logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bagian 27.

Kupijit pelipisku untuk meredakan pusing yang mendera. Hampir saja aku hilang kendali, tapi kata-kataku dan juga cengkeraman tadi mampu membuatnya meneteskan air mata. Perasaan bersalah terasa erat di hati. Kenapa aku harus kasar? Tidak bisakah aku bersikap lembut pada wanita yang telah kucintai itu? Kenapa tidak kujelaskan saja bahwa aku memang pengamen dan papa Albert adalah orang tua angkatku?
“Tidak. Belum saatnya dia tahu,” desisku lalu menoleh saat pintu kamar mandi terbuka. Kinan berjalan dengan baju handuknya menuju lemari. Ingin kudekati dan memeluknya sambil mengucap maaf, tapi aku mengurungkannya agar dia tak bertambah marah. Kuputuskan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah menyiramkan tubuhku beberapa kali, aku menghentikan acara mandi lalu menyambar handuk. Kulihat dia tengah menyisir rambut di depan cermin rias. Tanpa berkata aku melangkah ke arah gantungan dan meraih sweater dan berjalan keluar kamar.
“So, gue mau keluar,” ucapku saat berpapasan dengan Also di teras.
“Ke mana, Bang? Lo gak kerja?” tanyanya dengan melihat wajahku yang mungkin kusut.
“Nggak, gue malas masuk. Handle semua meeting dan urusan gue,” balasku sambil berlalu setelah memakai sepatu. Masuk ke dalam mobil dan memacunya keluar pekarangan.
Setelah memacu mobil tanpa tujuan, kuraih ponsel untuk menghubungi Lian. Ingin kutumpahkan seluruh keluh kesahku hari ini padanya. Juga ingin meminta pendapat soal masa lalu. Apakah harus kuceritakan pada wanita yang kucintai itu? Dua kali berdering akhirnya tersambung.
“Halo, Bro. Ada apa lo telepon gue?”
Kuhela napas sebelum berkata, “Bisa kita ketemu? Gue mau ngomong sama lo.”
“Kayaknya lo punya masalah, sharelock gue pasti datang.”
“Oke,” jawabku lalu mematikan ponsel, kuberhentikan mobil di depan sebuah kafe, mengirim lokasi pada Lian dan melangkah masuk.
Tak berselang lama, Lian datang dengan memakai pakaian rumah. Wajahnya celingak-celinguk mencari keberadaanku. Aku langsung bersiul membuatnya menoleh, dia tersenyum dan melangkah ke arahku.
“Ada apa? Muka lo kok kusut gitu?” tanyanya saat sampai dan langsung duduk di depanku.
“Gue lagi ada masalah sama Kinan, istri gue,” ujarku murung.
“Masalah apa? Coba cerita, siapa tahu gue bisa bantu.”
“Gue bingung, dia banyak tanya soal masa lalu gue. Waktu gue kecil, kisah hidup gue dan siapa ayah kandung gue,” jelasku.
“Wajar, dia ‘kan Istri lo. Dia berhak tahu masa lalu suaminya, lagi pula dia cuma mau tahu masa kecil. Lebih baik lo kasih tahu aja daripada mengarah pada pertengkaran,” ujarnya menyarankan.
“Tapi ini soal masa kecil yang gue melalui sebagai pengamen. Gue nggak sanggup mau cerita, lo tahu ‘kan gue punya penyakit.” Dia diam, aku pun diam.
“Lo belum sembuh?” Aku mengangguk. “Terus, Kinan juga gak tahu?” Kembali aku mengangguk.
“Wah parah lo, seharusnya lo jelaskan sama dia tentang penyakit itu. Supaya tidak menjadi malapetaka pada akhirnya.”
“Tapi gue gak mau, gue akan merahasiakan tentang penyakit ini,” kataku menolak.
“Gak bisa gitu, Bagaimanapun lo sudah menikah. Sebaiknya kalian saling terbuka dan mencari tahu latar belakang masing-masing. Agar hubungan kalian lebih baik, gue bukan maksudnya menggurui lo, tapi itu yang terbaik untuk masa depan lo dan juga rumah tangga lo.” Aku diam meresapi. Dia benar, bahkan aku tidak tahu latar belakang Kinan. Istriku sendiri. Bodohnya aku.
“Akan gue pikirkan, thanks masukannya.” Dia tersenyum. Kami masih bercakap-cakap hingga ponselku berdering. Saat kulihat, ternyata Kinan yang menelpon. Tumben sekali, bukannya dia tengah marah?
“Siapa? Kok gak diangkat?” tanya Lian yang melihatku hanya memamdangi layar gawai.
“Istri gue,” balasku. Ponselku masih berdering dengan wallpaper fotoku dan Kinan saat berada di rumah papa Albert.
“Angkatlah, siapa tahu penting.”
Dengan menahan segala rasa sesal, aku menggeser tombol ke warna hijau.
“Halo, ada apa?” tanyaku kikuk.
“Tuan, maaf saya Alvira yang menelpon. Nyonya terjatuh dari tangga saat akan turun, sepertinya dia terpeleset.”
“Apa!? Di mana dia sekarang?
“Tuan Also membawa Nyonya ke rumah sakit terdekat.” Setelah mendengar penjelasannya, aku langsung berlari menuju mobil hingga Lian ikut dan mengejarku.
“Bro, ada apa?”
“Kinan jatuh dari tangga,” jelasku menahan sesak.
“Kok bisa? Gue ikut lo,” katanya. Aku tak menjawab dan mulai berlari lagi menuju mobil. Lian harus berurusan dengan para pelayan sebelum pergi.
  Beberapa jam di perjalanan setelah mengalami macet panjang. Aku tiba di rumah sakit muara jingga, itu adalah rumah sakit terdekat yang aku tahu. Bertanya pada resepsionis dan berlari menuju ruangan yang diberitahukan olehnya. Dengan cepat aku mendorong pintu dan masuk ke dalam, tampak Also tengah berdiri dengan seorang suster wanita yang kutahu itu bukan Dokter Frey.
“Itu suaminya, Dok,” tunjuk Also saat melihatku.
“Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?” Dokter yang kuketahui bernama Amanda dari seragamnya itu tersenyum.
“Keadaan istri Anda tidak terlalu parah, hanya benturan kecil di bagian kepala yang mungkin sembuh dalam satu minggu. Hanya saja saya menyarankan jangan terlalu membuatnya stres, apalagi usia kandungannya masih delapan minggu,” jelasnya membuat mataku melebar.
“Kandungan? Istri saya sedang hamil dokter?”
“Benar, Tuan. Istri Anda tengah mengandung, selamat ya.” Dijabatnya tanganku sambil mengucapkan selamat, lalu dia menyodorkan resep obat yang harus kutebus di apotek.
  Rasa bahagia di dalam dadaku meledak, aku senang dengan karunia dan kabar bahagia ini. Terlihat Also dan Lian tersenyum turut bahagia, lalu mereka mengucapkan selamat padaku. Aku berjalan mendekati Kinan yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Bayangan kekerasan yang kurang kuat adanya pagi tadi, kembali hadir. Meninggalkan sebersit rasa bersalah di dalam hatiku. Kusentuh perban di kepalanya, cairan obat tanpa membekas di kain putih itu.
“Maafkan aku, Sayang. Kerap kali aku melukai perasaanmu,” lirihku sambil mengusap wajahnya.
“Bro, maaf gue ganggu, tapi gue harus pulang karena gue masuk kerja satu jam lagi. Selamat ya,” ucap Lian menepuk bahuku.
“Iya, gak apa-apa. Thanks, ya,” balasku sambil menjabat dan memeluknya sekilas. Dia tersenyum dan mulai melangkah keluar ruangan.
“Bang, Sampai kapan lo akan tetap begini?” tanya Also di sofa.
“Maksud lo apa?”
“Ingat, Bang. Kalian itu sedarah. Kinan adik lo, dia anak Ardiraga dan lo juga. Sebentar lagi kalian akan punya anak.” Aku tersentak dan menoleh ke arahnya.
“Itu urusan gue,” balasku membuatnya menggeleng.
“Bang, sadarilah. Hubungan lo dan Kinan itu tidak sah menurut agama. Mau sampai kapan rahasia ini? Ingat, Bang. Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya,” katanya menohok hatiku.
Dia benar, satu kesalahan telah kulakukan, tapi bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur mencintainya. Bahkan sudah ada benih yang dikandung dari buah cinta kami. Kuhela napas dalam-dalam.
“Lo benar, So. Gue bingung sekarang, apa yang harus gue lakukan?”
“Kok lo malah tanya sama gue? Pikirkan sendiri, gue mau kerja,” katanya bangkit dan melangkah keluar. Meninggalkan aku dan segala kebingungan yang ada.
Beberapa lama aku terdiam, menatap wajah wanita yang tengah berkelana di alam mimpi. Rasa bersalah terukir kuat di dalam hati, apa yang harus aku lakukan sekarang? Berpikir aku lakukan untuk mencari jalan keluar, tapi otakku seakan buntu. Buntu karena cinta yang terjalin. Hingga mata Kinan mulai membuka, tapi tertutup lagi dengan tangan memegang kepala.
“Kinan, kau sudah sadar?” Dia bergeming dan mulai membuka matanya lagi.
“Aku membuatmu susah lagi, Mas?” lirihnya pelan. Aku menggeleng.
“Tidak, Sayang. Jangan pikirkan itu, pikirkan soal kesembuhanmu dan calon bayi kita,” ujarku membuatnya tampak tersentak.
“Bayi? Aku ... aku hamil, Mas?”
“Iya, Sayang. Usia kehamilanmu masih delapan minggu. Jaga dirimu dan calon anak kita baik-baik, soal tadi maafkan aku,” kataku lirih, dia tersenyum dan mengusap wajahku.
“Aku berjanji, Mas. Akan menjaga calon anak kita baik-baik. Jangan kau pikirkan soal tadi, aku yang terlalu banyak bertanya. Maaf,” balasnya serak.
Kurengkuh tubuhnya sambil mengecupnya pelan. Hubungan darah seperti yang dikatakan Also hilang. Bergantikan rasa cinta yang kian menggebu. Aku harap semua ini akan baik-baik saja, hingga maut yang memisahkan kami nanti.

Komentar Buku (176)

  • avatar
    Rusmawati Ketty

    sedih.tpi terharu karna romantis

    23h

      0
  • avatar
    Sann Gaurifa

    sangat menarik alur cerita nya

    12d

      0
  • avatar
    susiloDavit

    bagus

    19d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru