logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

|26.| Permintaan Jingga

Bi Arum pulang setelah memastikan Retta tertidur pulas. Gadis itu tidur sebab lelah menangis. Sayangnya, Retta memejamkan mata tanpa meminum kapsul putih miliknya. Kali ini, Retta benar-benar tidur.
"Kak Retta cantik banget, ya, Kak?"
Pemilik suara cempreng barusan adalah gadis berambut sepinggang dengan gaya kepangan dua. Dia adalah Jingga, adik Angga yang masih berumur 14 tahun. Alasan Angga menghilang tadi ya, ini, menyusul Jingga dari sekolah dan membawa gadis itu kemari.
Angga yang berdiri di belakang Jingga tersenyum lebar. Lelaki itu refleks mengangguk. "Iya."
"Boleh aku bangunin nggak, Kak? Pengin ngobrol sama Kak Retta."
"Nanti aja, ya. Kata suster, Kak Retta baru istirahat. Kita tunggu sampai dia bangun."
Jingga bangkit dari kursi di samping brankar tempat Retta terlelap. Gadis itu menarik pergelangan Angga sambil berkata, "Kita duduk di sofa aja, yuk, Kak."
Angga menurut. Cowok itu mengambil posisi duduk di samping kanan Jingga. Semenjak orang tua mereka berpisah, kakak-beradik itu jadi jarang bertemu. Sebenarnya, kalau boleh memilih, Jingga ingin ikut kakaknya. Berat memilih antara papa atau mama. Lagipula, Jingga lebih sering curhat dengan kakaknya.
"Mama apa kabar?" tanya Angga.
Jingga tertawa miris. "Kenapa Kakak nggak lihat langsung aja?"
"Kamu baik-baik aja, 'kan?"
Helaan napas berat keluar dari mulut Jingga. "Baik. Cuma kurang perhatian aja."
"Kenapa gitu?"
"Mama jadi makin gila kerja. Sering nggak pulang. Jingga di rumah cuma sama bibi."
Angga mengusap puncak kepala adiknya dengan sayang. "Kakak akan selalu ada buat kamu, Jingga."
Tatapan Jingga yang semula menerawang, kini fokus pada manik mata Angga. Gadis itu menatap sang kakak dengan mata berkaca-kaca. "Boleh nggak, Jingga ikut Kakak aja?"
Angga tersenyum pedih. Lelaki itu membawa Jingga ke dalam dekapannya. "Jingga boleh, kok, sering-sering main ke apartemen Kakak. Kalau Jingga mau nginap juga boleh. Kata Jingga, mama jarang pulang, 'kan? Jingga bisa telepon Kakak buat jemput. Kalau Jingga mau."
Jingga mendongak, memperlihatkan kedua matanya yang basah. "Boleh, Kak?"
Angga tersenyum tulus. "Boleh, dong."
Mendengar jawaban itu, Jingga semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam dada bidang Angga. "Jangan tinggalin Jingga, ya, Kak."
"Nggak akan, Sayang."
Untuk beberapa detik, keduanya bungkam. Menikmati kehangatan yang menjalar di sekujur tubuh. Bagi Jingga, Angga adalah segalanya. Angga yang selalu siaga dan menjaganya, Angga yang siap memasang telinga kapanpun Jingga ingin cerita. Bahkan, untuk urusan mengambil rapor di sekolah, Angga yang selalu datang. Tak terbayang betapa hancurnya Jingga kalau tidak ada Angga.
Jingga melepas pelukannya, lalu menghapus jejak air mata di pipi. "Jadi, Kak Angga sama Kak Retta balikan, 'kan?"
Pertanyaan Jingga membuat Angga terdiam. Melebihi Angga, Jingga adalah orang paling bahagia jika Retta dan kakaknya benar kembali seperti dulu.
"Kakak juga penginnya gitu."
"Maksud Kakak?" Kening Jingga mengernyit heran. "Kak Retta udah maafin Kakak, 'kan?"
Angga mengangguk. "Udah."
"Terus, masalahnya apa?"
"Retta maafin Kakak, tapi nggak mau balikan."
"Kenapa gitu?"
Tatapan nanar Angga layangkan pada Retta yang tengah terlelap. "Dia udah punya pacar."
"Siapa?!"
"Kakak nggak tahu, Jingga. Dia nggak cerita."
"Kita kenal sama orangnya?"
"Mungkin, enggak."
"Ihhh!!! Kak Angga, sih, lama minta maafnya!"
Angga terkekeh melihat wajah kesal Jingga. Tangannya mengacak gemas puncak kepala gadis itu. "Kenapa jadi kamu yang kesel?"
"Bodo! Kak Angga nyebelin!" Jingga memalingkan wajahnya, kedua tangan Jingga bersedekap. Sungguh! Jingga kesal dengan Angga. Sangat!
Tak tahan dengan kelakuan adiknya yang menggemaskan, Angga menciumi pipi Jingga dengan ganas.
"Kwakkk!!! Ihhh!!! Kwak Anggwa apaan, swih?! Lwepasin gwak?!!! Kak Anggwa!!!" Jingga berteriak histeris, namun Angga tak peduli. Lelaki itu terus melampiaskan rasa gemas terhadap adiknya.
"Awas aja! Jingga aduin ke Kak Retta nanti!" ancam Jingga sembari merapikan rambutnya yang berantakan.
Angga memasang ekspresi sok takut. "Oh, ya? Aduhhh!!! TBL TBL TBL, takut banget lochhh!!!"
"Bocah prik!"
Angga melotot. Apa itu tadi? Jingga baru saja mengoloknya? Wahhh!!! Benar-benar! "Berani kamu, ya!"
Jingga menjulurkan lidah, meledek Angga. Gadis itu beranjak untuk menghindari Angga. Tadinya, Jingga ingin keluar agar tak membangunkan Retta. Tapi, saat pintu terbuka, Jingga yang tergesa menabrak dada bidang seseorang.
"Wow! Wow! Wow!"
"E-eh! Maaf, Kak," ucap Jingga sambil melangkah mundur.
Ada Azka, Erzan, Rian, Kayla, Cantika, dan Eli.
"It's okay. Lu goodloking, lu aman." Azka tertawa. "Mau lagi?"
'TAK!'
"Shhh ...." Azka meringis sambil mengusap kepalanya yang baru saja terkena timpukan remot. Pelakunya? Tentu saja, Angga. "Lo punya dendam apa, sih, sama gue?!"
"Jangan berisik! Retta baru istirahat," ujar Angga.
"Iyeee!!!" seru Azka.
Mereka yang datang kompak mengambil posisi duduk di sofa. Ciwi-ciwi memilih bergosip ria, sementara para cowok memilih mabar game online. Kecuali Angga dan Eli. Mereka berdua membuat kubu sendiri.
Jingga? Gadis itu ketiduran di karpet yang letaknya persis di tengah-tengah sofa setengah lingkaran.
"Gimana keadaan Retta?" tanya Eli.
"Udah mendingan. Besok udah boleh pulang katanya."
"Bokapnya? Udah jenguk dia?"
Angga mengangguk. "Tadi gue sempat tinggal Retta sebentar buat nyusul Jingga. Di sini ada Bi Arum. Kata Bi Arum, Om Panji sempat datang sama istrinya."
Eli menatap prihatin ke arah Retta. "Kasihan banget Retta. Pasti berat buat dia menghadapi papanya yang sekarang."
"KAK AZKAAA!!!" Teriakan itu membuat fokus Angga dan Eli teralihkan. "Kakak pasti sengaja, 'kan?! Enak-enak tidur malah diganggu! Nyebelin!"
"Nggak, Jingga. Gue nggak sengaja. Suer!"
"Halah, bohong!"
"Emang bohong. Dia gangguin lo gara-gara kalah main," sahut Erzan.
"Kannn!!!"
"Ka, lo kurang kerjaan banget, sih. Gangguin Jingga daritadi," ucap Kayla sebal.
"Kenapa? Lo mau diganggu juga?"
Kayla memutar bola mata jengah. Menurutnya, Azka adalah makluk paling menyebalkan yang pernah ada.
Melihat teman-temannya itu, Angga dan Eli hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebagai adik Angga, Jingga memang dekat dengan sahabat-sahabatnya. Tapi gara-gara itu, Angga jadi khawatir dengan kepolosan Jingga yang terancam. Apalagi, dengan makhluk bernama Azka.
"Jingga."
Suara bernada serak khas orang bangun tidur itu membuat semua pasang mata terfokus. Tampak Retta yang telah membuka mata, tersenyum ke arah Jingga. Jingga yang melihat hal itu pun lantas menghambur ke dalam pelukan Retta.
"Kangen Kak Retta," ujar Jingga.
Retta terkekeh. Jemarinya bergerak mengusap rambut Jingga dengan sayang. "Kamu apa kabar?"
Jingga melepas pelukannya. Bibir mungil berwarna ranum itu mengerucut. "Lumayan."
"Kok, gitu?"
"Bibirnya Jingga minta dicium apa gimana, tuh?" Azka bertanya genit.
'Plak!'
Benar saja, sejurus kemudian, tamparan keras mendarat di bibir Azka. Angga menatap sahabatnya itu dengan nyalang.
"Sadis lo!" kesal Azka sambil mengusap bibirnya yang terasa panas.
"Mampus!" timpal Kayla yang membuat Azka semakin kesal.
Mengabaikan Azka, Retta kembali bertanya pada Jingga. "Kenapa, Jingga?"
"Maafin Kak Angga, ya, Kak. Jingga tahu Kak Angga salah banget. Kak Angga emang jahat! Udah nyakitin Kak Retta. Mana nggak buru-buru minta maaf! Kesel!" Air mata Jingga keluar karena sebal.
Retta tertawa. "Nggak pa-pa, Jingga. Semuanya udah baik-baik. Kita bisa cerita-cerita lagi kayak dulu."
Jingga kembali memeluk Retta. "Jingga sayang Kakak."
Retta tersenyum tulus. Kehadiran Jingga, membuat Retta yang hidup sebagai anak tunggal jadi tahu bagaimana rasanya memiliki saudara.
"Kak." Jingga melepas pelukannya. Gadis itu menatap Retta lamat-lamat.
"Ya?"
"Balikan sama Kak Angga, ya?"
***
"Balikan sama Kak Angga, ya?"
"Balikan sama Kak Angga, ya?"
"Balikan sama Kak Angga, ya?"
Retta memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Helaan napas berat menguar dari saluran pernapasan Retta. Kata-kata Jingga dan wajah memelas gadis itu terus menghantui Retta. Meski Angga langsung bertindak agar kecanggungan tidak berlanjut, tetap saja Retta kepikiran.
Retta sendiri di ruang rawatnya. Gadis itu meminta semuanya pulang tadi. Retta ingin sendiri. Pikirannya sedang bercabang kemana-mana.
"Enak, 'kan, jadi pemeran utama?" Suara bariton dari arah jendela yang berbatasan langsung dengan taman membuat Retta menoleh. Netranya membulat sempurna saat melihat kehadiran Surya.
"Bang Surya?" Sering mendapati kehadiran Surya secara tiba-tiba, menjadikan Retta tidak terlalu kaget.
"Jadi, sekarang lo pacaran sama Gara?" Surya memunggungi Retta. Matanya menatap lurus ke arah tembok di hadapan Retta.
"Dia nembak gue. Nggak ada alasan untuk gue tolak."
Terdengar tawa meremehkan dari Surya. "Lo pikir, setelah kasus tabrak lari Diza terungkap, apa yang bakal Gara lakuin ke lo?"
"Gue bakal ubah alur cerita kalau hal buruk yang terjadi."
Surya menoleh. Iris matanya menatap Retta lekat-lekat. "Lo mau mati?"
Retta tersenyum miring. Gadis itu membalas tatapan Surya dengan lebih berani. "Gue nggak peduli."
*
*
*
*
*
SPOILER CHAPTER 27:
'DUGH!'
"Ssshhh ...."
Kalau tadi Sara menendang pergelangan tangan kanan Retta, kini Loli menendang bagian kirinya.
"Biar impas!" seru Loli puas. Ketiga temannya tertawa meremehkan.

Komentar Buku (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    15d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru