logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Bukan Aku!

Setelah tiga hari masa skorsing, Ara berhasil mengelabui Mira, mamanya. Ia ke rumah Bu Atik dari pagi hingga siang. Memakai seragam layaknya ingin bersekolah, Ara membawa baju ganti dan membantu Bu Atik menyelesaikan tugas rumah. Lumayan, skorsing tiga harinya tak sia-sia. Ia mendapat gaji dari pekerjaannya.
Gadis itu berangkat sekolah ketika jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia mengayuh sepedanya sangat kencang karena takut terlambat. Ah, sial! Gerbang sudah ditutup. Dengan napas yang masih tersengal, dia menunduk pasrah. Sia-sia mengejar waktu, tapi akhirnya terlambat juga.
“Pakde, buka aja gerbangnya. Lagi pula belum lonceng masuk,” kata seseorang yang tak asing di telinga Ara. Gadis itu mengusap keringat di keningnya. Ia berbalik badan dan mendapati sosok yang telah membuat dia jatuh dalam masalah.
“Tapi, dia terlambat. Ini udah masuk jam berdo’a bersama,” jawab Pakde Wahyu, penjaga gerbang sekaligus satpam di sekolah Ara. Belum menyerah, lelaki berjaket hitam itu menghampiri Pakde.
“Masih jam do’a, ‘kan? Berarti belum masuk jam belajar,” ujar lelaki itu sambil mengedipkan sebelah matanya. “Satu siswa aja, Pak.”
“Ya sudah, iya. Jangan diulangi lagi, Neng. Untung ada Raka, kalau nggak ...,” kata Pakde menasihati Ara. Gadis itu mengangguk kecil sambil tersenyum, bahagia tentunya.
“Eitsss … nggak perlu terima kasih sama gue,” celetuk Raka tiba-tiba. Sambil memasukkan kedua tangannya di saku jaket, ia menatap gadis itu sangat lama. Tentu saja Ara merasa kikuk dan malu. Namun, rasa jengkelnya tentang rokok itu masih ia ingat.
“Anggap aja sebagai permintaan maaf gue ke lu waktu itu. Kita impas,” lanjutnya.
Ara tentu peka apa yang dimaksud pemuda itu. Sejenak ia berpikir bahwa Raka adalah lelaki yang tak bertanggung jawab. Sikap bodo amat dan cuek yang selama ini ia perlihatkan, jauh di dalam hatinya tulus juga ternyata. Ara cepat tersadar dari lamunan ketika ia menyadari botol minumnya diambil Raka.
“Raka! Botolku!” teriak Ara setengah berlari mengejar pemuda itu. Raka berbalik badan dan terkekeh.
“Lucu juga kalau kamu lari,” kata Raka memperlambat jalannya.
“Kamu? Tumben kamu, biasanya lu.” Kedua remaja itu sama-sama terdiam. Yang satu bingung harus menjawab apa. Memang selama ini ia tak pernah memanggil perempuan dengan sebutan ‘kamu’. Dia juga bingung mengapa tiba-tiba keluar kata itu. Sedangkan yang satu lagi merasa tak enak hati. Apakah perkataannya salah sehingga membuat Raka diam?
“Nih, botolnya.” Aku mengambil botol minuman itu dari tangannya. Posisi kami di luar kelas dan sudah banyak anak-anak. Alhasil teriakan mereka membuatku ingin pergi saja.
“Ma-makasih,” kataku gugup. Aku langsung berlari masuk kelas.
‘Brak!’
“Hahaha! Rasain, tuh! Siapa suruh lu deket-deket sama cowok gue, hah? Dasar jalang!”
Sakit, aku tersandung. Ada yang menghadangku dengan kakinya. Satu kelas tertawa lagi, siswa yang berada di luar pun penasaran. Ini memalukan, Ara. Di mana aku taruh mukaku sekarang. Aku menoleh dan berusaha bangkit. Dara.
“Lu kurang puas di-bully kemarin apa gimana? Sekarang gatel pengen deketin Raka? Ngaca, dong!” bentak Dara lalu mendorongku lagi hingga terjatuh. “Jawab! Lu punya mulut, nggak?” lanjutnya sambil menginjak betisku.
Aku mengeluh kesakitan dan ingin memberontak.
“Lawan, lawan! Habisi aja, Dar! Dasar PHO!” teriakan siswa lain termasuk Ria dan Diaz.
“DARA!” teriak seseorang yang membuat Dara berhenti menyiksaku.
Aku menarik napas panjang-panjang dan berusaha duduk. Semua hanya menonton, tak sedikit pun ingin menolong. Dara menoleh, ia terdiam beberapa saat. Kemudian bibirnya kaku ingin menjelaskan.
“Nggak usah jelasin apa-apa. Ternyata gini kelakuan lu kalau gue nggak ada. Mikir! Yang lu lakuin ini salah. Kalau Ara lapor ke guru, lu kena imbasnya! Nggak usah sok kuat mentang-mentang gue anak kepsek!” kata Raka setengah membentak. Gadis di hadapannya menunduk karena merasa dipermalukan pacar sendiri.
“Dar, lu … lu bener-bener keterlaluan sekarang,” lanjutnya menahan emosi agar tak meluap di tempat ini.
Dara meraih tangan Raka dan memeluknya erat. “Iya, Rak. Aku memang salah, aku minta maaf. Jangan putusin aku, please,” ujar Dara memohon.
Raka mendekati Dara, mendekapnya penuh hangat. Semua orang, termasuk aku, begitu terkejut. Aku kira Dara akan dijauhi sementara, ternyata ….
“Iya, gue maafin, jangan diulangi.”
Aku bangkit usai melihat drama ini, berjalan berpapasan dengan Raka yang masih memeluk Dara. Sungguh, aku membenci dia sekarang. Bukannya memberi pelajaran untuk pacarnya, justru semudah itu memaafkan. Apa perlu aku membeberkan semua kelakuannya selama ini? Busuk!
“Makasih!” ucapku kasar lalu pergi. Hatiku memanas tak keruan. Memilih ke taman samping kelas dan mencari kesegaran.
***
“Kamu kemarin curi uang Ibumu, ya?” tanya gadis itu tanpa ragu.
Remaja berbulu mata lentik di hadapannya langsung memasang wajah tak enak. “Apaan, sih? Nggak jelas banget. Kalau mau ngeramal bukan di sini tempatnya, Setan! Buka praktek sana sendiri!”
Gadis itu kembali tersenyum, pertanda tak puas dengan jawabannya. “Aku tidak membutuhkan praktek buat itu semua. Ada kamu yang bisa jadi monyet percobaanku. Ya, karena di sini kamu yang paling gelap,” katanya santai, to the point.
Ria mendengkus kesal, apa maksudnya monyet percobaan? “Apa? Kau bilang aku ini gelap?” tanya Ria bernada tinggi.
Ara berdiri dan memasang wajah berani, seolah di hadapannya bukan apa-apa. Kemudian ia menepuk pundak Ria. “Kamu gelap, kita sama-sama gelap. Tapi perbedaannya di sini, kamu manusia. Aku dan kamu jelas beda. Kurangi kebiasaanmu mencuri uang demi ketenaran,” kata Ara sambil berlalu meninggalkan gadis itu. Satu kelas bersorak, entah setan macam apa yang merasuki Ara. Dulu, menatap mata Ria saja tidak berani, sekarang benar-benar berubah.
“Wait! Siapa ya berani banget ngerendahin gue. Lu cuma anak buangan di sini! Nggak usah sok!” ancam Ria mencengkram lengan Ara.
“Siapa aku? Apakah aku penting? Kalaupun aku memberitahu, kau tidak akan mengenal siapa aku.” Ara maju selangkah, menyingkirkan jarak antara dia dan gadis itu.
“Aku … adalah jiwa yang terbentuk karena trauma masa lalu,” ucap Ara dan berbalik badan, pergi meninggalkan Ria yang terdiam kebingungan.
“Apaan, sih? Nggak jelas banget tau gak!” geram Ria meremas rok sekolahnya.
***
Entah mengapa sejak tadi kepalaku terasa sakit. Aku tak bisa mengingat kejadian barusan. Sambil memegang kepala, aku berjalan ke luar kelas. Semua siswa menatapku heran, lagi-lagi aku membenci mata yang sinis itu. Di antara kerumunan orang, samar-samar aku melihat Ria dan Diaz. Aku mundur karena takut kembali dihina olehnya.
“Eh, anak buangan. Bisa lu ulang lagi kata-kata lu tadi?” Ria melipat kedua tangannya sambil berlagak sombong. Aku kebingungan kata-kata apa?
“Kapan? Bukannya sejak tadi kita gak bicara apa-apa?” tanyaku memastikan. Seluruh anak di situ bersorak tak percaya. Diaz mendekati, mata coklatnya tajam melihatku. Pandangan kami beradu, tangannya mengepal geram.
“Dih, gak usah sok lupa! Tadi lu fitnah Ria, ngatain dia monyet percobaan,” jawab Diaz. Seketika anak-anak kembali tertawa, termasuk aku.
Monyet percobaan?
“Aku sungguh gak ada berkata seperti itu ke dia. Seharian aku diam di kelas, baru kali ini keluar. Aku hanya membaca buku lalu tertidur,” jawabku jujur. Ria memicingkan mata, seolah tak percaya.
“Terus tadi yang ngomong begitu siapa? Kembaran lu? Apa gimana? Semua di sini saksinya, gak usah ngelak!” Diaz semakin memanas. Ria memberi kode ke sekumpulan anak itu untuk ke luar dari persembunyian. Nanda dan Dara.
“Seret dia ke toilet!” perintah Diaz. Kedua temannya itu mencengkeram tanganku, memaksa agar mengikuti ke mana mereka pergi. Aku memberontak, tapi kalah, mereka selalu menang melawanku. Tuhan, apa lagi ini?
Tidak ada yang berani mencegah ketika lima orang itu beraksi. Semua hanya bisa diam dan melihat. Sesekali aku menangkap wajah iba dan kasihan. Aku melihat mereka yang sebenarnya ingin membela, tapi takut akan kekuasaan Ria di sekolah.
Tanganku sakit dipegang sangat kuat oleh mereka. Diaz mendorong pintu toilet dan menyalakan lampu. Ria mendorongku kasar dan kepalaku terantuk dinding toilet. Bajuku kotor dan mereka puas melihatku.
“Kita apain?” tanya Ria sambil mengunyah permen karet. Diaz tersenyum licik dan membisikkan sesuatu. Nanda dan Dara pergi mengambil sesuatu yang disuruh Ria.
“Najis, haha. Apaan ini?” tanya Diaz.
“Ah, masa bodoh ini apaan. Lemparin aja langsung ke mukanya biar tahu diri!” kata Ria tertawa puas. Diaz mendekatiku sambil membawa plastik merah. Baunya sangat tidak enak, aku menjauhkan diri dari plastik itu. 
“Gue udah kesel sebenarnya dari tadi. Cari muka sama Raka, jijik tau nggak! Seandainya Raka nggak ada di situ, lu lebih habis dari ini!” ujar Dara kesal dengan mimik penuh kebencian.
“Makan, tuh!” kata Ria sambil melempar plastik merah itu ke arahku.
Ini, kotoran sapi. Wajahku penuh kotoran yang menjijikkan. Rasanya aku ingin teriak, ingin membalas perbuatan mereka. Kalau begini aku pasti tak diizinkan masuk kelas. Aku tak membawa baju ganti, harus memberi alasan apa pada Bu Arsy?
Selamatkan aku dari petaka ini.
“Jera? Masih mau ngatain gue monyet percobaan? Gak usah macam-macam, deh. Masih untung gue lempar lu pake kotoran di sini, daripada depan kelas tadi?” kata Ria memandangku jijik. “Ini sebagai bentuk belas kasihan gue ke lu, Ara,” lanjutnya. Ia melempar bekas permen karet itu tepat ke rambutku. Ya Tuhan, aku ingin mati saja.
Aku terpaksa bolos karena wajah dan rambutku penuh kotoran. Dua jam membersihkan diri, tapi tetap saja baunya menempel. Aku menghela napas panjang dan berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, yang masih menjadi tanda tanya adalah kapan aku mengatakan hal itu pada Ria? Apa yang kukatakan sampai dia semurka itu? Aku benar merasa tak pernah berkata apa-apa seharian padanya. Seingatku hanya duduk diam di kursi lalu ketiduran. Tadi itu seperti mimpi, aku setengah sadar setelah itu tak tahu apa-apa lagi.
Malam purnama, aku duduk sendirian di kursi taman. Cahayanya yang redup menemani hati yang sendu. Aku rindu pada teman lamaku, teman yang selalu membela dan tegas. Air mata jatuh tanpa kusadari. Penghinaan lagi dan lagi. Kekerasan yang tiada hentinya. Apakah aku tak bisa melawan saja? Tidak, aku terlalu lemah untuk itu. Aku akan tetap diam sampai batas kesabaran.

Komentar Buku (61)

  • avatar
    Feewa

    very best this stories

    25/08/2022

      5
  • avatar
    Wawan

    bagus sekali alur ceritax

    17/08/2022

      1
  • avatar
    AswarHaerul

    mantap

    9d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru