logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

|3.| Buku Panduan

Retta sampai kembali di rumahnya dengan selamat sekitar pukul 05.46. Gadis itu melangkah gontai memasuki pekarangan rumahnya. Dan saat tiba di ambang pintu, langkah Retta terhenti.
"Tadi itu apaan, sih?!" erang Retta kesal. "Masa iya gue bisa masuk ke dunia novel? Terus ketemu Gara? Bang Surya itu siapa lagi? Kenapa cuma gue yang bisa lihat?"
"Arghhh!!! Bodo!"
Gadis berambut panjang itu mengentakkan kaki kesal. Telapak tangannya sudah menggapai kenop pintu, siap membuka. Namun, seseorang terlebih dahulu membuka pintu dari dalam.
"Papa? Papa kok—"
'PLAK!'
Sebuah tamparan telak mendarat di pipi kiri Retta. Gadis itu lantas memegangi permukaan pipinya yang terasa perih. Setetes cairan bening terjun bebas dari kedua mata Retta. Daripada pipi, hati Retta terasa lebih perih. Layaknya anak panah yang menusuk tepat ke inti jantung Retta.
"Pa, Retta bisa jelasin—"
"Udah mulai berani kamu ngelawan Papa?! Hah?! KALAU PAPA BILANG DI RUMAH, YA, DI RUMAH! BELAJAR! MALAH IKUT STUDY TOUR NGGAK JELAS!"
"Tapi, Pa—"
'PLAK!'
Satu lagi tamparan telak mendarat di pipi kanan Retta. Lengkap sudah. Fisik dan batinnya terasa remuk.
"Kasih pelajaran aja, Mas. Biar tahu rasa anak kamu, tuh!"
Tatapan Retta beralih pada seorang wanita berumur sekitar 30 tahunan yang muncul dari balik punggung sang papa. Isyarat merendahkan di balik mata wanita itu membuat Retta ingin menusuknya bulat-bulat.
"Melotot lagi sama orang tua. Dasar nggak tahu sopan santun!"
Retta tertawa sinis. "Bukannya Tante yang nggak tahu sopan santun?"
"RETTA!"
"Kenapa, Pa?" Butuh keberanian lebih untuk Retta melayangkan tatapan menantang ke arah Panji. "Retta nggak boleh ke luar rumah. Retta nggak boleh main sama temen-temen. Bahkan, Retta nggak boleh ikut acara study tour yang jelas-jelas diwajibkan sekolah. Tapi, Papa boleh main cewek?"
"Jaga omongan lo, ya!" Wanita dalam balutan dress selutut warna marun itu tersulut emosi. Manik matanya menatap nyalang ke arah Retta. Namun, Retta enggan menggubris.
"Siapa dia, Pa?"
"Istrinya! Puas lo?!"
Hati Retta yang semula bertransformasi menjadi serpihan-serpihan, kini semakin tak berbentuk. Air mata Retta mengalir deras. Bahkan, papanya berani menikah tanpa sepengetahuan Retta.
"Kayaknya, Papa udah nggak sayang lagi, ya, sama Retta."
"Ini semua Papa lakuin demi kebaikan kamu!"
"Kebaikan mana, Pa?! Kalau emang kehadiran Retta jadi beban buat Papa, kenapa Papa nggak buang Retta ke panti asuhan aja?! Atau Papa bunuh Retta sekalian! Biar Retta sama mama aja!"
Kata-kata Retta terhenti sebab indra pengelihatannya menangkap sosok Bi Arum yang datang sembari membawa tas besar. Kedua mata wanita paruh baya itu tampak sembab.
"Bibi mau ke mana?" tanya Retta.
"Maaf, Non. Bibi harus pergi." Suara Bi Arum terdengar bergetar.
"Nih! Pesangon lo." Wanita berambut panjang yang mengaku sebagai istri Panji itu melempar amplop coklat yang tampak tebal. Bi Arum berniat untuk mengambil amplop itu, namun Retta mendahuluinya.
"Ini maksudnya apa, Pa?" Retta menunjukkan amplop coklat di tangannya pada sang papa. "Pesangon? Papa pecat Bi Arum?"
"Dia nggak becus jaga kamu! Papa udah cari penggantinya."
"Nggak!" sahut Retta cepat. "Kalau Papa ngusir Bi Arum, Retta juga bakalan pergi."
"Bagus! Pergi aja kalian. Husss!!!"
Dengan tidak tahu diri, wanita itu berani mengusir Retta. Awalnya, Retta bermaksud untuk mengetes Panji. Dan melihat tak ada bantahan dari mulut lelaki paruh baya itu, Retta manggut-manggut.
"Oke. Retta pergi!" Retta menoleh ke arah Bi Arum. "Ayo, Bi. Kita pergi."
"Jangan, Non," lirih Bi Arum. Ia menatap Retta dengan isyarat memohon. "Ini semua salah Bibi. Biar Bibi aja yang pergi. Non Retta jangan."
"Buat apa Retta di sini, Bi? Toh, kehadiran Retta udah nggak penting. Retta udah jadi yatim-piatu sekarang."
"Retta, masuk!" tegas Panji.
Retta lantas menoleh ke arah sang papa. "Nggak."
"MASUK!"
"Retta nggak mau, Pa!"
"PAPA BILANG MASUK, YA MASUK! BELAJAR! NGGAK USAH NGEBANTAH!"
Retta meraih kedua tangan Panji. Gadis itu berlutut di hadapan papanya. "Retta mohon, Pa. Jangan pecat Bi Arum. Retta janji nggak akan ngulangi kesalahan yang sama. Retta minta maaf. Ya? Kalau Papa mau, Retta nggak usah dapat jatah makan malam. Nggak makan sehari juga nggak apa-apa. Atau, Papa mau Retta tidur di luar? Retta bakal lakuin semuanya. Tapi, tolong jangan usir Bi Arum, Pa. Retta mohon ...."
"Masuk, Retta!"
"Pa ...."
"Nyusahin banget, sih, nih, anak." Wanita yang memakai high heels setinggi 10 cm itu memaksa Retta berdiri, lalu menyeretnya masuk.
Retta tak bisa apa-apa di sana. Ia tak ingin jadi anak durhaka. Tak ingin membuat mendiang ibunya kecewa. Saat ini, Retta hanya bisa berlari menuju kamarnya dan mengurung diri di sana.
***
Dari yang Retta dengar, ART pengganti Bi Arum bernama Nun. Usianya sekitar 40 tahunan. Beberapa kali wanita itu mengetuk pintu kamar Retta. Pasalnya, si empunya kamar tak keluar sejak kejadian tadi pagi. Itu berarti, Retta belum makan apapun hari ini.
"Biarin aja kalau nggak mau. Ntar juga keluar sendiri kalau lapar."
"Tapi, Nyonya. Non Retta belum makan dari pagi."
"Iya juga, sih. Pingsan kali di dalam. Udah! Cuekin aja! Lagian, Mas Panji nggak ada di rumah."
Air mata Retta kembali merembes saat mendengar percakapan di luar kamarnya itu. Dalam tangis, Retta tertawa sumbang.
"Gini, ya, rasanya jadi Cinderella yang hidup sama ibu tiri?"
Jujur. Sebagai manusia normal, Retta kerap memeluk perutnya sendiri. Sejak pagi tadi, gadis itu berusaha mati-matian untuk tidak keluar kamar dan makan sesuatu. Untung saja, di dalam tas ransel Retta, masih ada beberapa camilan dari study tour kemarin. Namun, tentu saja itu tak bertahan lama.
Retta mengusap jejak air mata di pipinya dengan kasar. Meski merasa lemas karena lapar, Retta berusaha bangkit dari kasurnya untuk menuju kamar mandi. Saat itu, mentari nyaris tenggelam.
Sepuluh menit kemudian, Retta keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Tatapannya terpatri pada botol kaca lengkap beserta surat yang tadi sengaja Retta keluarkan dari dalam tas.
Retta duduk di kursi meja belajarnya. Tangan lentik Retta meraih botol itu, mengamatinya dengan seksama. Memorinya kembali terlempar pada kejadian aneh di Bandung. Tentang Bang Surya, botol kaca, kapsul, surat, dan ....
Gadis dalam balutan piyama soft pink polos itu lantas membuka tas ranselnya saat menyadari sesuatu. Retta mengambil buku kecil bersampul coklat muda dengan judul 'Dunia Fantasi'. Pelan-pelan, rasa penasaran mulai menghampiri Retta. Jemarinya bergerak membuka halaman pertama buku itu.
ELVARETTA ADINDA.
"Buku aneh." Retta berdecak kesal. Pasalnya, hanya ada namanya yang memenuhi halaman pertama itu. 
Alih-alih berhenti membaca buku dalam genggamannya, Retta malah semakin penasaran sebab terpampang namanya di sana. Gadis itu pun membuka lembar berikutnya.
_Tidak mudah untuk menjalani kisah dengan alur yang penuh kepedihan, seperti hidupmu saat ini.
"Idih! Tahu dari mana kalau hidup gue menderita?"
_Jangan dikira, hanya kamu yang menderita. Semua yang hidup, harus berproses. Hanya saja, kamu salah satu orang terpilih. Kesabaran dan hati yang lapang membawamu menuju keberuntungan. Di sini, kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau.
Retta lanjut membaca halaman berikutnya.
_Di dalam botol kaca yang kamu punya, ada tiga macam warna kapsul yang masing-masing memiliki fungsi berbeda.
Kapsul biru = penambah nyawa.
Kapsul merah = penambah waktu.
Kapsul putih = pembuka gerbang.
Di antara kapsul-kapsul ini, hanya kapsul warna putih yang bisa ditambah. 
"Ck! Ini buku apaan, sih?!" Retta mengerang frustasi. "Tolong! Gue sama sekali nggak ada niatan untuk masuk farmasi!"
"Baca sampai selesai mangkanya. Biar paham."
Sahutan itu lantas membuat Retta menoleh ke arah kasur. Kedua matanya nyaris lompat dari tempat asal saat melihat pemilik suara itu.
"Mau lanjut baca? Atau gue aja yang jelasin?"
Retta yang tersadar dari keterkejutannya lantas berdiri. "Bang Surya ngapain di sini?!"

Komentar Buku (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    17d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru