logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Part 3

Bayangan Via masih tertuju pada kejadian 40 menit yang lalu, ketika keduanya sudah tiba di apartemen Arfand. Via ditinggal diruang tv, duduk termangu menunggu Arfand. "Aww..." Via terkejut, tiba-tiba tangannya yang sakit ditarik oleh Arfand.
"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Arfand. Via menggelengkan kepala, terlalu pedih dan sakit untuk ia ceritakan, terlebih itu pada Arfand. Via hanya menyimpannya sendirian, bahkan orangtuanya pun tak tahu bahwa anaknya pernah mengalami trauma.
"Terimakasih." Ujar Via setelah selesai diobati luka ditangannya oleh Arfand. Malam itu terasa sangat sepi, hanya suara mobil dijalan yang satu dua masih terdengar ke jendela apartemen Arfand.
"Kau bisa tidur dikamar itu." Arfand menunjukkan kamar kosong. Via mengangguk, lalu masuk. Ia mencoba untuk melelapkan diri, namun bayangan itu masih tersisa, menghantui pikirannya. Via lantas berjalan ke balkon, melihat pemandangan malam di Jakarta. Seperti yang sering ia lakukan, entah di Paris, Jerman atau dimana pun ia jalan-jalan ke suatu tempat.
Lampu-lampu dijalanan terlihat redap redup bagaikan kunang-kunang. Via teringat Andra, ia rindu sekali. Bukan karena perasaan cintanya, namun karena kehadirannya yang mengisi hati. Meski ia telah rela melepaskan cintanya, namun sesekali ia ingin melihat Andra kembali untuk mengatakan apa yang belum ia katakan. Tapi itu tidak mungkin, Andra sudah aman bersama Tuhan. Sudah damai dan tersenyum di surga. Via mendesah pelan.
"Via...?" Seru Arfand. Suara ngebas milik Arfand membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, "sudah jam 3 malam, kau belum tidur juga."
"Aku tidak bisa tidur, Fand." Jawab Via.
Arfand mendekat, berdiri tepat disamping kanan Via. "Sesekali aku pernah melihatmu seperti ini, dulu sewaktu kuliah di Paris." Ujar Arfand.
"Hemmmh, ya, aku memang suka menyendiri. Melihat kota malam yang hangat." Jawab Via. "Kadang ditemani Andra." Lanjutnya.
"Kau merindukannya?" Tanya Arfand. Via mengangguk, pelan.
"Rindu itu dirasakan tak hanya pada orang-orang yang kita sayang, namun yang kita kenal juga. Aku juga rindu padamu." Tutur Via.
Arfand menoleh, mengernyitkan dahi. Via tersenyum, "Entah aku yang berubah atau kau yang berubah. Dulu, rasanya kita bagaikan teman yang tak membatasi satu sama lain. Teman yang sering kali meledek, teman yang selalu kau hibur, teman yang selalu kau beri semangat, bahkan acap kali kau membuatku kesal. Tapi rasanya, semenjak kepergian Andra, kau berubah. Kita memang membahas banyak hal, tapi rasa humormu lambat laun menghilang. Aku rindu kau yang dulu, yang tak sungkan padaku. Tapi entahlah, aku tidak tahu bagaimana kehidupan mengubah segalanya." Jelas Via.
"Itu karena aku menyembunyikan sesuatu darimu, Via. Mungkin kau benar, bahwa akulah yang merubah segala kepribadianku untuk menutupi sesuatu yang harusnya kau tahu sejak dulu." Batin Arfand.
"Apa aku terlalu serius?" Tanya Arfand.
Via mengangguk, sebulir air mata tiba-tiba jatuh ke pipinya. "Aku tidak butuh guru, Arfand. Aku butuh sahabat. Kau yang dulu selalu mengejekku dan menghiburku." Jawab Via. Arfand menatap wajah Via, meluruskan kedua bahunya Via sejajar dengan bahunya.
"Aku tidak berubah Via." Balas Arfand. "Aku masih sahabatmu." Kemudian Arfand memeluk Via, mengelus rambutnya. Maafkan aku Via, aku belum bisa menjelaskan semuanya padamu.
"Aku tahu kepribadian Sanguinis sepertimu, Arfand. Tidak mudah untuk berubah secepat itu padaku." Tukas Via. Arfand tersenyum, Via sudah menyadari perubahan Arfand.
"Kau mau nonton drama korea?" Tanya Arfand.
"Aku butuh dihibur, bukan menonton."
"Ini juga hiburan, ayo." Arfand menggenggam tangan Via dan duduk di sofa. Siap untuk menonton drama korea. Tapi bukannya drama korea yang diputar di-dvd melainkan drama teater dari kampus seni, menceritakan keluarga kecil orang sunda. Via mencubit lengan Arfand. Tapi hasilnya Via tertawa terbahak-bahak. Jam 4.15 WIB, Via tertidur dibahu Arfand. Arfand membiarkan Via terlelap dibahunya. Ia mencintai wanita itu, tapi entahlah, apakah Via juga mencintainya atau tidak?
Arfand membopong Via ke kamar, lalu membaringkan tubuh Via diatas kasur. "Aku berubah karena satu alasan Via. Sebab mencintaimu disaat kau kehilangan orang yang kau cintai. Dan aku merasa bersalah." Jelas Arfand tepat didepan wajahnya Via. Arfand menatap wajah Via lamat-lamat, cantik, meski tidak memakai make up. Bibirnya semu merah jambu, Arfand menatap bibir Via. Ingin sekali mengecupnya, tapi kemudian ia lekas pergi mematikan lampu kamar.
***
Hidung Via begitu tajam mencium bau sedap omelet. Sinyal didalam perutnya langsung terhubung, 'lapar'. Via menggeliat, ia terkejut melihat sekeliling kamar. Ia mengingat-ingat kejadian sebelum ia tidur. Ohya, ia tadi sedang menonton teater bersama Arfand, tapi ia tak ingat kalau ia berjalan masuk ke kamar tidur. Via bangun lalu merapikan tempat tidur, setelah itu ia berjalan ke sumber bau sedap itu.
"Kau sudah bangun...?" Seru Arfand.
"Hai, kau masak omelet?" Balas Via.
Arfand mengangguk, lalu menyediakan nasi goreng dengan omelet buatannya.
"Silahkan dicoba." Kata Arfand.
"Untukku?" Via menunjuk diri. Arfand mengangguk. Via mencicipi satu sendok, kemudian berlanjut lagi satu sendok, lanjut lagi mengunyah.
"Uhmmm, enak, pedas dan gurih." Komentar Via.
"Setelah ini giliran, kau yang memasak untukku." Kata Arfand.
"Boleh saja, kalau masakanku lebih enak, apa hadiahnya?" Balas Via.
"Apapun yang kau suka." Jawab Arfand.
"Sungguh?" Via berseru riang. Arfand mengangguk.
Lalu mereka berdua sarapan pagi. Setelah menghabiskan sarapannya, Arfand mengantarkan Via pulang ke rumahnya. Arfand mampir sebentar sebelum ia kembali pulang. "Kau membelinya?" Tanya Arfand, sembari melihat rumah sederhana milik Via. Via mengangguk.
"Impianku sewaktu kuliah sarjana dulu adalah memiliki rumah sendiri, alhasil ya beginilah. Perjuanganku." Jawab Via.
"Hebat, aku kagum padamu. Biasanya wanita yang sudah kuliah dan bekerja, mereka hanya tinggal menunggu lamaran seorang pria untuk menjadi kaya." Balas Arfand.
"Aku bukan tipe wanita yang hanya bisa menunggu jodoh. Jika dia mencintaiku dan serius menikah denganku, aku tidak akan menghalangi apapun. Aku bisa menikah dengannya." Jelas Via.
"Tanpa cinta?"
"Cinta bisa menyusul kapan saja, bukan?"
"Kau percaya sahabat jadi cinta?" Tanya Arfand.
"Kenapa bertanya seperti itu? Kau mencintaiku?" Selidik Via.
"Ehmmm, aku cuma bertanya." Jawab Arfand.
Via menyelidik, menyipitkan matanya. Lalu menatap lamat-lamat mata Arfand. Lelaki itu jelas sekali terlihat gugup dan salah tingkah. "Kau mencintaiku?" Tanya Via.
Arfand salah tingkah dihadapan Via, "Aku jatuh cinta padamu?" Ketus Arfand dengan nada sepele.
"Hah? Lalu kenapa kau bertanya seperti itu tadi? Kalau kau mencintaiku, artinya kau tidak boleh mencintai wanita lain selain aku."
"Aishhh, dasar ngaco." Ketus Arfand.
"Kalau kau mencintaiku, aku juga mencintaimu." Ujar Via, entah asal ceplos atau tidak. Tapi hal itu berhasil membuat Arfand bersemu merah bahagia.
"Ahh sudahlah, percuma aku bertanya padamu. Otakmu sedang error." Kata Arfand. Via tertawa terkekeh.
"Wahhh, Arfand-ku sudah kembali." Tukas Via, lalu memeluk Arfand dengan spontan.
"Hey, apa-apaan kau ini. Memangnya aku kesurupan." Balas Arfand.
"Sungguh, aku senang kau mengejekku seperti tadi. Mmmuacch..." *Via mengecup pipi Arfand dengan spontan. Arfand terkejut begitu pun Via sendiri yang tak menyadarinya.
"Kau menodaiku." Seru Arfand, "Aku tidak terima, kemari kau. Aku akan membalasmu."
"Aku tidak sengaja, maksudku, aku melakukannya dengan spontan. Tidak aku tidak mau dicium olehmu." Balas Via. Via berlari menghindar Arfand. Keseruan itu berlangsung selama satu jam kemudian, Arfand mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit.
"Aku pergi dulu ya."
"Okey, be careful, Arfand."
"Bye, Via. See you."
"Bye..."
***
Perasaan bahagia itu tiba-tiba muncul, entahlah disebut apa? Tapi saat kau merasakannya, kau seperti melayang ke angkasa. Terbang bersama merpati-merpati putih, serta tenggelam ke dalam lautan yang dalam. Via tersenyum seorang diri di kamarnya. Menikmati suasana hatinya yang bahagia. Sesekali ia berbicara sendirian, seolah menolak untuk merasakan bahagia itu. Tapi tak sekali ia tak menolak merasakan bahagianya. Entahlah, apakah ini cinta atau bukan?
"Tuhan, aku tahu purnama yang bersinar itu adalah kesempatan dimana Engkau mempertemukanku dengan pria yang Engkau restui cintanya denganku." Batin Via.
***
"Selamat pagi mbak Via." Seorang perawat menyapanya. Via tersenyum.
"Pagi..."
Pagi ini banyak sekali yang menyapanya, begitu ia sampai diruangannya, Via lekas disuguhi koran nasional yang ada beritanya tentang dirinya.
"Ini baru Indonesia. Punya psikolog cantik kayak kamu." Ujar Fandi, rekan satu profesi.
"Nggak kalah sama negara lain, kan." Seru Tikha.
"Kalau aku cantik itu namanya takdir, nggak usah disambung-sambungin sama negara dan profesi deh." Balas Via.
"Aku bangga lho, Vi. Lihat kau live di youtube udah buat merinding. Sukses deh." Seru Anita.
"Terus nggak ada yang banggain aku?" Semua menengok ke sumber suara dari bibir pintu. Arfand. "Aku juga ada disana. Bukan cuma dia." Lanjutnya menunjuk Via.
"Ohya?" Seru Tikha, Anita menyenggol.
"Aku bahkan baru tahu kalau ada psikolog lulusan dari Perancis yang bekerja di Rumah Sakit ini. Ternyata kau?" Ujar Arfand. Via mengangguk pelan.
"Suatu kebanggaan bukan, pak?" Kata Fandi. Arfand mengerutkan bibirnya.
"Maaf pak, kalau saya lancang. Ada keperluan apa bapak keruangan psikolog?" Tanya Tikha, lagi-lagi Anita menyikut lengan Tikha.
"Bukan apa-apa, hanya ingin tahu perempuan yang terlahir cantik karena takdir." Jawab Arfand, kemudian berlalu meninggalkan ruangan mereka.
Via merasa sedikit jengkel, dia berlagak seolah-olah tidak mengenalinya. Apa maksudnya? "Kalian kenapa memanggilnya bapak? Bukankah dia sama seperti dokter yang lainnya." Tanya Via.
"Kau mengenalnya?" Fandi balik bertanya. Via gugup menjawabnya, Via memang tidak pernah bercerita bahwa ia mengenal Arfand. Via menggelengkan kepala.
"Dia yang punya rumah sakit ini." Jawab Fandi yang sudah lama bekerja di rumah sakit. Via menelan ludah. Tidak mungkin.
"Silsilahnya aku juga kurang ngerti sih, entah buyutnya atau siapanya lah dia itu. Pokoknya RS ini termasuk RS keluarga, dari mulai ayahnya, bibinya, pamannya, ibunya, keponakannya, tantenya ahh pokoknya yang lain-lainnya deh." Jelas Fandi.
"Yah, bayangkan saja, ini kan rumah sakit swasta. Mungkinkan kalau ini pada awalnya dimulai dari keluarga terdekat." Sambung Tikha.
"Setahuku sih, dia memang bukan pewaris dari Rumah Sakit ini. Kalau tidak salah, entah buyutnya atau apanyalah panggilan nenek moyang dulu. Beliau punya 4 anak kandung dan 1 anak angkat. Ya itu kakeknya Pak Arfand yang diangkat oleh uyutnya itu. Jadi bukan pemilik sah, hanya berlaku untuk keluarga saja. Jadi pak Arfand masih punya hak yang lain." Jelas Anita.
"Kau tahu dari siapa sampai jelas begitu?" Tanya Fandi.
"Dari dokter Riska. Adik sepupu dokter Arfand." Jawab Anita.
Via mengangguk jelas. Rupanya begitu. Via mengerjakan kembali bagian forensiknya. Pasein-pasein yang dinyatakan Skizofrenia atau diagnosa lain dari beberapa psikolog. Via merekapnya sekaligus dengan riwayat hidup mereka.
***

Komentar Buku (179)

  • avatar
    AmeliarhCahaya

    bagusss

    13d

      0
  • avatar
    AgustiaSELPA

    tolongg jika membaca mendapatkan 500

    19d

      0
  • avatar
    Joni

    cerita nya bagus dan menarik

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru