logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

33

"Sebaiknya, mulai sekarang Ibu jaga anak Ibu agar tidak terlalu dekat dengan Brian." Lisa berkata dengan nada yang sangat tegas.
"Tapi bagaimana jika Nak Brian yang mencari ke rumah?" tanya Saliha.
"Itu akan menjadi urusan saya. Ibu urus saja anak Ibu," ucap Lisa.
"Permisi," ucap seseorang membuat keduanya terdiam.
"Via," panggil Lisa.
"Tante, apa aku mengganggu?" tanya Via pada Lisa. Sesekali matanya melihat pada Saliha dan mengangguk sopan ketika sepasang mata mereka bertumbukkan.
"Tidak, Nak." Lisa tersenyum.
"Ibu, saya Via," ucap Via memperkenalkan diri pada Saliha. Gadis itu mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan dengan Saliha.
Saliha menelisik Via dari atas sampai ke bawah. Ia menerka-nerka siapa gadis di hadapannya itu. Ia cemburu kalau sikap Lisa tak berbeda pada gadis itu.
"Nak, Via. Ayo kita duduk di sana, Tante mau bicara," ucap Lisa. Ia menarik tangan Via yang tak kunjung disambut oleh Saliha.
"Iya, Tante." Via tersenyum pada Saliha dan mengikuti Lisa yang telah menarik pergelangan tangannya ke arah bangku yang tak jauh dari sana.
"Loh, Bu mau ke mana? Kenapa saya ditinggal?" tanya Saliha.
"Maaf, ya, Bu. Sebaiknya Ibu pergi. Saya ada urusan dengan calon mantu saya," ucap Lisa. Sengaja ia menyebutkan dokter Via sebagai calon menantu agar Saliha bisa lekas pergi dari sana.
Saliha terdiam, yang ia takutkan dari awal memang terjadi. Luka lamanya kembali menganga. Mengingat kejadian yang dulu pernah menimpanya.
Tak sadar air mata ibu satu anak itu menetes. Ia tak ingin sang putri mengalami nasib yang sama dengannya. Tapi, untuk maju pun percuma. Orang tua Brian tak mau menerima putrinya. Ia takut jika hubungan mereka diteruskan dan sampai menikah, sang putri akan diperlakukan semena-mena oleh ibunya Brian.
Sementara itu, di sisi lain. Lisa tak peduli dengan Saliha yang masih berdiri mematung. Ia sangat berharap Saliha bisa pergi dari sana. Memandang Saliha dan Icha sudah membuka luka lama dan semakin perih karena perasaan Brian pada Icha seperti air garam yang menyiram luka itu.
Melihat Lisa dan Via yang sangat akrab, Saliha memilih pergi dari sana. Tujuannya saat ini hanyalah rumahnya dan menemui Icha, anaknya. Entah apa yang akan ia katakan. Namun, ia harus segera mencari jalan keluar semua masalah ini.
Di rumah Icha, Brian dan Icha bersenda gurau seperti tak ada masalah. Icha memilih tidak mempermasalahkan Ibu Brian yang mengusir dirinya.
Yang terpenting baginya saat ini, Brian masih baik padanya. Entah mau dibawa kemana hubungan mereka itu. Saat ini, dirinya hanya menikmati kebersamaan mereka.
Tak berapa lama kemudian, Saliha sampai di perkarangan rumahnya. Ia tak terkejut dengan Brian yang ada di rumahnya. Ia tahu, pemuda itu pasti mengunjungi anaknya yang sedang di rumah saat lari dari rumah sakit tadi.
"Brian sudah kasih minum, Nak?" tanya Saliha pada Icha.
"Sudah, Bu, sudah habis lagi." Icha menunjuk gelas Brian yang kosong.
"Iya, haus," ucap Brian.
Saliha yang melihat kebersamaan mereka semakin takut untuk menyuruh keduanya saling menjauh. Namun, ia tak ingin anaknya mengalami nasib yang sama dengannya.
"Nak Brian Ibu mau tanya sesuatu, boleh?" tanya Saliha saat Brian hendak pulang.
"Boleh, Bu," jawab Brian.
"Kamu masuk dulu, ya, Nak," ucap Saliha pada anaknya.
Icha yang heran dengan tingkah sang ibu bertanya lewat matanya. Namun, sang ibu menggeleng dan dengan lembur mendorongnya agar masuk ke dalam kamar.
Di teras, Saliha mengajak Brian duduk berdua. Ia berkali-kali menengok ke dalam rumah memastikan Icha tak ada di dekat mereka.
"Ada apa, Bu?" tanya Brian penasaran. Tak biasanya Saliha mengajak dirinya berbicara empat mata. Bahkan tak mengajak Icha turut serta.
"Sebelumnya, ibu minta maaf kalau kurang sopan. Nak Brian sudah bilang sama ibunya kalau ada hubungan dengan anak ibu?" tanya Saliha.
"Sudah, Bu."
"Terus bagaimana?" tanya Saliha.
"Ya, setuju, sih," ucap Brian.
"Sepertinya tidak yakin begitu? Tadi Nak Brian tahu sendiri ibu nak Brian seperti apa saat saya datang ke rumah sakit?"
Brian mengangguk. "Saya juga heran kenapa Mama begitu, Bu. Maaf, ya," ucap Brian tulus.
Saliha mengangguk. Ia menggeser duduknya lalu mendekat ke arah Brian.
"Apa dokter Via itu benar calon istrimu?" bisik Saliha pelan sekali. Ia tak mau Icha mendengar dan berpikiran yang tidak-tidak.
Bukan, Bu. Kami hanya teman sejak kecil, kebetulan orang tua kami juga berteman," ucap Brian.
"Oh, begitu. Pantas dekat sekali. Ibu hanya takut Icha terluka kalau melihat kedekatan kalian. Nak Brian mau berjanji pada ibu?"
"Janji apa, Bu?" tanya Brian.
"Janji kalau tidak akan pernah melukai hati anak ibu." Saliha memohon pada Brian.
"Tentu saja, Bu. Ibu tenang saja," ucap Brian.
"Bersedia memperjuangkan Icha kalau ibumu tak setuju, Nak?" tanya Saliha lagi. Egois memang, ia menekan Brian demi kebahagiaan anaknya sendiri. Secara tidak langsung ia meminta Brian untuk memilih salah satu jika keduanya tak cocok. Namun, memang seperti itulah sifat orang tua. Akan selalu melindungi anaknya. Bahkan mereka rela melakukan hal gila demi kebahagiaan anaknya.
"Saya bersedia, Bu. Saya yakin ibu saya bisa luluh dengan Icha. Ibu saya orang baik," ucap Brian meyakinkan. Ia tak terkejut Saliha meminta seperti itu. Ia sendiri heran dengan sikap ibunya yang aneh belakangan ini.
"Baiklah kalau begitu. Ibu hanya ingin Icha bahagia. Ibu harap Nak Brian bisa mengerti," ucap Saliha.
"Saya paham, Bu," ucap Brian.
Setelah keduanya selesai berbicara Brian izin pamit. Tanpa mereka ketahui, Icha mendengar di balik pintu. Dan Saliha terkejut saat masuk ke dalam rumah dan mengetahui hal itu.
"Kamu dengar, Nak?" tanya Saliha pada icha.
Icha mengangguk. Air mukanya terlihat sangat sedih.
"Apa aku mundur saja, Bu? Rasanya tak mungkin aku bisa meluluhkan hati ibu Mas Brian," lirih Icha.
"Apa kamu enggak apa-apa?" tanya Saliha. Sebenarnya ia lebih lega jika Icha mau mundur. Namun, ia yakin hati gadis itu tak akan baik-baik saja. Dan ia takut depresi yang berhasil ia lewati akan kambuh kembali. Sekian itu, hanya Brian lelaki yang bisa mendekati Icha saat ini.
"Sebenarnya aku pun lelah, Bu. Icha ingin fokus menyelesaikan kuliah lalu kerja agar bisa membantu Ibu," ujar Icha.
"Tapi, bukankah di tempat Nak Brian kerjaanmu sudah enak, Nak?" tanya Saliha.
"Justru itu, aku yang tak enak. Di sana rata-rata lulusan sarjana sedangkan aku kuliah saja belum lulus. Terkadang aku merasa minder, Bu," ucap Icha.
"Tapi, bukankah kamu bisa mengerjakan pekerjaan yang diberikan, Nak?" tanya Saliha.
"Bisa, sih. Tapi aku lebih nyaman kalau bisa bekerja di tempat lain," ucap Icha.
"Kalau begitu maumu, Ibu dukung. Yang terpenting kamu baik-baik saja jika Brian tak lagi datang kemari. Dan kalian sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi," ucap Saliha.
Icha mengangguk. Ia memantapkan hati. Tapi sisi hati lainnya merasa tercubit, ada rasa sakit yang ia rasakan karena hubungannya tak berjalan mulus. Namun, ia membulatkan tekadnya. Ia akan memantadakan diri untuk Brian kalau orang tua Brian merasa dirinya tak pantas untuk anaknya. Dan Icha akan kembali setelah ia merasa lebih pantas.
'Ya, itupun jika kami masih berjodoh,' batin Icha.

Komentar Buku (46)

  • avatar
    GonjangAnton

    ok makasihh

    30/06

      0
  • avatar
    SanjayaKelvin

    bagus

    14/06

      0
  • avatar
    ATIKAH llvuidt ihjkugjv Bg ti ii OKNURUL

    best

    11/05

      0
  • Lihat Semua

Selesai

Rekomendasi untuk Anda