logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Surat

Setelah tuduhan itu aku merasa benar-benar disudutkan. Mengapa bisa bungkus rokok itu ada di tasku? Sungguh, pikiranku kalut dan tak tahu harus berbuat apa selain menangis. Guru BK memanggilku ke ruangan, dengan langkah gugup aku masuk dengan keadaan mata sembab.
“Skorsing tiga hari,” kata Bu Tyas. Aku menggeleng tak percaya. Ini mimpi buruk!
“Tapi, Bu. Itu bukan punya saya,” kataku sesenggukan. Bu Tyas hanya tertawa kecil karena tak percaya. Sial, cobaan apa lagi ini? Naluriku mengatakan bahwa sia-sia saja melakukan pembelaan sekeras apa pun. Toh, semua guru akan percaya aku yang melakukannya.
Surat pernyataan tanda aku di-skors tiga hari membuat hati ini retak. Harus ditandatangani orang tua, bagaimana perasaan Mama jika melihat hal ini? Aku tak bisa membuatnya kepikiran. Sebagai anak pertama, aku telah dituduh atas hal yang tak pernah aku lakukan.
Aku keluar ruangan dan kembali ke kelas. Seperti yang aku duga, mereka pasti menertawakanku. Aku tahu ini hal yang memalukan tapi tolong, bukan aku yang melakukan! Apa ada seorang saja yang percaya padaku? Raka, aku tak akan memaafkanmu kali ini.
“Puas? Puas kamu udah buat aku begini? Apa sih yang kau benci dariku? Sebenci itukah kamu padaku, hah?” kataku setengah membentak, setelah sebelumnya membanting tas di atas meja belajar. Ia tertegun tak percaya aku bisa semarah itu.
“Apa-apaan, sih? Datang-datang main grebek!” Ia berdiri sambil menatapku tajam.
“Apa-apaan? Kamu, kan yang naruh bungus rokok di tasku? Kamu pikir aku nggak bisa melawan?” kataku mengepal geram. Aku tak peduli tatapan orang-orang. Terserah, aku muak!
“Dasar aneh! Udah teriak-teriak nggak jelas, asal nuduh pula! Mana buktinya kalau gue masukin bungkus rokok di tas lu?” Aku tergugu, benar juga. Tidak ada bukti yang kuat untuk menyudutkannya.
“Lupa, ya? Dari pagi tadi hingga detik ini cuma kamu yang pegang tasku!” bentakku lagi. Ia terkejut karena suaraku lumayan besar. Tentu saja seisi kelas mendengarnya. Ia mencengkram bahuku erat dan mendorongku hingga ke dinding belakang kelas.
“Lepasin!” berontakku. “Sakit, Ka! Sakit!”
“Lu! Mau lu apa? Mau bukti gue yang ngelakuin hal sepicik itu? Faedahnya buat gue apaan? Buka mata lu! Selama mereka bully lu, gue cuma diam,” katanya melemah. Aku bisa merasakan emosi yang dia pendam.
“Diam? Cuma diam? Setiap kali mereka menghinaku, kamu juga ikut tertawa! Itu kamu bilang cuma diam?” kataku berusaha melepaskan cengkramannya. Sial, ia malah semakin menyingkirkan jarak di antara kami. Napasnya yang memburu dan keringat yang mengucur dari keningnya.
“Denger baik-baik! Aradelia, denger! Gue emang gak pernah suka sama lu, semuanya gue gak suka! Tapi camkan satu hal, gue gak pernah ngelakuin hal serendah itu!” katanya meregangkan. “Gue masih punya hati, meski sudah membatu.”
Kembali, aku terdiam dan merasakan sesuatu. Cengkraman itu masih terasa, di sini, di bahu ini. Ara, jangan sampai kau terpikat padanya. Dia hanya memanfaatkanmu, itu saja.
***
Terlepas dari Raka, cowok itu menatapku dari kejauhan. Aku tak bisa menebak pikirannya dari sebuah tatapan aneh tak berujung. Satu hal yang aku yakini, dia tidak tertarik padaku sedikit pun. Ya, siapa aku berani menaruh harapan padanya? Meski hanya setitik debu, itu mustahil. Gadis korban bully dan hina di mata banyak orang ini pantas apa? Haha, aku tertawa dalam hati saking mustahilnya itu terjadi.
Sekarang otakku memikirkan bagaimana mengatakan ini pada Mama. Surat itu, tuduhan itu, dan semua tertawaan yang aku alami. Jantungku berdetak tak keruan dan tanganku mulai basah. Surat yang aku genggam pun menjadi basah karena keringat.
“Assalamu’alaikum, Ma. Ara pulang,” kataku mengucapkan salam. Alin sudah dijemput Mama pukul sepuluh tadi karena aku pulang sore. “Waalaikumsalam.”
Aku langsung ke kamar tanpa menengok Mama. Biasanya sepulang sekolah aku langsung bercerita apa yang kualami, meski sebagian cerita kututupi. Ya, ada beberapa hal yang tak ingin aku ceritakan, termasuk pembullyan yang aku alami setahun terakhir.
Aku takut wanita tegar itu semakin khawatir.
“Nak, sudah makan?” tanya beliau dari dapur. Aku menyimpan tas dan mengganti baju. Surat itu, ah, kusimpan saja di atas meja. “Iya, sebentar.”
Setelah makan, aku membuka buku catatan. Ah, gara-gara bungkus sialan itu, aku jadi lupa ke perpustakaan dan mencari referensi. Guru jarang masuk, mau tidak mau murid yang harus aktif mencari ilmu. Kalau sudah begini, aku biasanya meminjam ponsel bibi dan membuka internet.
Masalahnya adalah bibi belum pulang dari perjalanan bisnisnya. Meski mama dan bibi tidak terlalu akrab, aku berusaha ramah dengan bibi. Dulu, ada sedikit kesalahpahaman mengenai harta warisan dan membuat bibi minggat dari rumah. Hingga bibi menikah dan punya anak, mama tak pernah lagi menjenguknya.
Sungguh ironi dan drama dalam keluargaku tak ada habisnya.
Tok, tok, tok!
“Kak, Alin boleh masuk?” kata Alin dari luar, aku bangkit dan membuka pintu. “Iya, masuk aja.”
“Alin ada tugas disuruh menggambar, tapi Alin nggak tahu mau gambar apa. Kakak bisa bantu Alin?” katanya membulatkan mata. Sebenarnya aku agak sibuk tapi kasihan adikku ini. Menggambar untuk anak seusia dirinya hanya sebentar, bukan? Tak butuh waktu lama.
“Alin suka gambar apa?” tanyaku. Ia mengetuk-ngetuk bibir dengan pensil.
“Hm, Alin suka gambar princess Disney, Kak. Elsa Frozen!” jawabnya bersemangat. Aku bergeming sejenak, wah karakter itu sangat rumit untuknya.
“Itu susah, Sayang. Nggak ada yang lain gitu? Yang lebih mudah?” tanyaku. Ia menggeleng pelan.
“Nggak ada, Kak. Alin mau itu!”
“Hm, tapi Kakak nggak ada contohnya, nanti jelek.” Ia mengeluarkan sesuatu, sebuah kotak pensil bergambar animasi Frozen.
“Darimana kota pensilnya?” tanyaku.
“Oh, Alin belum cerita, ya? Alin dapat hadiah dari Bu Fety karena nilai agama Alin tinggi.” Ia begitu bahagia karena hadiah seperti itu sudah membanggakan untuknya. Aku memeluk lalu memegang kedua pipinya. “Iya, Kakak usahakan gambarin Elsa nanti malam, ya?”
***
10.00 malam.
Sudah dua jam aku bergelut dengan pensil dan kertas gambar. Selesai! Elsa Frozen untuk adikku. Dia sudah tertidur karena lelah bermain boneka sendirian. Aku mengangkatnya masuk kamar dan menutup pintu.
“Kak …,”panggilnya datar. Aku berbalik badan. “Kak ….”
Astaga, Alin duduk dan rambutnya acak-acakan. Aku bahkan tak bisa melihat matanya.
“Lin?” panggilku, dia tetap bergeming. Dingin, aneh, dan terasa menyeramkan. Dia mendongak.
“LIN!” Aku sangat terkejut. Bola mata Alin tak sebesar itu, matanya menatapku kosong dan tajam. Tubuhku kaku dan tak bisa berteriak. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada adikku?
“Mama! Mama!” Akhirnya aku bisa teriak dan keluar kamar. Ibu yang sedang menyetrika pakaian panik melihatku ketakutan. Setelah kujelaskan semua, wajah Mama datar dan menyuruhku masuk kamar. Meski penasaran, aku tetap menuruti perintah Mama
Melangkahkan kaki ke kamar saja, aku bergetar. Lututku terasa lemas dan pandanganku buram. Kalau sudah begini, tak bisa melanjutkan catatan. Lagipula aku lupa meminjam buku di perpustakaan tadi. Selama tiga hari kedepan aku akan diam di rumah.
Sebentar, surat itu?
Aku memang bisa berbohong dan tak memberitahu Mama. Namun, apa yang harus kujawab jika aku tidak bersekolah? Haruskah aku berpura-pura sakit? Ah, keluarkan aku dari masalah ini.
Aku duduk sendirian di bangku putih itu. Sesekali menjentikkan jari atau merobek dedaunan yang jatuh. Teringat tentang suatu buku. Ah, Daun yang Tak Pernah Membenci Angin. Meski sudah kubaca berulang kali, sulit memahami isi buku tersebut. Hal sederhana yang bisa kutangkap adalah tidak menyalahkan takdir apa pun yang terjadi.
Aku ingin melakukan itu tapi sulit.
Kusandarkan tubuh dan memejamkan mata. Menghirup udara yang jarang sekali aku temukan. Kalau kau menjadi aku, pasti turut merasakan yang kualami. Aku bisa bertahan sejauh ini karena mama dan Alin. Jika bukan karena mereka, sudah lama aku bunuh diri.
Haha, Ara, apakah kau bercanda?
Tidak, aku memang pernah mencobanya. Sekali, ketika mama diusir Ayah pergi. Aku tak paham permasalahannya apa. Ditambah lagi bullyan Ria dan ketiga temannya. Di situlah puncak depresiku. Sekolah, bertemu mereka yang menyakiti hati dan fisik. Di rumah, penuh bentakan dan kacau balau, tak pernah ada kedamaian. Ada saja yang Ayah ributkan, padahal persoalan sepele seperti lupa menaruh kunci rumah.
Apakah aku mencoba bunuh diri dengan menyayat nadi? Atau hal lain seperti meminum racun tikus? Haha, kalau pun aku mati, harus dengan cara yang terhormat. Bukan mati konyol seperti itu. Jadi, apa yang kulakukan?
Cara ini memang mainstream. Yup, menjatuhkan diri dari atas gedung. Aku sengaja kabur dari rumah lewat jendela sebelum adzan subuh. Ada sebuah gedung di Samarinda yang tak terpakai lagi. Tidak terlalu tinggi memang, hanya lima lantai. Gedung itu bekas mall dan konon banyak hantunya. Aku naik ke lantai paling atas dan sudah bersiap-siap untuk mati.
Wah, konyol sekali. Ketika orang lain ingin memperpanjang masa hidupnya, atau kalau perlu hidup abadi seperti immortal di drama Wuxia yang aku tonton, aku malah ingin mati. Bukan tanpa alasan, setiap detik hidup di dunia adalah siksaan bagiku. Dulu, berpikir bahwa bunuh diri bisa menyelesaikan masalah.
Kau tahu? Aku ingin mengetahui siapa saja yang peduli jika aku pergi. Tak usah harap-harap banyak yang menangisi kepergianku, mereka justru senang karena anak buangan itu sudah meninggal. Paling hanya mama dan Alin yang menangis. Ayah? Haha, sama saja aku tak berpikir dia bisa se-sentimentil itu nantinya.
Lalu, apakah aku berhasil lompat dari gedung? Tentu saja tidak. Jika aku berhasil, kalian sedang membaca buku pertama dan terakhir dari seorang Aradelia. Buku kisah hidup sekaligus surat takdir terakhir. Dengan kata lain, jika kalian merasakan sesuatu ketika membaca buku ini, tandanya ada aku di sana. Menemani.
Setidaknya, kalian turut merasakan pedih perih selama tiga tahun. Tanpa tertawa dan canda yang mengisi hari-hari kosong tanpa teman.
***

Komentar Buku (61)

  • avatar
    Feewa

    very best this stories

    25/08/2022

      5
  • avatar
    Wawan

    bagus sekali alur ceritax

    17/08/2022

      1
  • avatar
    AswarHaerul

    mantap

    9d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru