logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

9. CINTA SEJATI.

Seminggu sebelum Ratna tahu bila Subiyanto merantau ke Jakarta. Subiyanto merantau ke
Jakarta dengan menumpang bus antar kota antar propinsi. Ia tiba di Terminal Kalideres dini hari.
Terminal Kalideres masih remang-remang kala Subiyanto menjejakkan kaki ke tanah dari bus antar
kota antar propinsi.Terminal itu sudah ramai dengan hilir-mudik bus yang datang atau pergi di
terminal yang berada di belahan barat Jakarta. Para calo memapak setiap penumpang yang turun
dari bus untuk menawarkan jasa bagi penumpang yang hanya transit di Kalideres. Tukang ojek juga
mendekat untuk menawarkan jasa antar bagi penumpang yang ingin menuju tempat tujuan yang tak
terlalu jauh dari Kalideres. Tak ketinggalan pedagang asongan menawarkan rokok dan segelas kopi
hangat.
Semakin benderang, semakin ramai terminal di pinggiran jalan Daan Mogot Jakarta itu.
Subiyanto sempat bingung kala turun dari Bus Sinar Mas yang membawanya ke Jakarta. Ia mencari
seseorang di antara sela-sela orang yang berkerumun menawarkan jasa pada setiap penumpang
yang turun dari bus. Semua tawaran jasa ditolaknya. Matanya mencari Sutoyo. Dua tukang ojek
membuntutinya sambil terus menawarkan jasanya. Walau dengan sopan ia menolak tawaran itu,
tukang ojek itu pantang menyerah untuk memperoleh rejeki dari Subiyanto.
“Biyanto! Biyanto! Biyanto!”suara lantang lelaki berbadan gempal yang berdiri di dekat tempat
tunggu penumpang ketika Subiyanto sibuk mencari Sutoyo.
Senyum Subiyanto pun mengembang kala melihat lelaki itu. Ia melihat Sutoyo yang menjemputnya.
“Lama aku menunggumu.” kataSutoyo.
“Iya nih tadi macet di Indramayu. Maaf kalau menyusahkan mu.” Balas Subiyanto.
“Tidak usah begitu! Kita kan teman seperjuangan sejak di pondok.“ sahut Sutoyo.
“Terima kasih sudah menjemput ku.” ujar Subiyanto.
“Ayo ke tempat ku!” ajak Sutoyo sambil menepuk bahu Subiyanto.
“Cepat sedikit supaya aku bisa sholat subuh.” Jawab Subiyanto.
Kedua warga Demak yang merantau ke Jakarta segera meninggalkan terminal Kalideres. Dengan
sepeda motor butut Sutoyo memboncengkan Subiyanto menuju tempat tinggalnya. Ia tinggal di
sebuah kantor yang dipergunakan sebagai kantor perwakilan dan garasi Bus Sinar Mas. Sutoyo
menghuni sebuah kamar berukuran 3 kali 3 meter yang terletak di bagian belakang bangunan kantor
Bus Sinar Mas. Ia bertugas sebagai tenaga kebersihan di tempat tersebut.
Usai sholat subuh, Sutoyo mempersilahkan Subiyanto beristirahat agar nanti segar kala
menghadap pimpinan kantor itu. Subiyanto pun merebahkan tubuhnya di kamar tanpa ranjang.
Tikar yang dialasi kardus dipergunakan sebagai alas tidur. Sedangkan Sutoyo sudah beraktifitas
dengan mengerjakan tugasnya sebagai tenaga kebersihan. Subiyanto tak dapat memejamkan mata.
Pikirannya jauh melayang ke Kalicilik. Ia teringat Subiarsih dan Ratna. Ia juga mengingat kembali
perjumpaannya dengan Sutoyo ketika berjalan sepulang sekolah.
“Biyanto!” teriak Sutoyo kala itu.
Subiyanto sudah tak berjumpa Sutoyo sejak dirinya meninggalkan Fathahillah. Sutoyo merantau ke
Jakarta ketika lulus dari Fathahillah. Lelaki yang berasal dari Cabean Demak menjadi teman karib di
Fathahillah. Subiyanto sempat tak mengenali Sutoyo karena Sutoyo menjadi gempal. Dulu ia terlihat
lebih kurus kala masih bersama di Fathahillah.
“Aku! Toyo!” kata Sutoyo ketika Subiyanto lambat merespon panggilannya.
Perjumpaan kembali itulah yang membuka jalan bagi Subiyanto untuk merantau ke Jakarta setelah
Sutoyo mengajaknya bekerja ke Jakarta. Kebetulan tempat kerjanya membutuhkan seorang tenaga
kebersihan lagi.
Dengan restu Subiarsih, Subiyanto memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah dan
merantau ke Jakarta.
“Sarapan!” sapa Sutoyo mengagetkan Subiyanto dari lamunan.
Sutoyo membawa dua bungkus lontong sayur yang dibelinya dari warung sebelah kantor Bus Sinar
Mas. Sepasang sobat karib itu bersantab bersama. Kebersamaan yang pernah terjadi di Fathahillah
kini terulang kembali di perantauan.
“Jam 9 nanti,ku antar menghadap bos.” kata Sutoyo.
“Terima kasih Yo. Kamu membantu ku.” balas Subiyanto.
“Sama-sama, dulu kamu juga sering membantu ku ketika masih di pondok.“ ucap Sutoyo.
Tepat pukul 9 pagi, Sutoyo membawa Subiyanto menghadap pimpinan kantor itu. Tanpa banyak
syarat, Subiyanto diterima menjadi tenaga kebersihan. Berbeda dengan Sutoyo, Subiyanto bertugas
membersihkan Bus Sinar Mas yang kembali ke garasi. Ia menyapu ruang penumpang dan
membersihkan bagian luar bus yang masuk garasi. Ia juga kadang membantu Sutoyo menjaga
kebersihan halaman garasi. Subiyanto bertekad mengumpulkan uang untuk memenuhi janjinya pada
Ratna. Ia bekerja dengan tekun dan tanpa keluhan dengan gaji yang pas-pasan. Ia menghemat
sedemikian rupa hingga sedikit demi sedikit, ia berhasil mengumpulkan uang.
Suatu ketika, ia sedang diperintahkan kepala kantor untuk membeli makanan di warung
yang terletak di samping garasi Bus Sinar Mas. Jalan kecil yang berhimpitan dengan pagar samping
kanan garasi Bus Sinar Mas memang dipenuhi beberapa warung makanan, bengkel, dan tukang sol
sepatu. Jalan itu menjadi tempat mengais rejeki dari para pendatang. Subiyanto sedang duduk di
bangku luar warung sate ayam untuk menunggu pesanannya. Tiba-tiba dari arah luar gang datang
sekitar 25 orang dengan pentungan. Mereka merusak warung yang di ujung jalan kecil itu sambil
berteriak-teriak meminta jatah keamanan. Seorang pemilik warung sempat menerima hantaman
pentungan
yang dibawa massa itu. Subiyanto segera bangkit dari duduknya.
“Bang! Jangan merusak warung di sini!” katanya pada salah seorang massa yang paling depan.
“Lu sok jago ya!” balas orang itu sambil mengayunkan pentungannya pada Subiyanto.
Dengan gerak refleknya, Subiyanto menghindar dari sabetan pentungan itu. Lalu dengan cepat
meninju wajah orang tersebut. Pukulan tersebut berakibat hidung patah dan darah mengucur.
Rekan-rekannya segera mengepung Subiyanto. Lima orang menyerang Subiyanto. Namun Subiyanto
dengan mudah mematahkan serangan lima orang itu. Dengan pencak silat, dia merobohkan kelima
orang itu. Perkelahian itu menarik perhatian teman-teman Subiyanto yang sedang bekerja di kantor.
Mereka menonton aksi Subiyanto dalam membela para pemilik warung dari dalam halaman kantor
Bus Sinar Mas.
Subiyanto berdiri dengan gagah di tengah jalan kecil itu, menunggu serangan. Melihat enam
orang berhasil dirobohkan, pimpinan massa itu memerintahkan rekan-rekannya untuk mengeroyok
Subiyanto. Lebih dari 10 orang berlari ke arah Subiyanto.
Sakaratul maut segera dilafalkan, “Subhanallah alhamdulillah walalillah hailallah.”
Subiyanto melesatkan pukulan. Hanya dalam hitungan detik, para penyerang yang masih berjarak 7
meter dari tempat Subiyanto berdiri, terjengkang ke belakang dan menggeliat kesakitan sambil
memegang dadanya. Semua pentungan terlepas dari genggaman.
“Kamu! Lawan aku!” tunjuk Subiyanto pada pimpinan massa itu.
Sisa anak buah segera memandang pada pimpinannya. Mereka menunggu reaksi sang pimpinan.
Walau nyali menciut setelah melihat aksi Subiyanto, ia tetap mendekati Subiyanto. Ia mencabut
golok yang terselip di pinggangnya. Dengan tak beraturan dia membabatkan golok itu pada
Subiyanto. Ruang kosong menjadi tempat sabetan golok itu. Subiyanto menghindar dengan cepat
dan mudah. Ia mampu membaca arah sabetan golok itu. Merasa dipermainkan lawan dan untuk
menghilangkan rasa malu di hadapan anak buahnya, ia makin membabi-buta. Ia tak menyadari bila
dirinya bukan lawan seimbang bagi Subiyanto. Ia harusnya sadar bila sabetan golok yang menerpa
ruang kosong pertanda bila lawan memiliki kemampuan lebih darinya.
“Kamu mengaku kalah atau ingin senasib dengan mereka?” kata Subiyanto memperingatkan sambil
menghindari sabetan golok itu.
Tak ada jawaban terucap. Ia terus menyabet dengan tenaga yang makin lemah karena stamina
terkuras. Tak lama golok dalam genggaman terlepas. Darah mengalir dari bibirnya. Telapak tangan
Subiyanto menempel di dadanya. Dengan mata berkedip, ia berdiri mematung. Hantaman Sakaratul
maut menerpa dadanya.
“Kamu beruntung masih hidup, hanya 50% tenaga pukulan ini. Ingat! Jangan pernah lagi
mengganggu semua warung di sini! Jangan pernah membawa siapa saja ke mari.Kalau kamu
mengabaikan peringatan ini, maut akan menjemput mu!” kata Subiyanto sambil mendekatkan
wajahnya ke wajah orang itu.
Orang itu hanya mengangguk lalu berlalu dari tempat itu dengan dipapah dua orang anak buahnya.
Para pemilik warung menarik nafas lega lalu satu demi satu memberi salam pada Subiyanto.
“Bang mana satenya?” tanya Subiyanto pada penjual sate ayam.
Subiyanto segera menerima pesanannya. Penjual sate tak mau menerima pembayaran pesanan itu,
ia memberikannya pada Subiyanto.
Sejak peristiwa itu, Subiyanto diangkat para pemilik warung sebagai tenaga keamanan dan
selalu mendapat makanan tanpa bayar dari warung-warung tersebut. Tak seorang preman pun yang
berani datang lagi. Setiap pengganggu yang mencoba untuk mengusik, selalu dapat ditangkal
Subiyanto dengan mudah. Dengan gaji dari kantor Bus Sinar Mas dan uang keamanan dari para
pemilik warung, tabungan Subiyanto meningkat dengan cepat. Aksi Subiyanto itu juga mengubah
hidupnya. Ia tak lagi bekerja sebagai tenaga kebersihan. Pimpinan kantor yang juga melihat peristiwa
itu, mengangkatnya sebagai pengawal uang setoran dari agen-agen Bus Sinar Mas dan setoran dari
kantor ini ke kantor pusat.
Penampilan Subiyanto pun berubah. Ia bersepatu dan berpakaian rapi. Sapu, kain lap dan
ember tak lagi jadi alat kerjanya. Sepucuk pistol berada dalam genggaman kala mengawal uang
setoran. Gajinya pun meningkat tajam. Ia bisa menabung dan mengirim uang ke Kalicilik untuk
membantu ibu dalam menghidupi keluarga. Subiyanto berhasil di perantauan. Namun kerendahan
hatinya tetap hidup. Ia tetap memilih tinggal dengan Sutoyo dan bergaul erat dengan semua
pegawai meskipun semua orang mengetahui keistimewaannya. Hal itu membuat Subiyanto disukai
banyak orang di tempat kerjanya. Kesolehan, ketekunan, dan kebaikan tetap hidup dalam dirinya
walau perubahan hidup terjadi. Ia tetap menjalankan sholat dan tahajud dengan konsisten.
Terkadang, ia mengaji dengan melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ketekunannya dalam bekerja
juga tak dapat ditutupi. Kedisiplinannya yang terlatih membuat semua tugas dapat dilaksanakan
dengan konsisten. Kesigapan dalam mengawal uang setoran membuat pimpinan perusahaan
menyukainya. Apalagi Subiyanto juga ringan tangan dalam membantu siapa saja yang
membutuhkan. Tak segan membantu rekan kerja yang lain kala ia tak mengerjakan tugas apa pun. Ia
berharap idul fitri nanti akan pulang ke Kalicilik dengan membawa uang sebagai mas kawin bagi
Ratna. Ia tetap menjaga cinta sejatinya.

Komentar Buku (273)

  • avatar
    Udinsarmi

    99+

    21/08

      0
  • avatar
    GustolibIlham

    keren bisa jadi dana

    14/08

      0
  • avatar
    AlfariziMuhammad

    sangat bagus

    02/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru