logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Ayo Kita Menari!

Bab Tujuh
"Ayo pergi," kata Imran—yang sedang memarkiran mobilnya—di tempat parkir Pusat Kota Alabang.
Selama perjalanan, aku masih bertan)(ya-tanya; kenapa tiba-tiba dia punya keinginan untuk pergi keluar bersamaku? Walau penampilannya masih acak-acakan sekarang, dia tetap nampak gembira dan bersemangat.
Apakah, dia sudah terlalu lama merindukan Indonesia? Sehingga dia berencana untuk mengunjungi tempat-tempat di sini saat pulang. Hmm ... atau mungkin saja sekadar untuk membeli pakaian, karena sebagian besar pakaiannya masih dia tinggal di Amereika.
Ah ... sudahlah, masa bodoh dengan itu semua. Tidak penting juga memikirkannya.
"Kita mau pergi kemana nich?" tanyaku setelah kami memasuki pintu masuk Mall.
Padahal, kami sudah menaiki dua tangga jalan dan melewati beberapa toko, tapi dia masih saja tidak berhenti. Entah, toko apa yang dia cari.
"Nah, kita udah sampai nih!" ucapnya saat berada di area bermain, seperti nama yang tertulis di atas pintu masuk: ARENA BERMAIN.
"Lah, ngapain lo ajak gue ke sini?" tanyaku yang heran, mengaoa sia mengajakku ke tempat itu.
"Kenapa emangnya, keren kan?" katanya dengan senyum yang sangat lebar.
"Hah?" Aku pun tersenyum malu. Menggeleng. Oh, God, apakah dia serius?
"Lo ngapain masih berdiri di situ? Sini masuk cepetan! Kita main!" katanya yang sudah berada di dalam duluan.
Ini pertama kalinya aku bisa memasuki tempat seperti itu. Aku tidak punya banyak teman di SD, SMA dan kuliah, hanya Rara dan aku yang selalu menolaknya setiap kali dia mengajakku ke mall. Aku harus membantu pekerjaan Mama dan masih ingin fokus belajar.
Mama juga tidak pernah membawaku ke tempat ini, karena buang-buang uang. Daripada menghabiskannya untuk bermain, kami memilih makan di Kepeci saja.
"Lo mau ke sini atau ke club, hah? Kalau gak mau ke Club, ago cepat main di sini!" perintah Imran, dia tersenyum saat aku berjalan mengikutinya.
Sepertinya pipiku mulai memerah. "Kita mau ngapain di sini, Imran? Bukannya tempat ini hanya untuk anak-anak?" tanyaku.
Dia pun tertawa. "Hahaha, gak usah malu, Sayang! Di sini semua usia bisa masuk. Lagi pula kita gak akan pernah merasa tua jika selalu bersama," ucapnya seraya mengedipkan mata.
"Bukannya budaya Amerika membuat lo terbiasa pergi ke Club ya? Gue kira lo mau ngajak gue ke sana?" tanyaku yang masih merasa heran.
Wajahnya terlihat dingin seketika. Itu membuatku gugup. "Jangan ngehina dong. Lo kan tau gue bukan orang seperti itu. Gue ini anak kalem. Jikapun pernah, gue juga gak akan ajak lo ke sana. Gue serius. Karena gue tau lo itu perempuan baik-baik," ucapnya. Kata-katanya panjang sekali. Dia pun kembali tersenyum dan menarik tanganku ke sebuah permainan.
"Apaan tuh?" tanyaku saat dia mendudukkanku di kursi, di mana aku bisa melihat tiga wanita muda menari di depan sebuah tv layar datar besar. Ada avatar menari di tv, sepertinya mereka sedang meeniru langkah avatar menari.
Beberapa orang menyaksikan mereka menari, dan menurutku itu sangat memalukan. Kok mereka tidak merasa malu ya?
"Itu namanya Dance Central. Game di mana lo harus mengikuti langkah-langkah tarian, yang ditunjukkan oleh avatar," katanya sambil tersenyum.
Aku pun mengangguk. "Oh ... jadi, kita hanya melihat mereka menari gitu di sini?" Aku bertanya, dan saat itu aku melihat semakin banyak orang yang menonton.
"Ya gak lah, kita juga akan menari nanti. Setelah mereka!" ucapnya. Aku merasa rahangku hampir saja jatuh akibat tenganga-nganga —waduh, bahasa apa itu? Hihihi.
What? Apakah dia serius? No! Mungkin, dia hanya bercanda.
"Halah, gak lucu tau gak. Pokoknya gue kagak mau!"
Dia pun menyeringai. "Hehehe, tiga menit lagi mereka selesai. Setelah mereka kayaknya gak ada yang ngantri selain kita. Jadi abis ini viliran kita, okay!" katanya seraya melihat sekeliling.
Mataku pun melotot. "What? Lo serius?"
"Yaiyalah! Lo pikir gue bercanda? Gue serius, Malih!" jawabnya seraya tersenyum dengan menaikan satu alis.
"Wlah, gue yakin lo gak serius, ah ...."
"Gue serius, Zahra! Abis ini kita akan menari sampqi kita capek, lo tenang aja!"
"Bodo amat, pokoknya gue kagak mau. Gue gak bisa nari kayak gitu, Bambang. Mending kita cari oermainan ambil bonekanaja!" kataku yang mulai berusaha memberontak pada ajakannya.
"Nah, mereka udah selesai tuh!" ucapnya seraya bangkit dari tempat duduknha.
"Hmm, permisi. Apakah kalian masih mau bermain?" Dia mengajak ketiga wanita yang menari tadi. Mereka pun menatap Imran seraya mengangguk.
Dasar buaya! Sudah beberpaa tahun berlalu, tapi kebiasaan menggoda para wanita masih saja belum hilang. Aku pun kesal saat melihatnya mengedipkan mata kepada tiga wanita itu. Ketiga wanita itu pun terlihat terpesona pada Imran. Benar-benar menyebalkan!
Ketika aku melihat Imran kembali, ternyata doa sedang menggesekkan kartu di sebuah mesin. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan permainan ini. Mungkin karena sering melakukannya di Amerika.
Aku hanya duduk di sana sementara Imran menekan tombol start. Tiba-tiba aku teringat pada kata-katwnya tadi, bahwa kqmi yang wkan bermain. What?
Aku gugup. Apalagi saat melihat sekitar, sudah banyak orang yang menonton. Semua mata tertuju pada Imran. Terutama gadis-gadis muda seusia mahasiswa, mata mereka tak henti-hentinya memandangu Imran. Setampan itukah wajahnya? Lalu, aku belum sempat memenangkan argumen dengannya.
Aku mencoba menolaknya, dan berusaha mencari alasan. Namun, belum selesai aku berpikir, Imran berbalik ke arahku dan berkata, "Zahra, ayo kita nari! Gue udah pilih lagu yang bagus nich!"
Hah? Aku hanya ternganga menatapnya. Keringat pun menetes di dahiku.
"Jangan malu Zahra! Ayo! Gak usah malu, sini gue ajarin!"
Hah? Aku masih tak bisa bangkit dari tempat dudukku. Tubuhku terasa kaku
Imran hendak melangkah ke arahku, tetapi ketiga wanita itu mencoba menghalanginya. Salah satunya berkata,
"Sama kami aja Kak. Kita berempat. Kan jadi meriah kalo 4 orang!"
Hahaha. Aku merasa terbantu oleh tindakan ketiga wanita itu. Namun, Imran menggeleng dan menolak tawaran mereka.
"Ah, maaf. Gue ke sini sama pacar gue." katanya seraya berjalan ke arahku. "Ayo, Zahra! Jangan buang waktu dong!"
Karena aku tidak mau menjawab, seseorang menyela. "Dia gak mau tuh, mungkin karena kakinya kiri semua kali, hahaha! Selangkangan seorang wanita jangkung membuat kepalaku mendidih.
Aku pun tidak mau kalah. Tidak terima aku dibina seperti itu.
"Ayo Imran! Sorry udah buat lo nunggu lama. Sebenarnya gue gak mau nunjukin bakat gue ke orang lain, tapi karena lo bersikeras, oke gue terima tawaranmu," bisikku seraya mendekati mereka.
Imran pun tersenyum dan kembali ke arah mereka. "Maaf ya, mending kalian rekam kami menari aja. Xixixix." Dia mengedipkan mata dan kembali tertawa.
"Emangnya lo bisa? Kalo lo sampai kalah, bakal kami pukul. Gimana, deal?" ucsp mereka.
"Oke gapapa. Tapi kalo gue yang menag, lo yang akan gue pukul!" kataku.
Bukan bermaksud sombong. Namun, aku tahu akan bakatku sendiri. Aku merasa diberi bakat menari, dan ini bakat alami dari Tuhan. Hanya saja aku jarang mempraktikkannya. Karena selama ini aku sibuk mengejar pendidikan, tetapi meskipun begjtu sebenarnya aku ingin sekali ikut lomba menari. Bahkan, aku ingin memimpin sebuah tim, dan berhubungan dengan apapun dalam seni tari.
Kami pun mulai menari bersama. Pada langkah pertama, hanya tangan yang bergerak dan kaki yang bergerak sedikit. Namun, semakin lama langkahnya semakin sulit. Mau tak mau aku melihat langkah Inran, dan dia menari dengan sangat serius. Entah apa yang dia lakukan, tetapi yang aku ingat Imran itu tenang dan tidak ingin semua orang berkeringat, bahkan tempat latihannya di rumah ada AC. Namun, sekarang sepertinya tubuh Imran telah dirasuki seseorang jadi begitulah adanya.
Aku juga melihat jumlah orang yang menonton hampir dua kali lipat sekarang, dibandingkan sebelumnya. Sedangkan keempat wanita yang menggantikanku tadi, tatapan mereka seolah menantang mata kami untuk bertemu.
Sepertinya tarian mereka biasa aja, langkahnya diulang-ulang dan tidak ada kecepatan sama sekali. Sebenarnya aku bisa melakukannya dengan koreografiku sendiri, tapi aku bukan tipe orang yang punya banyak waktu luang jadi aku lupa.
Aku tersenyum ketika menyadari bahwa tiga perempat lagu telah usai dan nilaiku masih lebih tinggi dari Imran. Aku sudah berpikir tentang apa yang harus dia lakukan ketika lagu mulai datang, dan langkah-langkahnya sedikit dipercepat. Aku sangat lancar sebelumnya sehingga tidak harus selalu mengikuti setiap gerakan. Aku terlambat, kanan dan kiri terbalik, terkadang terlalu cepat.
Aku hanya ternganga ketika lagu berakhir. Ternyata aku tidak bisa mengejar skornya, meskipun aku melakukan hal yang benar ketika chorus terakhir datang. Akhirnya aku kalah.
Imran melihat ke arahku, mengedipkan mata dan tersenyum.
Aku mendengar tepuk tangan dari orang-orang di sekitarku yang membuat pipiku memerah. Aduh, malunya.

Komentar Buku (250)

  • avatar
    DurahmanTurina

    Ceritanya bagus tapi gantung ada kelanjutan ceritanya kah?

    22/10

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice

    12/07/2023

      0
  • avatar
    Aditya

    seru ni🥰

    12/04/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru