logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 39 Lamaran

Radit menggosok tangan karena gugup. Sementara itu kedua orang tuanya malah tersenyum geli. Hari ini mereka akan melamar Riri, berdasarkan musyawarah kedua belah pihak. Acaranya tidak formal, hanya pertemuan dua keluarga inti. Nanti jika mereka mencapai kesepakatan, baru akan diadakan acara pertunangan yang melibatkan keluarga besar.
"Ayo pencet belnya. Masa' gitu aja takut," ucap papanya.
Radit menarik napas panjang untuk mengurangi rasa gelisah. Lelaki itu menatap mamanya berulang kali untuk meminta kekuatan.
"Anak mama ini. Ngobatin gigi yang parah aja berani, masa mau ke rumah calon mertua takut," ledek mamanya.
Radit kembali hendak menekan bel ketika tiba-tiba saja pintu rumah terbuka. Hal itu membuatnya terkejut dan hampir berteriak. Sosok Riri yang berbalut gamis muncul menyambutnya.
"Eh, calon istri," ucapnya spontan.
Semua orang tergelak mendengar ucapannya. Lalu, Radit langsung membuang pandangan dengan wajah merona.
"Om, Tante. Silakan masuk. Bapak sama Ibu udah nungguin."
Riri membuka pintu lebih lebar, lalu mencium tangan kedua orang tua Radit dengan sopan. Lelaki itu bahkan menggoda sang kekasih dengan mengulurkan tangan, yang kemudian ditolak karena dia merasa malu.
"Calon suami gak ditawarin masuk?" goda Radit lagi.
Kali ini wajah Riri yang merona. Secara refleks gadis itu menepuk pundak sang kekasih karena gemas. Radit membalasnya dengan cubitan di pinggang kekasihnya.
"Eh, belum halal, gak noleh pegang-pegang dulu," ucap mamanya sembari memisahkan mereka.
"Makanya cepat dihalalin, Ma. Kayaknya anakmu ini udah gak tahan," goda papanya Radit. Pantas saja lelaki itu suka iseng, ternyata orang tuanya juga sama.
Riri memberikan jalan untuk masuk dan mempersilakan mereka duduk di sofa. Gadis itu membuka tutup sajian di meja. Beraneka kue dan cemilan tersaji, juga satu teko teh yang masih mengebul panas.
"Dimakan dulu, ya. Bapak masih di dalam," ucap Riri sopan.
"Iya, Nak Riri. Kami santai aja, kok," ucap mamanya Radit sembari menikmati sajian.
"Saya permisi dulu."
Riri berjalan ke belakang untuk memanggil ibunya. Tak lama, dua wanita itu bergegas keluar agar para tamu tak menunggu lama.
"Eh, Nak Radit sudah datang."
Ibunya Riri menyalami mereka satu per satu. Lalu, mereka berbincang sembari berkenalan. Suasana yang agak canggung mulai mencair karena papanya Radit suka bercanda. Gelak tawa terdengar di rumah itu.
Riri memilih untuk kembali ke dalam karena sejak tadi Radit menatapnya dengan tak berkedip. Wajahnya yang memakai hijab terlihat berbeda. Gadis itu tampak lebih ayu dan keibuan. Itu membuat sang kekasih berdebar-debar tak karuan.
Sejenak Radit lupa akan cinta masa lalu yang pernah dia pendam begitu mendalam. Benar kata orang, obat patah hati hanya satu, yaitu jatuh cinta lagi.
Mereka masih asyik berbincang ketika ayahnya Riri datang. Perbincangan pun berlanjut hingga memakan waktu yang cukup lama. keluarga Riri tentunya menyambut Radit dengan tangan terbuka. Selain profesi lelaki itu yang sudah mapan, sikapnya yang sopan dan baik membuat hati keluarga gadis itu luluh.
"Gimana kalau kita makan siang dulu. Nanti baru bicara yang lain," tawar ibunya Riri ketika tak terasa waktu berlalu.
Akhirnya, semua orang menuju ke ruang makan. Radit memilih untuk duduk di sebelah sang kekasih karena masih takjub dengan penampilan gadis itu yang berbeda. Begitu tutup sajian dibuka, menguar aroma masakan yang menggugah selera.
"Ini Riri yang masak. Sekalian belajar kalau udah jadi istri nanti," kata ibunya sembari menyodorkan lauk ke hadapan keluarga Radit.
"Wah enak, dong," ucap Radit sembari melirik sang kekasih. Matanya sejak tadi tak lepas dari wajah cantik itu.
"Cobain dulu. Belum tentu enak," jawab Riri sungkan.
"Radit ini gak pilih-pilih makanan, Ri. Kalau di rumah sakit apa aja dilahap. Apalagi habis periksa pasien banyak," jelas mamanya.
"Ayo, dicobain."
Mereka mulai menikmati hidangan. Ayam goreng dan ikan bakar mulai berpindah ke piring masing-masing. Semua makan dengan lahap karena rasa cukup enak. Bahkan Radit tak sungkan menambah dan memuji masakan sang kekasih. Jika sudah begini, rasanya dia ingin mempercepat pernikahan.
Hingga satu jam ke depan, hampir semua sajian habis tak bersisa. Hanya masih ada beberapa potong ayam. Sedangkan ikan sudah ludes semua.
Setelah Riri dan ibunya membersihkan piring kotor, mereka kembali ke ruang tamu. Kini tiba saatnya keluarga Radit mengutarakan maksud kedatangan mereka.
"Bapak dan Ibunya Riri. Kami sekeluarga datang ke sini dengan niat baik. Selain ingin berkenalan dan mengakrabkan diri, juga ada sesuatu yang sangat penting bagi kedua anak kita," ucap papanya Radit memulai pembicaraan.
"Anak-anak kita sudah dewasa dan saling mencintai. Kita sebagai orang tua baiknya mendukung niat baik mereka untuk berumah tangga."
Suasana hening karena tak ada satupun yang menyela ucapan papanya Radit. Mereka dengan sabar menunggu hingga pembicaraan itu selesai.
"Maka dari itu, kami ingin melamar Nak Riri sebagai calon istri dari putra kami, Radit. Untuk membina keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah. Juga menyempurnakan separuh agama."
"Alhamdulillah." Itulah yang ayahnya Riri ucapkan.
Suasana kembali hening karena keluarga Riri memberikan jeda.
"Papa dan Mamanya Radit. Kami sekeluarga menyambut kedatangan ini dengan penuh suka cita. Saya sendiri sebagai ayah, tentunya senang jika ada yang berniat serius dengan putri kami," jawabnya.
"Alhamdulillah."
Kali ini Radit yang mengucapkannya. Itu membuat Riri mengulum senyum lalu kembali menunduk. Entah mengapa malam ini gadis itu benar-benar salah tingkah. Perasaannya bercampur aduk dan tak menentu. Senang dan haru berbaur menjadi satu hingga dia ingin menangis karena luapan bahagia.
"Tapi--" Ayahnya Riri sengaja menggantung ucapan.
"Tapi?" tanya Radit dengan wajah kebingungan.
"Kita tanya lagi sama anaknya dulu. Untuk memastikan."
Radit mengusap dada karena lega. Tadinya dia berpikir jika orang tua Riri tidak setuju.
"Bagaimana, Nak Riri? Apakah menerima lamaran dari Radit?" tanya papanya.
Riri menatap sang kekasih dengan lekat. Pandangan mata mereka bertautan. Radit memberikan kode agar gadis itu segera menjawab.
"Saya--"
"Kenapa, Ri? Apa kamu ragu?" tanya Radit kecewa.
"Ya sabar dong, Nak. Riri belum selesai bicara," tegur mamanya memotong pembicaraan.
"Ya kali aja dia gak mau," sungut Radit.
Melihat tingkah Radit, tawa menggema di ruangan itu. Riri bahkan terdiam melihat sikap kekasihnya. Sementara itu, kedua ibu saling berbisik sembari menahan senyum.
"Kita diam dulu. Kita dengarkan jawaban dari Nak Riri," ucap papanya bijak.
Semua mata kini tertuju kepada Riri. Gadis itu balas menatap satu per satu, hingga berhenti pasa sosok itu. Radit yang terlihat cukup menawan. Lelaki itu memakai kemeja batik berwarna biru yang senada dengan gamisnya. Apalagi dia baru bercukur sehingga terlihat rapi dan bersih. 
Ada masa depan yang lelaki itu tawarkan kepadanya. Riri tahu, membina rumah tangga tak semudah yang diimpikan semua wanita. Akan ada cobaan yang datang menerpa. Ujian yang kelak akan memperkokoh ikan cinta mereka.
Sempat ada rasa takut dalam hatinya untuk melangkah. Apalagi Radit pernah sangat mencintai sahabatnya, sekalipun Dara sudah menikah. Namun, ketika terbangun di malam hari dan melakukan salat istikarah, gadis itu mendapatkan keyakinan untuk menerimanya.
"Saya ... menerima lamaran Mas Radit. Dan juga bersedia menjadi istrinya," jawab gadis itu tenang.
"Alhamdulillah."
Semua orang serentak mengucap syukur. Radit bahkan memeluk papanya dengan haru. Mereka kembali berbincang hingga tiba waktunya pulang.

Komentar Buku (786)

  • avatar
    saputraIndri

    baguusss..baguuusss..baaguusss bgt ceritanya, aku sudah hampir baca semua novelnya 👍👍 semangat terus yaa Thor 💪💪

    27/06/2022

      3
  • avatar
    CanzsNia

    bagus

    17d

      0
  • avatar
    WafaUmmu

    thankyou

    24d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru