logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Kini Semakin Dekat

Bab Enam
Aku terbangun, ternyata masih sangat pagi. Sedangkan Imran masih tertidur lelap dan mendengkur. Semalam aku tidak memperhatikan jam berapa dia tidur, karena aku pun lupa jam berapa aku mulai tertidur.
Kuraih ponsel di atas meja, tertulis angka di layar yang menunjukan waktu sudah pukul delapan. Aku pun segera bangkit dan berniat untuk menyiapkan sarapan kami.
Pagi ini aku memasak nasi goreng dan telur mata sapi. Setelah semuanya siap, aku pun menuju kamar untuk membangunkannya dan mengajaknya sarapan. Namun, sepertinya dia masih sangat pulas, membuatku ragu untuk membangunkannya. Mungkin karena kelelahan akibat aktivitas kemarin yang begitu padat. Akhirnya aku memutuskan untuk membiarkannya, sedangkan aku pergi ke kamar mandi.
Saat mandi, aku masih saja sibuk memikirkannya. Aku teringat tentang dirinya di kantor kemarin, bahwa dia sangat susah sekali mengerti apa yang aku ajarkan. Padahal, semua yang kuajarkan itu adalah hal-hal yang sebenarnya masih sangat sederhana. Selain itu, pada pertemuan antar investor dan para anggota dewan kemarin, rasanya tidak terlalu melelahkan. Karena sekarang, dia masih terlihat cukup baik. Aku merasa, dia lebih terbiasa pergi ke pesta. Sedangkan jika terlalu sibuk pada pekerjaan, dirinya menjadi terlihat seperti orang yang tak terurus. Rambut, kumis, dan janggut terbiarkan tumbuh panjang hingga terlihat acak-acakan. Mungkin rambut panjangnya itu yang membuatnya panas dan gerah. Keadaan itu membuatnya menjadi tidak fokus dan efektif dalam bekerja, dan itu membuat pekerjaanku menjadi ikut terasa berat.
Seketika aku pun tersadar, seharusnya jangan sampai aku terpesona pada wajahnya yang tampan. Harus bisa mencegah hatiku sendiri, karena setiap hari bertemu dengannya dan terkadang sampai sedekat ini.
Namun, pikiran akan hal itu justru membuatku tersentak. Bayangkan saja, niat hati ingin melupakan, tetapi malah berpikir bahwa aku masih sangat menginginkannya. Sungguh, ini benar-benar membuatku frustasi. Ini sebuah dilema!
Segera kuselesaikan aktivitas mandiku. kuambil handuk untuk mengeringkan badan dan rambutku, untuk kemudian menutup tubuh idealku. Ternyata handuk ini cukup kecil, dan tidak cukup untuk menutupi kakiku yang panjang dan indah. Namun, sepertinya tidak mengapa. Toh ... Imran pun masih tidur.
Ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi, pria yang sedari tadi bermain di pikiranku keluar dari kamar.
"Hoaaam ... selamat pagi, dunia ...," ucapnya yang masih setengah tidur.
"Selamat pagi," jawabku. Sangat pelan.
Aduh! Kenapa tadi aku lupa membawa pakaian ke kamar mandi? Jika tidak lupa, pasti aku sudah memakainya di sana. Si Imran juga kenapa bisa bangum di waktu yang tidak tepat ini? Memalukan!
“Woy, gue udaj masak sarapan, noh! Sarapan dulu sana!" ucapku seraya bergegas masuk kamar.
Setelah masuk, aku langsung mengunci pintu dan mengambil napas dalam-dalam.
Ini benar-benar memalukan. Apakah dia berpikir aku sedang menggodanya?
Saat baru saka aku berjalan ke lemari bajuku, tiba-tiba terdengan ketukan dari pintu kamar. Aku pun menutup mata dan langsung berkata tegas.
"Kenapa lagi sih!"
Apa lagi?
"Hafidzah Zahra?" panggilnya sambil terus mengetuk pintu.
"Iya ...!" Aku menjawab tanpa membukanya.
"Ayo makan bareng woy! Cepat!"
"Iya oke, tunggu sebentar!"
Aku pun menyegerakan memakai bajuku, kemudia bergabung dengannya di meja makan. Saat sedang asyik makan, dia bertanya,
"Rencana lo apa hari ini, Zahra?"
Aku pun mengangkat bahu, lalu berkata, "Gak tau, mau istirahat aja."
Kulihat keningnya mengerut. "Lo masih sama seperti yang selama ini gue kenal," ucapnya. Suaranya terdengar sangat pelang hingga aku tidak mampu mendengar kata-katanya yang lain. Entahlah, tapi aku yakin sepertinya dia mengatakan sesuatu setelah itu.
"Lo ngomong apa sih. Gaje!"
"Yaiyalah. Walau kita udah berpisah lama banget, tapi gue yakin lo masih sa kayak dulu. Lo gak punya kehidupan sosial. Lo gak pernah gaul. Hari minggu malah tidur!" balasnya. Dia pun tertawa kecil, dan berkata lagi,
"Benar gak? Iya kan, jujur aja! Hahaha!" Aku pun menatapnya dengan kesal.
"Gue kan punya akun FB woy! Itu kan juga media untuk kita bisa bersosial. Sama aja kan!" balasku.
Dia malah semakin tertawa. "Hahah, benar kan firasat gue, lo kagak pernah bergaul!" kata-katanya terdengar bahwa dia sesang bangga bisa membuatku terlihat malu. bangga dengan rasa malu aku.
"Hilih .... Bodo amat!" Aku pun kembali melanjutkan makan. Aku mengerjap lagi sebelum melanjutkan makan.
"Pacaran yuk!"
Huffft ... tadinya aku kira ajakannya itu cuma bercanda. Namun, ketika aku melihat ada keseriusan ekspresi wajahnya. Tatatapan matanya terlihat seperti sedang memohon, dipadu dengan bentuk wajah gang terlihat tampan tetapi terkesan angkuh.
"Hah? Yang bener aja lo! Mamamu meminta vue untuk menemani dan mengajari lo bekerja di perusahaan, gak lebih!" jawabku.
Entah mengapa, hubungan kerjaku dengannya menciptakan kedekatan seperti ini. Namun, sebenarnya saat sedang bekerja kami tidak ada waktu untuk berbicara banyak. Tiba-tiba aku ingat, Bibi Endah kan mau shopping hari ini?
"Kita ke Mall aja yuk, kita kan udah lama gak jalan bareng ke Mall!" ajaknua. Namun, aku sepertinya tidak bisa menerima ajakannya karena aku ada janji akan pergi shopping bersama Bibi Endah.
"Kayaknya hari ini gue gak bisa deh, soalnya vue udah janji mau shopping bareng Bibi Endah." jawabku.
Dia malah tersenyum dan berkata, "Sama gue aja, kapan lagi kita punya kesempatan!"
"Jadi lo yakin mau ke Mall?"
"Iya. Cepetan makannya. Abis sarapan kita pergi sekarang juga!"
Setelah selesai makan, kami langsung pergi meninggalkan apartemen. Namun, ternyata Imran mengajakku mampir untuk pulang ke rumah dulu.
"Mama tadi pergi ke luar, Tuan," ucap Lisa, gadis yang merupakan anak dari salah satu pembantu di rumah keluarga Toha. Dia yang selama ini sering membantu ibuku dalam membereskan rumah.
Karena ibuku sudah agak tua, jadi dia hanya bisa membantu mengurusi atau melayani Pak Toha. Namun, aku juga tidak tahu kenapa mereka masih belum memecat ibu. Sebenarnya, aku ingin ibuku berhenti bekerja dan istirahat di apartementku saja, karena sekarang aku pun sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Namun, karena merasa berhutang budi kepada keluarga Toha yang sudah membiayai pendidikanku, dia malu untuk mengundurkan diri.
"Hah? Emangnya mama ngapain keluar sama Bibi Endah?" tanyaku dengann heran.
"Gak tau, Kak. Mereka pergi pagi banget tadi. Sama Tuan Jeri juga." Lisa menjawab.
"Mungkin mama lo keluar ingin main Golf bareng Bibi Endah kali!" ucap Imran.
Aku mengerutkan kening karena dugaannya. "Mama mana bisa main Golf, kenapa ya dia ikut? Dia nuga vak suka Shopping atau sekadar keluar."
"Hahaha, sifat lo mirip sama mama lo!" Sama-sama gak suka gaul." Dia tertawa, "sudah gak usah dipikirin. Ayo kita pergi sekarang!"
"Emang kita mau kemana?" tanyaku.
"Loh, ya keluar lah njir. Baru aja tadi kita ngomong, udah lupa aja!" jawabnya, sedikit kesal.
"Oh, maaf hehehe. Kirain lo mau tidur di rumah aja sama kayak kami hihihi." Aku pun melanjutkan,
"Coba lihat tuh diri lo, kayak orang yang gak lernah mandi. Kusut. Kayak pengusaha yang baru aja bangkrut!"
Dia mendengus, "Huh ..., kalu gitu tunggu gue sebentar!" katanya seraya menaiki tangga sebelum aku berhenti berbicara.

Komentar Buku (250)

  • avatar
    DurahmanTurina

    Ceritanya bagus tapi gantung ada kelanjutan ceritanya kah?

    22/10

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice

    12/07/2023

      0
  • avatar
    Aditya

    seru ni🥰

    12/04/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru