logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

MPH, 6

Malam hari.
Kevin dan Zea duduk bersandar di kepala kasur. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.
"Sayang, kamu bilang kemarin akan lanjut mengobrol-ngobrol tentang masa lalu kita?" bujuk Zea.
"Ya, baiklah. Mau cerita tentang apa?"
"Lanjut yang terpotong cerita kemarin saja."
"Baiklah, Tuan Putri."
***
Kevin duduk di sofa ruang tamu sambil meremas-remas jemarinya gugup, menunggu Tante Dewi memanggil putrinya turun. Kebetulan, Om Arya sedang bekerja, jadi tidak ada orang yang akan menginterogasinya.
Sikap Zea yang seakan tiba-tiba menjauhinya, lebih menakutkan ketimbang harus menghadapi ayah gadis itu. Sejak dia mengenal Zea, Kevin sangat takut kehilangannya.
Zea datang menghampiri Kevin. "Ada apa, Kevin?"
Kevin langsung menoleh ke pemilik suara. Senyumannya langsung mengembang sempurna.
"Hai, Zea." Kevin bangkit berdiri. "Bagaimana kabarmu?"
Zea tersenyum seadanya. "Baik. Kamu?"
"A-aku baik juga."
Zea duduk di seberang Kevin, demikian Kevin pun kembali duduk.
"Ada apa kamu datang ke sini, Kev?"
"Hm… itu," Kevin memainkan jemarinya gugup. "Ngomong-ngomong, apa hari ini kamu sibuk?" tanya Kevin gugup.
"Tidak terlalu, kenapa?"
"Apa kamu mau jalan-jalan bersamaku?" ajak Kevin penuh harap.
Jantung Zea langsung berdegup kencang. "Tapi ayahku sedang tidak ada di rumah, Kev. Aku harus minta izin secara langsung kalau mau pergi keluar, apalagi bareng teman."
"Papa kamu masih lama pulangnya?"
Zea melihat jam dinding. Jam masih menunjukkan pukul 15.30 sore.
"Ayahku pulang jam tujuh malam. Sepertinya dia nggak mungkin izinkan kita pergi, Kev," jelas Zea sedih.
Kevin sedikit kecewa, tetapi berusaha menyembunyikannya. "Begitu, ya. Aku mengerti, kok."
"Nggak apa-apa, Sayang. Kamu pergi saja dengan Kevin. Nanti biar Ibu saja yang laporan sama Papa." Dewi tersenyum menghampiri mereka sambil membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk.
"Nggak, Bu. Aku nggak mau nanti Ibu dan Ayah bertengkar lagi gara-gara aku," tolak Zea sedih.
Dewi memindahkan satu gelas di hadapan Kevin dan satu lagi untuk putrinya. "Silakan diminum, Nak," tawar Dewi pada Kevin.
"Te-terima kasih banyak, Tante. Maaf, jadi merepotkan." Kevin tersenyum tak enak.
"Tidak merepotkan sama sekali, kok." Dewi terkekeh, khas seorang ibu.
Hati Kevin seketika tenang melihat senyum wanita itu. Mungkin, inilah rasanya memiliki seorang ibu yang baik dan perhatian. Zea sangat beruntung mempunyai orang tua seperti Om Arya dan Tante Dewi.
"Jadi, bagaimana? Kamu jadi pergi, kan?" tanya Dewi pada Zea.
"Tapi, Bu—"
"Sudah, Sayang, pergi saja. Biar Ibu nanti yang memberi tahu Ayahmu. Semuanya akan baik-baik saja, percaya sama Ibu." Dewi tersenyum lembut, meyakinkan.
"Kalau Ibu dimarahi Ayah, bagaimana?"
"Ibu jamin, dia tidak akan memarahi kamu, Ibu, bahkan Kevin. Sekarang, bersiap-siaplah, yang penting jangan pulang terlalu malam."
Zea mengangguk antusias. "Baiklah, Bu. Aku ke kamar dulu, ya."
***
Kevin dan Zea memutuskan berjalan-jalan mengitari taman yang ramai, dipenuhi oleh para remaja, anak-anak, bahkan orangtua. Banyak pedagang-pedagang yang menjual beraneka makanan. Mulai makanan ringan sampai berat.
"Kamu capek, ya?" Kevin terkekeh kecil.
Zea mengangguk malu-malu. "Kita duduk dulu, yuk,"
Kevin menemukan sebuah bangku panjang di tepi taman, yang langsung menghadap pada kerumunan anak kecil yang sedang asyik berlari-larian menggunakan sepatu roda. Mereka duduk di situ.
"Kamu pasti haus, kan? Aku belikan minum dulu sebentar, ya."
Zea mengangguk sambil tersenyum. Terdapat sebuah warung kecil yang lokasinya tak jauh dari mereka. Kevin singgah di warung itu sejenak untuk membeli dua minuman dingin serta beberapa makanan ringan.
Tanpa sadar Zea tersenyum memandangi Kevin dari jauh. Kevin benar-benar sempurna di mata Zea. Baik, perhatian, bertanggung jawab dan pemberani. Siapa yang tidak akan meleleh jika dekat dengan pria seperti itu?
"Ini buat kamu, Zea." Kevin tersenyum sambil memberikan satu botol minuman pada Zea.
Zea tersentak kaget. Lamunannya seketika buyar. Kevin sudah berdiri di hadapannya.
"Te-terima kasih." Dengan gugup, Zea segera menerima minuman itu.
Kevin duduk di samping Zea. "Kamu kenapa melamun? Pasti lagi memikirkan aku, ya?" canda Kevin.
"Ka-kamu kege-eran banget, sih," ejek Zea malu. Padahal, sebenarnya "iya".
"Maaf, aku cuma bercanda. Jangan dimasukan dalam hati, ya," Kevin tetap terkekeh kecil.
"Santai saja. Aku tahu, kok."
Keduanya menikmati minuman masing-masing sambil memandang anak-anak yang asyik bermain. Teriakan kesenangan bocah-bocah itu menambah keramaian di taman.
"Pasti mereka senang sekali." Kevin tersenyum miris.
Zea menoleh ketika Kevin bergumam sendiri. Meskipun dari samping, Zea bisa melihat jelas kesedihan di wajah pria itu.
Zea menggenggam tangan Kevin, memberikan semangat. "Kev … pasti kamu sedih melihat mereka bisa bermain dengan orang tua mereka?"
Kevin menggeleng sambil tersenyum, berusaha menyangkal. "Nggak, kok. Aku ikut senang ketika mereka bisa bahagia bersama keluarganya," ungkapnya jujur, meskipun lebih dominan rasa sedih. Sebab, dia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama seperti mereka.
"Kamu tidak perlu bersedih. Semua orang sudah ditentukan kebahagiaannya dengan cara masing-masing dan berbeda." Zea tersenyum penuh arti.
Kalimat Zea mampu membangkitkan kembali semangat hidup yang sempat meredup. Kevin menatap gadis itu. "Terima kasih, ya. Aku sangat beruntung dipertemukan dengan gadis sepertimu. Benar katamu, kamu adalah salah satu kebahagiaanku."
Pipi Zea seketika memerah. Bisa-bisanya Kevin mengucapkan kalimat romantis seperti itu secara gamblang.
"Kamu apa-apaan, sih. Nggak usah ngombal," ejek Zea sok tidak baper.
"Memangnya mengungkapkan isi hati merupakan gombal, ya?" tanya Kevin polos.
Zea menunduk malu sambil senyum-senyum sendiri. Apakah Kevin juga menyukainya, seperti dia menyukainya?
"Entahlah." Zea bergidik bahu. "Kalau boleh jujur, aku juga beruntung dipertemukan dengan pria sepertimu," ungkap Zea malu-malu, tidak berani menatap mata Kevin.
Hati Kevin langsung berbunga-bunga karena pengakuan Zea. "Kamu bilang apa tadi? Coba ulangi. Aku tidak kedengaran?" goda Kevin berlagak tuli. Ia mencondongkan dirinya dekat pada Zea.
"Ish, kamu menyebalkan sekali, sih!" Zea mengembungkan pipinya, sok kesal.
"Maafkan aku. Aku tadi cuma bercanda, kok. Maaf …," pinta Kevin menyesal.
Zea tertawa lepas. "Kamu lucu banget, sih. Mudah banget dikerjain," godanya.
Kevin terkekeh. Zea benar-benar menggemaskan.
Zea dan Kevin kembali memandangi anak-anak kecil yang sedang bermain-main di taman.
"Aku senang sekali berada di sini," gumam Zea tersenyum bahagia tanpa sadar. "Karena bisa melihat anak-anak bermain sambil tertawa lepas seperti ini."
Kevin tersenyum, diam-diam menikmati senyuman manis gadis cantik itu.
"Kalau kamu suka, aku janji akan sering-sering mengajakmu jalan-jalan seperti ini."
"Janji?" sela Zea tersenyum semringah.
Kevin mengangguk antusias. "Ya, aku janji."
Zea tersenyum bahagia. "Makasih banyak, ya."
"Sepertinya kamu suka anak kecil, ya?" tebak Kevin.
Zea mengangguk antusias. "Iya. Aku senang sekali dengan tingkah polos mereka."
"Kalau begitu … apa kamu mau pergi mengunjungi panti asuhan, tempat aku tinggal dulu?" ajak Kevin penuh harap.
***
Tbc

Komentar Buku (32)

  • avatar
    PutriAmelia

    sangat bagus

    08/08

      0
  • avatar
    IrawanFahri

    bagus

    20/06

      1
  • avatar
    KhusnulDinda

    bagus baget

    07/06

      1
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru