logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 9 Pertemuan

“Obat kerinduan adalah pertemuan, meski terkadang pertemuan bukanlah sepenuhnya obat penghilang rasa rindu. Karena pada kenyataannya bertemu malah membuat candu untuk kembali bertemu”
Adnan bangun dari tidurnya. Adnan melihat Hilda yang tertidur disampingnya dan menggenggam tangannya. Adnan terpesona melihat kecantikan Hilda, apalagi kini Hilda menggunakan hijab. Kecantikan Hilda seakan bertambah 2x lipat. Adnan terpaku dan tidak mengedipkan matanya. Adnan tidak bisa berbohong bahwa hatinya berdebar bisa kembali melihat Hilda sedekat ini. Adnan bangun dan mencoba mendekati Hilda, Adnan mendekatkan wajahnya pada wajah Hilda, saat Adnan terus bergerak Hilda membuka matanya dan melihat Adnan yang sudah begitu dekat dengannya. Adnan yang merasa malu langsung melepaskan tangannya yang di genggam Hilda dengan kasar.
“Gue udah bilang sama lo untuk pergi dari kehidupan gue, mengapa lo masih disini dan berani-beraninya megang tangan gue.”
Hilda yang baru saja sadar langsung tersentak dengan perkataan Adnan. Hilda mencoba menjelaskan namun Adnan kembali berbicara
“Gue nggak butuh penjelasan apapun dari lo, yang gue mau hanya lo pergi dari sini dan tinggalin gue sendiri.”
“Tapi Nan,,,,”
“Gue bilang pergi ya pergi. Lo budek ya,, PERGIIIII.”
Hilda masih bertahan meski Adnan memarahinya dan membentaknya, Hilda mencoba meluluhkan hati Adnan dengan kembali mencoba menyentuh tangan Adnan namun dengan kasarnya Adnan menolak sentuhan tangan Hilda dan menyingkirkan tangan Hilda dengan kasar.
“PERGI,,,”
Hilda yang merasa kekuatan hatinya mulai roboh langsung berlari keluar dan mencoba menahan air matanya agar tidak turun. Hilda mencoba menenangkan dirinya.
Stefani datang dengan Arie. Stefani tertawa-tawa saat berjalan menuju ruangan tempat Adnan dirawat. Tawa Stefani langsung hilang ketika melihat Hilda yang sedang bengong di ruang tunggu. Stefani mempercepat jalannya dan menghampiri Stefani. Arie yang melihat itu hanya berpikir bahwa ini semua pasti karena Adnan. Ketika Stefani menghampiri Hilda, Arie masuk ke ruangan Adnan.
“Kakak kenapa? Bang Adnan nyakitin kakak lagi? Bang Adnan marah-marahin kakak lagi?” Tanya Stefani yang khawatir akan keadaan Hilda. Hilda yang melihat Stefani dan melontarkan berberapa pertanyaan padanya hanya tersenyum dan menggeleng. Hilda tidak ingin Stefani khawatir akan keadaannya.
“Kakak nggak apa-apa, kakak hanya jenuh dan juga lapar.”
Stefani baru ingat bahwa Hilda dari tadi pagi belum makan. Stefani mengajak Hilda ke kantin untuk makan. Namun Hilda menggeleng. Stefani memasang wajah pura-pura marah.
“Kakak, ayo dong.” Ajak Stefani pada Hilda. Hilda tetap menggeleng
“Kak, kakak kan belum makan, kenapa kakak nggak mau makan? Atau kakak stress karena dimarahi lagi bang Adnan hingga nggak mau makan. Kakak jangan gitu, jangan menyakiti diri kakak sendiri.”
Hilda tertawa melihat ekspresi Stefani “Bukan nggak mau adik iparku sayang, tapi kakak iparmu ini tidak mau jika harus makan di kantin rumah sakit.”
Stefani tersenyum dan mengerti dengan ucapan Hilda. Stefani menarik tangan Hilda dan mengajak Hilda untuk ke luar mencari makan. Stefani mengajak Hilda ke cafe dekat rumah sakit. Hilda tersenyum karena Stefani sangat peka akan keinginannya.
Arie masuk ke ruangan Adnan. Arie melihat Adnan sedang melamun sehingga tidak menyadari kehadirannya. Arie duduk dan menunggu Adnan sadar. Arie tidak ingin mengganggu Adnan. Arie tau, bahwa kini Adnan sedang terluka dan pasti banyak pikiran yang membuatnya stress hingga melamun seperti ini.
Adnan yang tidak sadar akan kehadiran Arie. Terus tersenyum ketika membayangkan kejadian bodoh saat denga refleksnya Adnan ingin mencium Hilda. Adnan tidak bisa membohongi dirinya bahwa getaran itu kembali hadir saat Adnan melihat Hilda yang berada sangat dekat dengannya. Namun ketika Adnan sadar, Adnan kembali mengelak rasa yang ada dalam hatinya, rasa yang sudah 5 tahun ini Adnan coba kubur dengan semua kesibukannya dan berusaha mencintai Stefani yang selalu care akan dirinya. Namun tidak bisa dibohongi bahwa sebenarnya Adnan tidak pernah benar-benar melupakan Hilda, bahkan sebenarnya selama 5 tahun terakhir ini Adnan tidaklah benar-benar mencintai Stefani. Adnan hanya berusaha menerima Stefani agar mampu menghilangkan rasa cintanya pada Hilda. Rasa marah Adnan pada Hilda membuatnya sangat ingin melupakan dan membenci Hilda. Adnan memukul kepalanya, Adnan merasa prustasi dengan semua keadaan yang ada. Arie yang melihat Adnan, panik karena Adnan tiba-tiba memukul-mukul kepalanya.
At cafe Misteri
Hilda mengerutkan dahinya melihat nama yang tertera pada plang cafe. Stefani tersenyum melihat Hilda yang seperti kebingungan. Stefani yakin kebingungan Hilda adalah karena nama cafe ini. Awalnya Stefani juga seperti Hilda, namun saat masuk dan merasakan suasana di dalamnya dan makanan yang tersedia di dalam membuatnya benar-benar terkesan.
“Jangan bingung kayak gitu, yuk masuk.” Tarik Stefani pada tangan Hilda. Hilda menahan tarikan tangan Stefani dan menatapnya sedikit takut. Hilda semakin terkekeh melihat tingkah kakak iparnya itu.
“Stef, lebih baik kita cari tempat lain aja yuk, kakak takut.”
Stefani semakin tertawa ketika tahu bahwa dugaannya tidak salah. Saat Stefani tertawa, ada seorang pelayan yang keluar.
“Ada yang bisa saya bantu mbak?”
Stefani memberhentikan tawanya dan membalikan badannya menghadap seseorang yang baru saja bertanya.
“Nggak ada mbak.” Sahut Stefani. Hilda membalikan badannya dan berniat untuk mengajak Stefani pergi dari tempat yang menurutnya horror ini. Ketika Hilda membalikan badannya, tatapan Hilda terfokus pada seorang pelayan wanita yang kini juga sedang menatap ke arahnya dengan tatapan kaget.
“Hilda Putri Sanjaya kan.”
Hilda menggelengkan kepalanya dan pura-pura tidak mengenal pelayan yang baru saja memanggil namanya dengan lengkap.
“Gue yakin lo Hilda, bener kan lo Hilda. Muka lo mirip banget sama bestie gue.” Hilda kembali menggeleng, namun dengan sangat bahagia, Hilda memeluk pelayan yang kini sedang kebingungan karena kepura-puraan Hilda yang tidak mengenalnya.
“Aweel, gue kanget banget sama lo,” ucap Hilda pada pelayan yang sedang kebingungan itu, namun sepersekian detik kemudian. Pelayan itu tersenyum dan mengeratkan pelukannya pada Hilda.
“Dasar lo Miw, gue kira, gue salah ngenalin orang. Gue malu tau.” Dengan raut wajah yang terlihat menyedihkan.
Hilda tertawa mendengar perkataan sahabatnya. Jujur saja pertemuannya dengan Silviani Andreas membuat Hilda merasakan bahwa kini rasa sakit yang sedang dirasakannya seketika hilang, kerapuhan hatinya seakan terobati. Pertemuan Hilda dengan Silviani begitu membuat kejutan untuk Hilda yang kini sedang terpuruk dan tidak tau harus bagaimana. Hilda melepaskan pelukannya dan melihat dengan seksama, Hilda mencubit pipinya. Hilda takut bahwa ini hanyalah mimpi. Hilda takut ini hanyalah khayalan atas banyaknya pikiran dan kesakitan Hilda beberapa bulan ini juga ditambah kerinduan akan sosok Silviani yang selalu ada untuknya. Silvi atau sering Hilda sebut dengan sebutan awel karena kebawelannya itu, terkekeh dengar air mata yang tak sengaja melewati pipinya. Silvi juga merasakan apa yang Hilda rasakan, Silvi juga tidak percaya akan pertemuannya yang kebetulan seperti ini. Rasa hangat itu menjalar keseluruh tubuh Silvi. Silvi merasakan kesakitan atas pertemuannya, mungkin karena rasa rindu itu sudah sangat membeludak hingga rasanya bercampur dengan sakit. Silvi memeluk Hilda lagi dan menyakinkan Hilda bahwa ini sungguh dirinya. Hilda menangis atas pelukan Silvi yang kedua kalinya. Stefani yang bingung akan kejadian yang terjadi dihadapannya. Memilih masuk dan meninggalkan Hilda juga Silvi.
“Lo jangan nangis Miw, bosen gue liat lo nangis mulu. Memang ya panggilan Amiw itu tidak bisa lepas dari lo.” Amiw adalah panggilan Silvi untuk Hilda. Karena kelembutan hati Hilda yang mudah sekali menangis. Jika dalam bahasa sunda disebut dengan kata miwing (sering menangis).
Hilda tetawa dan lagi-lagi memeluk Silvi. Saat sadar, bahwa kini Stefani sudah tidak ada, Hilda panik dan mencoba mencari Stefani. Hilda takut Stefani kembali ke rumah sakit dan tidak jadi makan. Namun saat melihat ke dalam cafe ternyata Stefani sedang asik makan dan memandang pemandanga luar.
Hilda dan Silvi masuk ke dalam dan menghampiri Stefani yang asik makan sendiri.
“Jadi curang nih, makan sendiri aja. Lupa sama kakaknya,” Seru Hilda yang sudah duduk di samping Stefani. Stefani yang baru menyadari kedatangan Hilda hanya terkekeh langsung memasang wajah pura-pura marah.
“Eitts kok gitu? Kamu marah sama kakak? Jangan marah dong, kan kakak udah mau makan disini.”
Stefani memanyunkan bibirnya dan berkata, “Bukan masalah itu, tapi aku kesel sama kakak. Karena tadi aku dikacangin dan kakak asik sama pelayan tadi, lama lagi, padahalkan aku udah laper banget.”
Hilda terkekeh dan Hilda memang lupa bahwa tadi dia bersama Stefani. Saking kagetnya karena bertemu dengan Silivi. Hilda meminta maaf pada Stefani dan mencium pipinya. Stefani tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Silvi yang pamit untuk ke bar dulu, kini telah kembali dengan segelas coffie dan sebuah nasi goreng spesial. Hilda tersenyum melihat Silvi. Silvi ikut duduk dan mencoba berkenalan dengan Stefani. Hilda mengambil coffe yang diberikan Silvi padanya. Hilda merasakan coffe itu terasa sangat aneh rasanya, Hilda tidak mampu menebak itu coffe apa. Hilda terus meminum coffe itu dan berusaha menebak coffe apa yang kini diminumnya. Namun Hilda bena-benar tidak mampu menebaknya. Rasanya terasa sangat aneh namun begitu nikmat terasa di lidah.
“Wel, ini coffe apa? kok rasanya nggak serasa coffe yang biasanya. Malahan kini gue bingung ini coffe atau apa. tapi jujur ini enak banget.”
Silvi melihat Hilda dan tersenyum, coffe yang dirasakan Hilda adalah menu spesial coffe di cafe milik Silvia. Iya Silvia adalah pemilik cafe bernama misteri itu.
“Tebak dong coffe apa? kan kamu penyuka coffe, masa nggak tau.”
“Gue beneran nggak tau ini coffe apa, rasanya unik tapi bener-bener enak dan nyaman di lidah gue.”
“Baguslah kalau lo suka Miw, itu adalah coffe spesial di cafe ini. Nama coffenya coffe misteri. Karena rasanya yang tidak mampu ditebak.”
“Kok lo bisa-bisanya namain cafe ini misteri?”
“Karena banyaknya misteri yang terjadi di dalam hidup gue, banyaknya hal yang tidak mampu gue duga. Itu membuat gue berinisiatif untuk menamai cafe ini dengan nama misteri. Di tambah, dengan coffe yang diracik dengan hal yang berbeda dan makanan yang terlihat sama seperti di tempat-tempat lain namun ketika dirasakan, rasanya sangat berbeda.”
Hilda kagum pada sahabatnya ini. Mereka kembali hanyut dengan cerita-cerita ketika mereka saling berjauhan. Stefani yang sangat penasaran dengan kisah Amiw dan Awel dengan betahnya mendengarkan cerita Hilda dan juga Silvi.

Komentar Buku (288)

  • avatar
    SuhaeniEni

    cerita nya bagus

    10d

      0
  • avatar
    SalsasabilahSalsa

    seruu bngettt 😭

    23/06

      0
  • avatar
    CmsTuser77

    sangat menarik

    06/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru