu nantinya?" Alona menemui iris mata hazel milik Leon.
Leon tertawa geli, Alona mengerutkan dahinya.
"Kenapa Kakak tertawa?"
Setelah tawanya menyurut, Leon kembali fokus pada sang adik. "Bagaimana aku tidak tertawa. Kau jangan mempercayaiku, Alona. Aku bisa saja seperti mereka jika itu menguntungkan bagiku. Tapi, jika kau mengatakan soal pasangan, mungkin saja tidak bagiku. Aku saja masih jomlo. Sudahlah, aku akan mengantarkanmu ke Kak Margareth. Setelah ini, terserah kau saja mau ke mana pun. Aku tidak peduli dengan pembicaraan kalian."
Alona menghela napas panjang. Begitulah sifat keluarganya.
"Baiklah."
Kembali mereka berjalan membelah keramaian mencari sosok Margareth, Kakak perempuan Alona. Beberapa langkahan membawa mereka ke tengah keramaian yang dihadiri oleh orang-orang besar dari perusahaan lain. Elok, mata-mata pria yang berpapasan dengan mereka mencuri pandang pada Alona yang tampak sangat berbeda. Sayang, Alona tidak sembarangan menatap pria.
"Itu dia," tunjuk Leon saat melihat Margareth sedang berbincang dengan teman bisnisnya di satu meja bundar, yang berada di dekat podium.
"Kak Margareth," sapa Leon saat mereka tiba.
Margereth yang tengah ngobrol merasa terganggu dengan kedatangan kedua adiknya. Melirik sekilas ke teman-temannya, dan berpindah ke arah Leon.
"Maaf, aku izin sebentar."
"Apakah mereka adikmu?" tanya salah seorang teman bisnisnya.
"Yah. Keduanya adalah adikku," ucap Margareth seraya beranjak.
"Sangat cantik," gumam yang lainnya.
"Terima kasih, Andrew. Sebentar saja, aku ingin ngobrol dengan mereka." Margaret melampir senyum sebelum bergerak keluar melewati bangku.
Setelah mendekati kedua adiknya, Margareth memasang tatapan tajam ke arah Leon dan Alona secara bergantian. Kemudian mereka berjalan ke arah lain, sedikit jauh dari posisi tadi.
"Apa yang kalian lakukan? Ingin mengacau!" sentak Margareth dan melototkan mata.
"Tidak. Alona, dia ingin memberikanmu selamat padamu, Kak," balas Leon.
Kini Margareth melempar pandangan pada Alona.
"Apa tidak bisa nanti saja di rumah?" Lagi-lagi, tatapan ketidaksukaan dari Margareth, di dapati Alona.
Alona membuang napasnya. "Jika di rumah saja bisa, kenapa juga aku harus datang ke sini, Kak."
"Bener. Selagi kita berkumpul di sini, 'kan?" Leon menambahkan.
Margareth menyentuh dahinya yang tiba-tiba mengetat. "Astaga ... kalian memang ingin membuatku malu. Sudahlah, aku tidak perlu ucapan selamat dari kalian. Pergilah dari sini," titah Margareth sambil berlalu pergi.
Alona memandangi punggung sang Kakak yang mengenakan dress ketat berwarna merah pekat. Dia terlihat sangat anggun, saat rambut panjang ikal berwarna pirang itu tergerai indah di balik bahunya. Tapi, lagi-lagi sangat disayangkan Alona. Kecantikan wajah sang Kakak tidak mencerminkan isi dalam hatinya.
"Bagaimana bisa, aku terlahir di keluarga seperti ini. Apakah di luaran sana ada keluarga yang berbaik hati mencintai dengan tulus dan saling melengkapi setiap kekurangan keluarganya?" tanya Alona dalam hati.
Bersambung.

Komentar Buku (55)

  • avatar
    Akhwat Fakir Ilmu

    Bagus banget kak Semangat Lagi Membuat karyanya Jgn pantang semanggat semanggat 💪 kk

    14/01/2022

      3
  • avatar
    WahyuniTri

    menarik cerita nya...lucu...gemez semoga selalu semangat membuat cerita² yg lebih baik

    13/01/2022

      0
  • avatar
    Nisa Diva

    500

    15/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru