logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Terasa Asing

"Pa ...! Mama, udah dateng!" Pandangan Megan kini beralih pada sosok gadis yang dia taksir 1 tahun di bawah usianya.
Gadis yang berlari ke arah Nadine itu mendadak berhenti saat melihat Megan berdiri tak jauh dari Nadine.
"Eh," lirihnya bingung.
"Marsha, sini sayang. Kenalin, ini anak Mama, Kakak kamu, Megan." ujar Nadine antusias. Nadine lantas menggandeng Marsha mendekati Megan.
"Seneng deh, bisa ketemu sama kakak," Marsha tersenyum sumringah ke arah Megan yang hanya ditanggapi dengan satu senyuman tipis tanpa minat.
Satu kata yang Megan sematkan untuk Marsha saat melihatnya. Short dress di atas lutut dengan tali tipis di pundak. Bando berwarna pink yang dia kenakan. Gadis itu centil. Tipikal yang akan senang mengganggu ketenangannya, pikir Megan.
Selanjutnya, mereka bertiga berjalan masuk ke dalam rumah. Tak dipungkiri bahwa sesungguhnya, Megan merasa takjub dengan desain rumah bergaya Eropa ini. Interior dan berbagai fasilitas di dalamnya sangat menunjang tanpa mengurangi kesan elegan.
Tepat saat berada di ruang utama, mereka bertiga berhenti. Dua sosok laki-laki dengan generasi yang berbeda berjalan menghampiri. Sandiego Vederick. Dan juga Sakalingga, putera pertamanya. Lagi-lagi Megan tersenyum tanpa minat saat Sandiego menyapanya.
Berbeda dengan Ayahnya, Saka justeru menatap Megan dengan tatapan yang tak bisa diartikan saat menyapanya. Dari seluruh keluarga Vederick yang menyambut kedatangannya dengan hangat, tapi tidak dengan Saka.
Lelaki itu datar. Tidak dingin tidak juga bersahabat.
Cara Saka menatapnya, entah kenapa membuat Megan enggan menatap balas.
Megan terhenyak saat sudut matanya menangkap Saka, tersenyum kecut ke arahnya.
"Nah, Megan ... Kamu, nggak keberatan kan, sekamar dengan Marsha?" Megan menatap cepat ke arah Sandiego. Sebentar lalu segera membuang pandangan. Kepalanya mengangguk meski sebenarnya dia tak setuju.
Mau bagaimana lagi? tidak ada pilihan bukan? Megan sendiri tidak begitu minat dengan segala hal di rumah ini. Apapun yang akan dia terima nantinya, Megan tak peduli.
"Yeaayy! Asik dong, nanti kita bisa curhat-cuhatan, nonton bareng sebelum tidur, cerita-cerita. Ya kan, Kak," Megan tersenyum tipis saat Marsha memekik girang. Gadis itu melompat-lompat sambil menggoyang-goyang lengan Megan.
"Aku anter ke kamar kita yuk, Kak." sambungnya menyambut pergelangan Megan. Sedikit berlari menaiki tangga, menyisakan Ibu, Ayah dan, seorang putera yang menyaksikan mereka berlalu.
"Cepet banget mereka akrab ya, Ma," Nadine merapat, memeluk pinggang Sandiego. Nampak jelas gurat bahagia di wajah wanita itu. Wanita itu mengesah lega. Apa yang dia takutkan nyatanya tidak terjadi.
Ya. Nadine sempat khawatir jika putera dan puteri-puterinya canggung dalam berinteraksi. Ternyata dia salah. Marsha begitu antusias dengan keberadaan Megan.
Saka sendiri memilih beranjak. Kembali berkutat dengan aktifitasnya semula.
"Taraaaa, ini kamarnya. Disini tuh, nyaman banget deh, dijamin kakak pasti suka," Di dalam kamar yang cukup luas dengan dua buah ranjang tidur yang serba pink, Megan menelisik. Kalau boleh jujur, Megan tak begitu suka dengan warna pink. Diam-diam gadis itu berinisiatif mengganti sprei dan gorden di wilayah areanya.
"Ayok, masuk. Jangan bengong di depan pintu gitu." Marsha menarik pergelangan tangan Megan. Menuntunnya ke tepi ranjang miliknya, lalu merebahkan diri disana.
Megan bergeming. Sementara Marsha berbaring, Megan memilih menelusuri ruangan yang bisa dikatakan lebih luas 2 kali lipat dari kamarnya di rumah Mayang. Tujuannya terfokus pada pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.
Megan tercekat. Bagaimana mungkin ruangan itu bisa disebut kamar mandi? Tempatnya begitu rapi untuk disebut kamar mandi.
Membelesak masuk kesana, Megan menghampiri wastafel. Seketika alisnya bertaut mengernyit heran. Dimana pemutar krannya?
"Kalau mau nyalain kran, taruh aja tangan kakak di bawah krannya, itu otomatis!" Marsha mengomando dari luar kamar mandi. Pergerakan Megan yang hendak menyentuh kran diurungkannya. Dia sudah tak berminat. Rasa penasarannya sudah terjawab.
Beralihlah tatapannya pada sebuah tabung kecil penampung pasta gigi lengkap dengan formulanya. Menarik, pikirnya. Baru kali ini dia melihat formula yang seperti itu. Di desanya tinggal dengan Mayang, tak ada toko yang menjualnya.
"Disitu ada formula, aku punya banyak dan masih baru semua. Kakak, boleh pake yang kakak suka!" Lagi Marsha mengomando. Kembali hilang sudah rasa minatnya.
Sebenarnya banyak benda-benda yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Benda-benda yang menarik perhatiannya. Tak jadi menyentuh apapun, Megan memilih melenggang keluar. Kembali ke ranjang tidur yang sekarang mutlak menjadi miliknya.
Benar-benar nyaman. Entah memang ranjang kingsize yang dia tiduri atau karena dia lelah setelah perjalanan jauh, yang jelas Megan terbuai setelah merebahkan diri di ranjangnya. Baru saja memejam beberapa saat, dia kembali membuka mata saat mendengar pernyataan Marsha.
"Kalo kakak, butuh sesuatu bilang sama aku, ya," katanya. Megan berpikir sejenak. Lalu menoleh ke arah Marsha di seberang ranjangnya dengan tatapan datar.
"Ada sprei lain?"
"Sprei? Ada, sebentar aku cari." Marsha beranjak dari kasurnya. Membuka lemari dinding berwarna pink di sisi lain, lalu memilah isinya.
"Nih," Gadis itu mengacungkan sprei berwana pink dengan corak bunga sakura putih.
Megan menyengir.
"Yang lain?"
Marsha kembali memilah isi lemari bagian sprei, diambilnya salah satu sprei berwarna sama dengan corak yang berbeda. Kali ini Marsha berdiri di tempat, tak menghampiri Megan.
"Maksutku, warna yang lain?"
"Ooh ... Ada,"
"Ini?" lanjut Marsha. Dibentangkannya kain sprei berwarna biru langit dengan corak berawan disana.
Megan mengangguk. Itu belih baik, pikirnya.
"Euumm, gorden ada?" tanya Megan lagi. Kembali Marsha memilah isi lemari di bagian lain.
"Nih, kakak mau ganti sekarang?" tanya Marsha setelah memberikan gorden berwarna perak ditangannya. Sejenak Megan mengamati jendela yang berada tepat di samping ranjang tidurnya. Tinggi. Dirinya sudah pasti tak sampai.
"Nggak jadi," ujarnya kemudian. Megan menyodorkan kembali gorden ditangannya kepada Marsha. Dia akan berpikir lagi besok cara mengganti gorden tanpa harus meminta bantuan kepada orang-orang di rumah ini.
"Aku tau, kakak pasti bilang gitu. Yang bisa ganti gorden di kamar ini cuma Saka,"
Sekonyong-konyong Megan menatap Marsha seolah bertanya. Kenapa?
"Harus dia?" tanya Megan kemudian.
"Harusnya mang Darman bisa, tapi aku nggak suka orang lain masuk kamar aku. Papa, juga bisa sih, tapi Papa, nggak ada waktu ... Sibuk terus." pungkas Marsha. Gadis itu kembali ke ranjang tidurnya. Berbaring tengkurap.
Megan tertegun. Dia mengurungkan niatnya untuk mengganti gorden. Tak mungkin dia meminta bantuan kepada Saka yang ... Entahlah. Biarlah begitu saja, pikirnya.
----
Tepat pukul 07.15 malam saat Megan merasakan tubuhnya berguncang pelan. Gadis itu lalu menggeliat.
"Iya, iya, Uti ... Udah bangun, nih," Megan memang sudah duduk. Tapi matanya masih belum terbuka. Adalah ciri khas seorang Megan saat bangun dari tidurnya. Dia akan mengambil waktu sebentar untuk mengadaptasikan matanya dari cahaya sebelum terbuka.
"Hihihi, lucu ya, kalo bangun tidur," Marsha tergelak. Menatap geli ke arah Megan yang saat ini tengah membelalakkan mata lebar-lebar. Dia baru ingat, sore tadi dia tertidur saat memikirkan gorden.
Megan lupa bahwa dirinya tak lagi di rumah Mayang. Melainkan dia berada di rumah keluarga Nadine, Ibunya. Tapi entah mengapa dia merasa begitu asing. Dirinya tak merasa seperti bagian dari keluarga Ibunya, tapi lebih merasa seperti orang asing yang tengah menumpang di rumah orang lain.
Mengingat hal itu, Megan lantas menangkupkan kedua tangan di wajahnya. Rasanya Megan ingin menangis, tapi hatinya melarang. Tidak mungkin sekali dia menangis di depan Marsha. Terlebih gadis itu tengah tergelak menertawainya. Marsha tak tau bahwa Megan sedang dilanda perih.
"Semua orang udah ngumpul di ruang makan, mereka nungguin, kakak," sambung Marsha.
Gadis itu lantas berlalu setelah tak mendapat jawaban dari Megan. Marsha tak ambil pusing. Dia pikir, Megan tengah menghalau rasa pusing kepalanya.
Bulir bening yang sedari tertahan, kini berhasil lolos sepemergian Marsha. Megan menangis dalam diamnya.

Komentar Buku (84)

  • avatar
    MeilinaRadinka

    buku yang baik dan sangat mudah untuk dibaca sangat di mengerti

    18d

      0
  • avatar
    แย่มาก

    ihhh ceritaa nyaa baguss, sukaaaa🖤

    14/08

      0
  • avatar
    Fyra Azzahra

    Ceritanya sangat menarik dan bagus

    08/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru