logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

|4.| Erlangga

"Bang Surya ngapain di sini?!"
"Melaksanakan tugas," jawab Surya santai. Lelaki itu beranjak mendekat ke arah Retta.
"Tapi, Bang! Nanti kalau ada yang tahu gimana?!"
"Udah. Tenang aja. Aman, kok." Surya mengambil buku kecil bersampul coklat muda yang semula tergeletak di atas meja. Lalu, pria itu kembali melangkah santai menuju ranjang Retta dan duduk di sana. "Nggak akan ada yang tahu pembicaraan kita."
Retta menghela napas berat. Melihat tingkah Surya, gadis itu pun beranjak dari kursinya. "Mending sekarang Abang keluar, deh."
Surya menatap tepat ke bola mata Retta yang kini telah duduk di samping kanannya. "Yakin? Nggak mau dengerin penjelasan tentang isi buku ini dulu?"
Retta memalingkan muka. "Nggak tertarik."
Surya terbahak. Membuat Retta lantas menatap heran ke arahnya. "Kalau lo nggak tertarik, gue nggak mungkin bisa sampai sini."
"Maksudnya?"
Ekspresi Surya yang semula tampak santai, kini berubah tegang. Kedua matanya menatap Retta lamat-lamat. "Intinya, lo harus dengerin gue."
"Kapsul biru sama dengan penambah waktu." Surya mulai menjelaskan isi buku dalam genggamannya, meski tanpa persetujuan Retta. Retta yang melihat hal itu pun hanya bisa diam dengan bola mata yang bergerak gelisah ke arah pintu. Takut jika ada yang datang. "Itu artinya—"
"Bang, jelasinnya besok aja, ya? Kita ketemuan di mana gitu. Setelah gue pulang sekolah, mungkin?"
"Nggak bisa! Harus sekarang!"
"Tapi, Bang—"
'Klik!'
Suara jentikan jari itu terdengar bersamaan dengan suasana yang mendadak berubah. Kini, Retta berdiri di tengah pasir putih yang sangat luas. Sejauh mata memandang, hanya warna jingga yang terpampang.
"Ini di mana, Bang?" tanya Retta sembari menatap sekeliling dengan bingung. Hanya ada Surya dan Retta di sana.
"Perbatasan. Sebenarnya, gue bisa aja langsung bawa lo ke dunia lain. Tapi, bahaya."
"Maksudnya?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Retta, Surya duduk di atas hamparan pasir putih yang mereka pijak. Melihat hal itu, Retta pun mengikutinya.
"Jadi, lo mau dengerin penjelasan gue atau nggak?"
"Ini gue mimpi, ya?"
***
Suara alarm yang bersumber dari ponsel bagaikan sambaran petir di telinga Retta. Gadis itu lantas membuka matanya lebar-lebar.
Hal yang pertama kali Retta lihat adalah pemandangan di dalam kamarnya. Gadis itu bahkan tertidur di meja belajar. Saat tatapan Retta beralih ke jam dinding, waktu menunjukkan pukul 04.15.
Sebuah buku kecil bersampul coklat muda menyita perhatian Retta. Gadis itu mengamati benda dalam genggamannya seraya bergumam, "Itu tadi mimpi? Atau apa?"
***
"Elvaretta Adinda."
Retta menoleh ke samping kanan begitu namanya disebut. Sejak jam keempat dimulai, Retta terus bergelut dengan rasa gelisah. Hari ini, hasil ujian matematika dibagikan.
Eli yang ditatap sedemikian rupa oleh sahabatnya mengangguk yakin. "Pasti bagus hasilnya."
Retta menghela napas sejenak. Lalu, gadis itu melangkah ke depan kelas untuk mengambil lembar ujian matematika miliknya.
Tak lama kemudian, Retta kembali. Eli yang sejak tadi menenangkan Retta, mendadak turut cemas. Pasalnya, ia tak dapat menebak makna di balik ekspresi Retta.
"Gimana?" tanya Eli sesaat setelah Retta kembali duduk di kursinya.
Retta menatap Eli lamat-lamat. Gadis itu berhitung dalam hati. Satu ..., dua ..., tiga!
"Dapat seratus!" seru Retta sembari menunjukkan nilai yang tertera di kertas dalam genggamannya.
Karena suasana di dalam kelas yang hening tak memungkinkan kedua sahabat itu untuk bersorak kegirangan, Retta dan Eli merayakannya dengan saling menyatukan kepalan tangan.
Meski Eli mendapat nilai 95—yang berarti di bawah Retta—ia tetap merasa senang dan lega. Sebab dengan nilai sempurna, Retta bebas dari omelan sang papa.
Lima belas menit kemudian, semua murid XI IPA 3 sudah mendapat hasil ujian masing-masing. Tepat setelah itu, bel istirahat pertama berbunyi.
"Kantin nggak?" tanya Eli.
"Gue titip aja, deh, ya? Mau ngerjain tugas kimia."
Kedua alis Eli bertaut heran. "Perasaan, nggak ada jadwal kimia hari ini."
"Besok."
"Lo belum ngerjain?"
Retta menggeleng.
"Tumben." Jeda sejenak. "Nitip apa?"
Mendapat pertanyaan itu, Retta lantas menyebutkan makanan yang ingin dibelai indra perasanya siang ini. Setelah selesai, Eli pun menuju kantin bersama Vera—teman sekelas mereka.
Gara-gara mimpi—atau entah apa itu—semalam, Retta lupa mengerjakan tugas kimia yang akan dikumpulkan besok. Padahal, Retta adalah tipe orang yang langsung menyelesaikan tugas di hari itu juga.
Sebenarnya, Retta penasaran dengan buku coklat pemberian Bang Surya. Tapi, gadis itu memilih fokus dengan tugasnya sekarang.
Di sela-sela kesibukan Retta mengerjakan tugas kimia, seseorang tiba-tiba menduduki bangku Eli. Retta yang merasakan hal itu pun lantas menoleh.
"Ngapain lo?" tanya Retta jutek.
"Tugas kimia, ya?" Angga melirik buku tulis Retta. Manik mata Angga beralih tepat ke wajah Retta. "Boleh minta lo ajarin gue nggak?"
"Nggak," sahut Retta dingin, tanpa menoleh ke arah Angga.
"Sebagai gantinya, gue ajarin lo fisika."
Kalimat itu, sukses membuat Retta menoleh. "No, thank's." Gadis itu kembali berkutat dengan soal-soal kimia.
"Emang lo nggak mau dapat nilai sempurna?"
Retta menghela napas berat. Ia kembali menoleh. "Mending lo jauh-jauh, deh. Nggak usah ganggu. Gue sibuk."
"Yakin nggak mau diajarin fisika? Tahun lalu, nilai fisika gue yang paling tinggi, lho."
"I don't care."
"Oke," pasrah Angga. "Kalau butuh bantuan gue, jangan sungkan."
Retta tak menggubris ucapan Angga. Gadis itu bertingkah seakan Angga adalah makhluk halus yang tak terlihat. Melihat hal itu, Angga beranjak dari kursi. Namun, lelaki itu kembali ke posisi semula tak lama kemudian.
"Ngomong-ngomong, kenapa lo bisa tenggelam waktu study tour kemarin?"
"Bukan urusan lo."
"Kalau nggak salah, lo belum bilang makasih, ya, ke orang yang nolongin lo?"
Helaan napas berat kembali menguar dari saluran pernapasan Retta. Gadis itu melayangkan tatapan tajam ke arah Angga. "Thank's."
Kedua mata Angga menyipit. Menatap heran pada gadis dingin di hadapannya. "Gue mau lo kabulin satu permintaan gue."
"Males."
"Retta, lo mau nggak jadi pacar gue?"
Tangan kanan Retta yang semula bergerak lincah seketika terhenti. Jujur, Retta sedikit kaget mendengar pertanyaan Angga barusan. Menurut Retta, Angga adalah tipe cowok yang sedikit pemaksa. Dan Retta tidak suka itu.
Gadis itu mendongak. Tak ada secuil ekspresi yang Retta tunjukkan. Tatapannya pun tampak menyembunyikan banyak hal. Dan, inilah yang membuat Angga jatuh hati. Retta adalah gadis misterius baginya. Ada rasa ingin menjaga saat Angga di dekat Retta.
"Gue nggak ada waktu untuk itu."
"Lo nolak gue?"
"Kurang jelas?"
"Kurang."
"Iya. Gue tolak lo. Puas?"
"Retta! Retta! Retta!!!"
Tiba-tiba, Eli datang dengan kehebohan yang membuat Retta heran. Angga yang tak mendapat sinyal bahwa Retta akan menanggapinya pun bergegas enyah dari kedua gadis itu. Tapi, Angga tidak akan berhenti mengusik Retta.
"Mana titipan gue?" tagih Retta.
"Nih!" Eli meletakkan pesanan Retta di atas meja.
"Thank's." Lalu, Retta kembali berkutat dengan tugas kimia.
"Ret, gue mau nanya, deh."
"Apa?"
"Bi Arum udah nggak kerja di rumah lo?"
Mendengar nama Bi Arum disebut, Retta lantas memusatkan perhatian pada Eli. Gadis itu menatap sahabatnya lamat-lamat.
"Lo tahu dari mana?"
"Tadi di kantin gue ketemu Bi Arum. Katanya—WOY! RETTA! MAU KE MANA?!"

Komentar Buku (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    17d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru