logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab Sepuluh

Benar, memang dia yang akan melakukannya. Setelah wajahku kering dengan sendirinya, Rhys mendekati wastafel, untuk mencuci tangannya cukup lama dari yang aku lakukan.
“Jangan bergerak. Tenang dan tahanlah.” Rhys sudah selesai mencuci tangan pada akhirnya, duduk di hadapanku. Membuka tutup obat oles berbentuk gel, lalu mengoleskannya sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan dan hati-hati di pipiku.
Sekarang wajahnya sedekat saat tadi dia mengamati goresan luka di wajahku. Aku tidak paham kenapa dia sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku.
Alis matanya tidak tebal seperti milikku. Bentuk hidungnya lurus dari pangkal hingga ke ujungnya. Bibirnya tipis. Rhys juga memiliki rambut yang hitam pekat, tidak kecokelatan sepertiku.
Walau Adorjan dan Leon memiliki warna rambut yang hampir mirip denganku, tapi cokelat yang lebih gelap, tetap saja aku tidak memiliki kemiripan satu persenpun dengan keenam saudara laki-lakiku, terutama Rhys.
Ayah memiliki rambut yang hitam pekat, sama halnya dengan Ibu. Ah, entahlah. Sepertinya sudah biasa terjadi bahwa dalam satu keluarga, akan banyak memiliki perbedaan tidak hanya pada sifat, tapi juga wajah.
Yang terpenting, seumur hidupku, aku tidak pernah mendapatkan perhatian dari Rhys. Bahkan ini kali pertamaku berada sedekat ini dengannya.
Dari kecil, kami memang sudah memiliki jarak. Dia mungkin sengaja menjauhiku, tapi aku berusaha mendekatinya meski selalu menerima penolakan melalui tatapannya yang seolah memintaku menjauh.
Kupikir, terpaut usia tiga belas tahun di antara kami, menjadikan jarak itu wajar tercipta. Lalu sekarang dia sedang apa? Mencoba peduli sebelum terlambat? Baiklah. Aku rasa dia memang berniat buruk padaku, seperti peringatan Leon.
Sisi kejamnya belum jelas dia perlihatkan padaku, karena mungkin aku Adik perempuan satu-satunya yang dia miliki. Akan kucoba untuk meyakini hal itu mulai sekarang.
“Tetap perhatikan kebersihan wajahmu. Jangan biarkan perbannya lembap. Segera ganti dengan yang baru, ketika kau selesai mencuci wajahmu,” jelas Rhys, menjauhkan wajahnya dariku dan tatapannya masih sama seperti tadi, menahan amarah.
“Baik.”
“Ayo, keluar. Kau harus tahu di mana kamarmu.”
Aku terlonjak. “Kamarku?”
“Suatu waktu kau akan perlu mendatangi rumah ini atas perintahku. Aku tidak ingin kau justru salah masuk kamar.” Rhys berjalan lebih dulu.
Merapikan dress pendek menyebalkan ini, aku segera menyusul Rhys dan berjalan di belakangnya.
“Rhys, kau mau aku hidangkan melonnya sekarang?” Gadis tadi tiba-tiba saja muncul di lorong, dia berdiri menghadang Rhys dengan piring berisi melon.
Satu orang lagi yang memanggil Rhys begitu santainya. Dan lagi, gadis ini jauh lebih muda dariku.
“Di mana Lucas?” Rhys menoleh, suaranya cukup menggelegar sehingga aku tahu Lucas pasti bisa mendengarnya jika pria itu sedang berada di dalam rumah.
“Ada yang bisa kubantu, Rhys?” Lucas muncul dengan setengah berlari. Dia tersenyum ramah seperti tadi ke arahku.
“Kenapa dia di sini?”
Lucas melirik gadis itu, menyikutnya sekilas, tapi tetap tidak berhasil mempengaruhi gadis yang masih terus menatap Rhys dengan tidak berkedip.
Lucas salah tingkah, dia tersenyum canggung. “Akan segera kuurus dia. Kau bisa terus berkeliling tanpa ada gangguan, aku berjanji.” Tangan Lucas sudah mencengkeram kedua bahu si gadis, dia mendorongnya pergi dari hadapan kami.
Rhys berbalik, menatapku. “Sedang apa kau di situ? Kemari!” Suara kasarnya mulai muncul.
Saat aku sudah berjalan di sisinya, Rhys kembali bicara. “Jangan katakan pada siapapun tentang rumah ini.”
“Baik.”
“Mulai besok pagi, kau harus tetap ikut sarapan seperti biasanya untuk menghormati Ayah dan Ibu. Kau aman, itu yang terpenting.”
“Baiklah.”
“Lalu, apa kau ingat apa yang harus kau lakukan nanti sore?”
“Keramas satu jam sebelum kau tiba. Jangan gunakan hairdryer dan tetap biarkan setengah kering,” kataku cepat.
Rhys tersenyum puas, sinis yang lebih dominan. “Bagus.” Dia mengangguk. “Sekarang kau boleh masuk, ini kamarmu.” Rhys membuka pintu kamar yang warna pintunya berbeda dari kamar lainnya.
Pintu kamar ini dicat warna merah tua. Sedangkan pintu kamar yang ada di depannya, tetap dengan warna senada dinding rumah, putih.
“Warna pintunya berbeda,” gumamku tanpa sadar.
“Ya, kau benar.” Rhys duduk di tepi ranjang. “Aku menyuruh Lucas untuk memberi warna berbeda pada pintu khusus untuk kamarmu.”
“Kenapa?”
“Hanya ingin.” Jawaban itu lagi.
Aku menghela napas. Bersandar di samping dinding pintu. “Baiklah, apa sekarang aku boleh pergi?”
“Kau akan pulang sendirian dengan bertelanjang kaki?” Kedua alis Rhys terangkat, dengan wajah hampir tanpa ekspresi. “Menggunakan taksi? Bus?”
“Ya, baiklah. Jika itu yang kau inginkan.”
“Hei, aku bertanya, bukan menyuruhmu. Jawab dengan benar atau aku akan mengurungmu di sini selama seminggu!” Wajah Rhys terlihat geram, nada bicaranya kasar.
“Sejujurnya, aku ingin kau mengantarku pulang. Memberikan alas kaki untukku, maksudku, meminjamkan sandal atau sepatu.” Kurasakan sendiri bagaimana diriku memiliki keberanian untuk menjawab jujur, bukan melawan.
“Kenapa kau ingin pulang? Apa ada pekerjaan yang lebih penting dari ini?”
“Aku hanya lelah.”
“Kau bisa tidur di sini.” Dia menepuk-nepuk ranjang yang didudukinya. “Aku akan membiarkan kau tidur dengan nyaman beberapa jam.”
Tanpa pikir panjang, aku mengangguk. Aku memang lelah, padahal waktu makan siang belum juga tiba. Ada apa denganku?
“Istirahatlah,” kata Rhys, dia berjalan keluar kamar, membuka dan kembali menutup pintu.
Benar-benar lega, aku melempar tubuh ke atas ranjang. Seketika aku ingat dan sadar bahwa aku mungkin harus, ya harus, mengunci pintu.
Kebiasaan tidurku buruk bukan hanya di malam hari. Kapanpun aku tertidur, biasanya, posisiku bisa sangat membahayakan.
Saat sudah mencapai pintu, dorongan dari luar, menghantam wajahku. Ouch! Aku terhuyung ke belakang, terjatuh dalam keadaan terduduk di lantai.
Seakan ada banyak ribuan kunang-kunang berputar mengitari, pandanganku mulai kabur. Samar-samar aku bisa mencium aroma grapefruit dan pepper milik Rhys, begitu dekat. Bersamaan dengan itu, tubuhku terangkat.
Hidungku perih, sesuatu terasa merembes hangat keluar dari salah satu lubang hidungku. Dengan tangan gemetar, aku mulai meraba-raba bagian bawah hidungku.
“Jangan sentuh itu, ZeeZee!” Suara bentakan Rhys terasa bergema, lenganku mulai menjauh dari hidung. Aku kehilangan kesadaranku setelahnya.
*****
Dalam tidur pun, aroma Rhys terasa nyata di hidungku. Kenapa dia mulai mengacau? Apa dia tidak sadar bahwa ada banyak hal lain yang perlu dia kerjakan selain berpura-pura peduli padaku?
Sekarang aromanya menusuk hidung, terasa tepat di depan wajahku. Dengan malas, aku membuka kedua mataku.
Hal yang pertama kali kulihat, setengah tubuh bagian atas Rhys yang berada di atas wajahku. Dia sedang apa? Aku kebingungan dan batal panik karena ternyata dia sedang merapikan bantal di atas kepalaku, sehingga bagian depan tubuhnya, area leher sampai dada, berada tepat di depan wajahku.
“Aku sudah bangun.” Sengaja aku memberitahunya agar dia segera berpindah posisi.
“Baguslah.” Hanya ucapan itu tanpa ada pergerakan lain. Dia masih tetap sibuk merapikan bantal dengan tubuh bagian atas menyeberangi wajahku. Ah, sial sekali hidupku!
“Kau belum selesai?”
“Hampir.”
“Aku haus. Aku ingin—”
“Tunggu sebentar!” Dia membentakku.
Benar-benar menyebalkan manusia empat puluh tahun ini. Kapan dia akan berhenti?
Bersambung.

Komentar Buku (172)

  • avatar
    Maria Ratu Rosari

    emejing

    14/05/2023

      0
  • avatar
    KhaerunnisaChindar

    Nicee iloveeee yuuuu❤️❤️❤️

    02/02/2023

      0
  • avatar
    PradyaDiva

    bagus banget ceritanya

    28/12/2022

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru