logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Dia Menyebalkan!

Saat sesuatu terasa jatuh di kepala, cairan hangat perlahan merembes helaian rambut dan menyentuh kulit kepala Liana.
"A-apa yang jatuh di kepalaku?" Liana terkejut takut, ia pikir yang hinggap di atas kepalanya adalah tikus, cicak, atau yang sejenisnya, dirinya langsung diam membeku masih mengepal pakaian Barra.
"Ups, itu semua salahmu, Daddy tidak sengaja." Barra kembali menyendoki makanan yang jatuh di atas kepala Liana itu, kemudian ia melemparnya tepat sasaran ke dalam tong sampah yang ada di ujung sana.
Barra pun meninggalkan Liana dan duduk di meja makan, sementara Liana melirik ke atas langit-langit mencari jejak makhluk hidup di atas sana. Liana pun menyentuh pucuk kepalanya, basah, dan membuat dirinya merasa jijik. Tapi karena sudah menempel di jari ia pun memberanikan diri untuk menciumnya, memastikan apakah gerangan yang basah itu.
Taik kah?
Saat dicium, bau rempah dan kaldu masuk ke dalam lubang hidungnya. Liana tersadar bahwa itu adalah masakannya sendiri. Rupanya Barra menjatuhkan makanan yang ada di sendoknya tadi ke kepala Liana. Liana amat sangat kesal, sudah malam begini ia harus pergi mencuci kepalanya. PA MA LI! Keramas malam hari bisa memunculkan arwah di kamar mandi!
"Daddy!" Pekik Liana langsung mengambil panci yang tergantung dan membawanya ke arah meja makan. Ingin sekali ia mengelus wajah perjaka yang menyebalkan ini dengan panci itu, namun dengan kecepatan yang sangat tinggi.
"Eh? Apa? Kau mau menyuruh Daddy masak?" Tanya Barra melihat panci di tangan Liana.
"Aku marah, Daddy tak lihat wajahku yang sangar ini?!" Ucap Liana berkacak pinggang.
"Oh? Bukankah itu sudah telat?" Barra pikir, Liana telat respons atau memang otaknya loading. Melihat panci di tangannya, Barra mengerti bahwa itu adalah senjata milik Liana.
"Jadi kau marah ya? Gadis pendek sepertimu terlihat lucu ya saat marah, Daddy jadi tidak mengetahui kalau kau sedang marah." Rayu Barra berharap Liana tidak memukulnya dengan panci itu.
Liana langsung terlihat bersedekap memalingkan wajahnya, ia kesal disebut pendek, em ya tapi itu memang nyata. Tapi ia senang disebut lucu, si pendek itu pun kemudian berbalik berjalan dengan langkah yang sangat kesal.
"Tuh kan, cara berjalan nya pun terlihat menggelikan ha ha ha..." Lanjut Barra tertawa terpingkal-pingkal membuat Liana berbalik ke arahnya dengan memperlihatkan pantat panci yang dipegangnya.
"Ampun, ampun!"
Kali ini Barra diam menunggu masakan Liana selesai. Barra makan duluan sementara Liana terpaksa mandi karena memang sudah bau seharian belum mandi, ia berganti pakaian dengan pakaian milik Melani yang kebesaran.
Masih pukul 9 dan keduanya kini berada di atas ranjang, berselubung selimut hingga menyisakan dua buah bola kepala saja.
Tidak ada yang spesial ternyata, Liana dan Barra tidur dengan sekat 2 buah guling. Liana hanya deg-degan saja karena saat ini posisi Barra tengah mengahadap ke arahnya. Liana menatap langit-langit, berusaha tenang karena orang yang menganggapnya anak tak mungkin berbuat macam-macam kepadanya.
Dalam diamnya Liana berpikir, betapa konyolnya ia saat bangun di rumah sakit tadi. Dirinya langsung minta dinikahi oleh pria yang kini berada di sisinya ini. Mungkin hal itu ia lakukan karena masih khawatir dikejar duda, ahh tapi sekarang Liana sudah aman, ia pasti tak akan bertemu si duda itu lagi.
Hmm, tapi pria ini sempat merespons permintaannya waktu di rumah sakit walau hanya dijawab bercanda. Apakah Liana harus coba bertanya lagi?
"Ana, kau yakin akan tetap tinggal di sini? Apa kau tidak mengkhawatirkan orang tua mu yang pasti tengah sibuk mencari mu?" Tanya Barra membuyarkan keinginan Liana untuk bertanya.
"Untuk apa mengkhawatirkan mereka yang mereka sendiri saja tidak mengkhawatirkan perasaanku? Pokoknya aku tidak mau menikah dengan duda."
Kali ini Liana tidak memekik, ia tahu di ruang sana ada Ken yang tengah tertidur. Tapi ia berharap dengan ucapannya itu Barra peka dan mengingat kembali permintaan konyol Liana sewaktu di rumah sakit.
"Hoamm, kalau begitu selamat tidur. Daddy ngantuk sekali."
Barra menguap, ia langsung memejamkan matanya tanpa berkata lagi. Seakan melupakan kejadian di rumah sakit, tapi tak apa lah, Liana hanya kecewa karena Barra tidak memberi kecupan kepadanya. Ken saja yang sedang tertidur tadi mendapat kecupan, tapi Liana tidak. Walau mungkin hanya kecupan ayah kepada anak, tapi Liana ingin juga merasakannya. Ah sudahlah, mungkin karena Liana sudah besar jadi ia tak dapat kecupan malam.
Setelah dirasa roh pria ini sudah berkelana, Liana menghadapkan badan ke arahnya. Ditatapnya wajah yang sempurna itu, walupun sedang tidur tapi tampannya tetap tidak kendur.
***
Pukul 2 dini hari samar-samar terdengar suara rengekan, Liana terbangun dan segera menghampiri tuyul di ranjang bayi. Ken menangis, ia segera menggendongnya membawanya keluar agar tidak mengganggu ketentraman jasadnya Barra.
Tak dirasa sudah pukul setengah 4 dan Liana mengangut di atas sofa. Kembali Liana masuk ke dalam kamar, menidurkan si tuyul di dalam box nya. Kemudian ia segera beberes, mandi, dan bahkan menyiapkan sarapan pula.
"Sudah bangun sedari pagi?" Barra keluar dengan wajah suntuknya di pukul 6. Ia melihat makanan di atas meja.
"Iya Dad, Melani tak akan pulang?" Tanya Liana yang tengah mencuci piring.
"Agak siang mungkin. Anak itu pasti akan lebih santai karena tahu sudah ada kamu."
Barra langsung berpikiran buruk kalau soal Melani. Ia melenggang pergi membersihkan dirinya. Kemudian ia duduk sarapan bersama Liana yang sudah menunggu di meja makan.

Komentar Buku (123)

  • avatar
    Yunitafr

    500

    19d

      0
  • avatar
    Samil edrosSamil edros

    aku suka ini

    12/08

      0
  • avatar
    ZulchiarNiro

    sangat senang

    06/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru