logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

part 2

"Ibuuu..........!"adik ku menangis kencang sambil memanggil ibu dari halaman tempatnya bermain.
Aku dan bik Marni yang mendengar segera berlari menuju adik ku itu. Ibu pun telihat lari tergopoh-gopoh mendekat.
Sandi masih menangis saat aku dan bik Marni sudah berada di depan nya.
"Ada apa, Dek?"tanya ku panik.
"Ibu......." teriaknya masih terus menangis.
Ibu datang dan langsung menggendong nya. Aku merasa sangat khawatir. Sebenarnya, lebih khawatir ibu marah padaku. Karena setiap kali Sandi menangis, akulah yang selalu ibu salahkan.
"Ada apa,nak? Hayo, coba cerita sama ibu!" Ucap ibu ku lembut berusaha menenangkan nya.
"Kaki ku bu. Kaki ku sakit di gigit itu" cerita Sandi masih sambil menangis.
Ibu memeriksa kaki yang sempat di tunjuk Sandi tadi. Terlihat ada bekas merah cukup besar di paha sebelah kiri nya. Bik Marni segera masuk ke dalam rumah untuk mengambil minyak tawon.
Ibu mengobati bekas merah yang kata bik Marni adalah bekas sengatan tawon madu itu. Ibu melihat ke atas dan ke bawah, juga ke sekeliling. Awalnya aku tak mengerti apa yang coba di cari oleh ibu. Ternyata ibu mencari di mana ada sarang tawon di dekat tempat ini.
Adik lu sudah berhenti menangis. Bik Marni masuk ke dalam untuk mengambilkan minum adik ku.
"Kamu ini gimana sich, Nia. Masak jagain adik sebentar aja ngga bisa. Selalu saja berakhir menjadi tangisan Sandi" hardik ibu ku tiba-tiba.
Aku hanya mampu menunduk dan menahan agar tidak menangis di depan ibu. Ibu akan bertambah marah kalau sampai menangis di depan nya.
Bik Marni datang membawa segelas air putih dalam gelas dan segera memberikanya pada ibu. Sandi sedikit tenang setelah meminum air itu. Aku hanya terpaku di depan ibu tak berani bergerak sedikitpun.
Ibu membawa Sandi masuk ke dalam dan menyelesaikan tugasnya sambil menggendong Sandi. Begitu ibu tak terlihat, tanpa terasa air mata ku menetes. Bik Marni mendekat dan memeluk ku.
"Kamu yang sabar ya, ndok!"ucap bik Marni.
Setelahnya, bik Marni mengajak ku masuk kembali ke dapur. Aku hanya duduk di kursi kecil dekat ibu menggilas pakaian dalam mesinn cuci. Masih belum berani bersuara. Takut ibu akan semakin marah padaku.
◇◇◇◇◇
Hari sudah semakin siang. Ibu pun sudah selesai dengan pekerjaan nya. Hanya tinggal menjemurnya saja. Dan itu adalah tugas ku. Biasanya jam segini, bu Joko sudah pulang. Tapi aku sama sekali tidak mendengar suara mobil nya memasuki halaman.
Aku bekerja dalam diam. Ibu dan Sandi sedang berbincang dan membantu bik Murni memasak makan siang di dapur. Ibu biasa melakukannya walaupun itu bukan tugas nya. Itu karena bik Murni lah yang membuat ibu bisa mendapat pekerjaan di rumah mewah ini.
Kami memang bukan termasuk keluarga miskin. Tapi itu menurut ku. Karena aku belum pernah sekalipun merasakan kekurangan dalam hal apapun. Semua nya selalu cukup terpenuhi. Ayah ku adalah seorang buruh bangunan di kota sebrang.
Ayah hanya pulang setiap seminggu sekali. Bahkan kadang sebulan sekali. Ibu bekerja untuk menambah uang dapur yang hanya cukup tanpa bisa di tabung. Itulah yang ku tahu.
Aku selesai menjemur dan lalu menemui ibu di dapur. Kulihat Sandi sedang makan roti di lantai. Seperti nya enak. Tapi aku hanya bisa diam sambil menelan air liur yang akan menetes.
"Bu. Tania sudah selesai" lapor ku pada ibu.
Ibu bahkan tak menjawab ku. Aku pun langsung duduk di samping adik ku. Sandi terlihat sangat menikmati roti itu. Pak Dirman datang. Beliau pun duduk di samping ku setelah mengucap salam.
"Lhoh, bu. Ini Tania kok ngga mbok kasih juga rotinya?"tanya pak Dirman pada bik Marni.
"Bukan ngga di kasih kang. Tadi yu Marni sudah ngasih. Cuma saat aku sibuk bantu masak, ternyata bagian Nia sudah di makan sama Sandi. Tapi ngga papa. Nanti pulang biar aku yang belikan buat ganti nya Tania" jelas ibu ku.
Aku tidak terkejut mendengar penjelasan ibu. Karena itupun sudah biasa bagi ku. Apapun yang ku miliki, itu juga milik Sandi. Begitulah ibu menjelaskan nya padaku. Aku sebagai kakak harus mengalah.
Kulihat pak Dirman menghela nafas. Kemudian beliau merogoh saku celananya. Beliau mengeluarkan permen lolipop dan menyerahkan nya padaku.
"Ini untuk mu Tania. Pak dhe hanya punya ini ngga papa ya" ucap pak Dirman padaku.
Belum sempat permen itu berpindah ke tangan ku, Sandi merengek memintanya pada ibu. Aku hang semula hendak menerimanya, seketika mengurungkan niat ku.
"Sandi anak ganteng. Pak dhe hanya punya satu. Tadi Sandi kan sudah dapat roti 2. Yang ini biar buat mbak Tania ya" bujuk pak dhe pada Sandi.
Adik ku itu malah menangis. Aku melihat ibu melotot padaku saat itu. Seketika hatiku berdebar rasanya.
"Ngga papa pak dhe. Itu buat Sandi aja. Kan nanti ibu juga mau belikan aku roti" ucap ku terbata pada pak Dirman.
Beliau pun menghela nafas nya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian beliau memberikan permen itu pada Sandi. Adik ku itu akhirnya diam. Pak Dirman pun beranjak pergi ke depan kembali karna memang tugas satpam adalah berada di posnya.
Tak lama, ku dengar suara deru mesin mobil memasuki gerbang rumah bu Joko. Tak salah lagi. Itu adalah sang empunya rumah. Aku sangat hafal suara nya. Entah kenapa hati ini bahagia mendengar nya.
Ibu dan bik Marni pun telah selesai menyiapkan makanan untuk makan siang. Biasanya, makanan akan terbagi dua. Satu di meja ruang makan tempat bu Joko dan anak nya makan. Satu lagi di dapur untuk para asisten rumah tangga nya.
Aku membantu ibu dan bik Marni menyiapkan makan siang untuk bu Joko. Saat itulah kulihat bu Joko berjalan menuju lantai atas rumahnya. Dia terlihat kepayahan membawa, entah apa aku tak tahu. Yang jelas tas berkotak- kotak banyak nya.
"Tania! Tolong bantu ibuk, nak! Bawa barang- barang ini ke atas" ucapnya padaku saat melihat ku ada di meja makan.
Akupun segera berlari mendekat dan membawakan beberapa barang itu. Kami pun bersama- sama melangkah ke kamar atas.
Kamar bu Joko sangat luas dan indah. Aku berkali- kali masuk ke tempat ini, tapi masih saja selalu terkagum- kagum setiap memasuki nya lagi. Kadang aku sempat berkhayal, suatu saat aku akan memiliki tempat seperti ini juga. Tapi, itu hanya sekedar khayalan.
Aku meletak kan barang-barang bu Joko di atas kasurnya yang lebar itu. Bu Joko pun melakukan hal yang sama.
"Permisi, buk!"ucap ku pamit.
"Tunggu Tania! Kemarilah, ibu ingin bicara!"cegah nya.
Akupun kembali mendekatinya. Beliau mengisyaratkan agar aku duduk di sebelah nya. Namun karna aku sangat tidak enak, alu duduk saja di bawah. Di karpet bulu nya hang lembut itu.
"Jangan duduk di bawah Tania! Kemarilah duduk samping ibuk" katanya lagi.
Akupun hanya menurut saja dan akhirnya ikut duduk di di atas kasur yang bahkan, aku serasa duduk di atas kue.
"Apa kamu bahagia dengan hidup mu Tania?"tanya bu Joko yang membuat ku menatap nya dengan heran.
"Maksud ibuk?"tanya ku.
"Ibuk tau, ndok. Ibu mu tidak memperlakukan mu dengan baik. Ibuk tau kamu sering menangis diam-diam saat ibu mu menyalahkan mu ketika adik mu menangis atau meminta sesuatu"jelas bu Joko padaku.
Aku yang mendengar bahwa bo Joko sering memperhatikan ku, merasa sangat ingin menangis. Sekuat tenaga ku tahan bendungan air mata ini agar tak sampai jatuh dan di lihat oleh bu Joko.
"Tidak kok, buk. Ibu marah karena Tania salah. Itu saja" jawab ku sambil menunduk tentu saja.
"Jangan bohong, ndok! Ibuk tau kamu sedang menutupi perilaku ibu mu. Ibuk tau kamu hanya takut kalau semua orang tau tabiat ibu mu yang sebenarnya" ucap nya lagi.
"Ngga, buk. Tania ngga bohong"jelas ku lagi.
Bu Joko terlihat menghela nafasnya dengan kasar. Aku sampai merasa bersalah karna harus membohongi orang terbaik yang pernah ku temui itu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak sanggup berkata jujur jika kemarahan ibu sebagai imbalanya. Aku tak ingin ibu semakin membenci ku.
"Begini, ndok. Ibuk ada niat mengangkat kamu jadi anak ibuk. Ibuk akan biayai sekolah mu. Belikan semua keperluan mu. Lengkapi semua yang kamu butuhkan. Ibuk pengen kamu jadi anak angkat ibuk. Apa kamu bersedia?" tanya bu Joko sambil menggenggam tangan ku.
Seketika aku mendongak. Menatap lekat kedua mata wanita yang sedang ada di depan ku itu. Aku merasa seperti mimpi mendapatkan tawaran semenggiurkan itu. Namun, bayangan ibu seketika hadir di mataku. Apakah ibu akan setuju? Apakah ibu tidak akan marah? Lalu ayah. Bagaimana dengan ayah? Apakah ayah akan mengijin kan ku menerima tawaran bu Joko.
"Kamu boleh memikirkan nya dulu, ndok. Katakan sama ibuk kalau kamu sudah punya jawabanya. Ibuk tidak akan memaksa"ucap beliau padaku setelah melihat ku menundukan kembali kepala ini.
Aku hanya terdiam sambil sesekali meremas ujung baju kumal ku. Bu Joko melihat kecemasan ku akan amarah ibu nanti nya.
"Jangan khawatir, ndok! Ibuk ngga akan cerita pada ibu mu soal ini sampai kamu punya jawaban nya. Ibu akan menunggu bagaimana jawaban kamu dulu. Jika kamu setuju, baru ibuk akan minta persetujuan dari orang tua mu. Namun bila tidak, ibuk juga tidak akan marah" ucap beliau menenangkan ku.
Aku pun sedikit lega mendengar ucapan bu Joko.
"Maaf, buk! Tania masih 9 tahun. Baru kelas 2 SD. Jadi Tania bingung harus bagaimana" ucapku ragu.
"Ngga papa. Ibuk bisa ngerti. Tania anak baik. Ibuk tahu itu. Sudah jangan cemas!( bu Joko mengambil sesuatu dari dompetnya) Ini uang saku mu, ndok. Terima kasih tadi bantu bawa barang- barang ibuk, ya" ucap bu Joko sambil menyelipkan uang berwarna biru dk saku baju ku.
Kemudian beliau membolehkan ku meninggalkan kamar nya. Aku pamit pada bu Joko. Begitu berada di luar pintu, ku lihat uang yang di selipkan bu Joko di kantong baju ku. 50 ribu. Selalu nominal yang sama setiap minggu nya.
Bahkan walaupun sebenarnya bantuan ku tidak seberapa. Aku harus sembunyikan uang ini. Atau kalau tidak, ibu akan marah melihat bu Joko begitu memperhatikan ku.
◇◇◇◇
Aku dan ibu pulang ketika adzan dhuhur sudah berhenti bergema. Kami pulang membawa beberapa lauk dari rumah bu Joko. Itu adalah rutinitas akhir-akhir ini. Sebelumnya tidak. Alasan bu Joko, itu bagiam makan siang kami.
Begitu masuk rumah, ibu langsung ke dapur. Tentu saja mengambilkan makan siang Sandi sekaligus menyuapi nya makan. Sedangkan aku langsung masuk ke kamar ku.
Hanya di sini lah tempat ku paling nyaman. Di kamar ku. Aku bebas melakukan apapun. Menangis, tertawa dan juga bermimpi. Bermimpi memiliki keadaan lebih baik.
Aku mendekat ke arah tempat tidur ku. Di bawah dipan bambu ku, ada sebuah kaleng bekas biskuit yang bergambar satu keluarga tanpa ayah itu. Di situlah ku simpan baik- baik uang saku dari bu Joko selama ini. Aku hanya mengeluarkan nya ketika aku butuh saja. Karena uang saku dari ayah yang diberikan padaku tiap beliau pulang selalu ku cukup-cukup kan hingga beliau kembali pulang ke rumah.
Aku keluar kamar setelah menyimpan kembali kaleng itu. Tentu saja di tempat yang tak mungkin ibu ku jangkau. Ketika baru keluar dari kamar, hati ku mendadak nyeri melihat ibu yang dengan sabar menyuapi Sandi.
"Ibu. Aku juga ingin di suapi" ratap ku dalam hati.
Sepanjang yang ku ingat, belum pernah aku di suapi ibu. Hanya ayah yang selalu meluangkan waktu menyuapi ku ketika di rumah. Aku melangakah menuju dapur. Mengambil makan siang sambil terus melirik pada ibu ku yang sedang menyuapi Sandi. Ibu seolah tak melihat keberadaan ku saat ini.
Aku makan dalam diam di teras belakang dapur rumah ku. Rasanya tak sanggup lagi melihat adegan itu. Aku makan dengan perlahan sambil membayangkan ayah ada di rumah.
"Ayah, Tania kangen" ratap ku dalam hati.
◇◇◇◇◇
Hari ini ibu tidak ke rumah bu Joko. Beliau hanya ke sana 2 hari sekali. Aku pergi ke rumah teman ku Dina hari ini. Pelajaran melalui internet karena sekolah kami yang dj liburkan.
Aku tidak memiliki handphone maupun laptop. Pernah sekali aku minta pada ayah, namun ayah hanya menyuruh ku sabar menunggu. Ayah tidak mungkin memberikan handphone miliknya karena itu satu-satunya alat komunikasi dengan sesama teman kerja dan juga rumah. Meminjam pada ibu, itu jelas tidak mungkin.
Pernah aku meminjam sekali waktu itu untuk mengerjakan tugas sekolah ku.
"Dasar kamu itu, ya! Mau bohongin ibu, ya. Mana ada anak kelas 2 SD di kasih tugas buat pegang hp. Hah......" itulah jawabanya.
Semenjak dari itu, aku tidak pernah berani meminjam nya lagi.
Aku sampai di rumah Dina teman ku. Tapi aku sangat kecewa. Pintu rumah nya tertutup rapat. Sepi seperti tak ada orang di dalam nya.
"Assalamualaikum. Din!" sapaku.
Tak ada jawaban sama sekali. Aku ulangi hingga 3 kali juga masih tetap sama. Akhirnya ku putuskan duduk menunggu di depan rumah nya.
♤♤♤♤

Komentar Buku (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    16d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru