logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Dimulai

***
Kang Hoon menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang sekolahnya. Melihat sebuah pesan dari seseorang bernama Jung In-jae. Ia tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya. Kali ini memilih jalan kaki karena mobilnya masih dalam perbaikan.
Saat ia memasuki gang yang biasa di lalui, terasa ada yang aneh. Lebih sepi dari biasanya. Meski begitu, Hoon tak merasa waswas sedikit pun.
Brak!
Kang Hoon menghentikan langkahnya tepat saat suara itu terdengar. Sebuah kursi kayu melayang hingga akhirnya hancur membentur dinding. Hoon melihatnya, sang pelaku pelemparan dengan tangan yang gemetar. Tak jauh darinya, berdiri siswa berseragam yang sama dengannya berjumlah lebih dari lima orang.
Tanpa dijelaskan pun, Hoon tahu ini adalah sebuah perundungan. Ia berbalik hendak pergi. Namun, langkahnya terhenti saat teringat sebuah pesan dari perempuan yang disukainya. Kembali ia menatap orang-orang itu dan berjalan menghampiri mereka dengan langkah santai.
“Ya, apa kalian tidak takut dengan para Ahjumma di sini? Mereka sangat liar dan juga beringas,” ujar Hoon mengalihkan semua orang yang ada di sana termasuk seorang lelaki yang menjadi pusat bullyan.
“Kang Hoon.” Lelaki bernama Hwang Junho menghampiri Hoon dengan tatapan mengejek. “Bagaimana kelas barumu?” tanyanya setengah terkekeh.
“Heol. Kenapa seorang Hwang Junho terlihat penasaran dengan kehidupan sekolahku,” ujar Hoon dengan smiriknya. Junho mengatupkan rahangnya keras. Nyatanya Hoon bukanlah orang yang bisa ia gertak dengan mudah.
“Bukankah dia terlalu lemah untuk kau jadikan target?” pertanyaan itu membuat yohan mendelik ke arahnya.
“Sejak kapan seorang petarung sepertimu peduli dengan orang baru sepertinya.” Junho menyeringai di tempatnya.
“Sejak aku tahu bagaimana permainan anak seorang dewan direksi.” Keduanya saling menatap tajam.
Yohan menyadari hal baru. Kang Hoon sepertinya juga pernah menjadi salah satu bagian dari mereka. Namun, ada pengkhianatan di antara pertemanannya. Nyatanya, orang-orang seperti Junho sangat layak masuk ke kelas peralihan.
Im Yohan berlari dan berdiri di belakang Kang Hoon saat melihat orang-orang besar itu lengah. Hoon meliriknya dengan ujung matanya.
“Aku tidak tahu siapa kalian. Bisakah tidak menganggukku.” Yohan bersuara di belakang badan Kang Hoon. Lelaki jangkung itu hanya melirik Yohan dengan ujung matanya.
“Kalian berdua menjijikkan.” Junho kemudian meninggalkan Hoon dan Yohan. Sementara empat lelaki tinggi lainnya mengekor di belakang Junho.
Kang Hoon melangkah pergi, tapi Yohan menghentikannya. Tatapan keduanya saling beradu. Kali ini Yohan memiliki keberanian besar untuk tetap menatap lelaki di depannya itu. Nyatanya dia tidak akan memukulnya hanya karena hal sepele. Kang Hoon berbeda dari siswa urakan yang sering ditemuinya.
“Bisa menyingkir dari hadapanku,” ujar Kang Hoon membuat lelaki jangkung dengan mata sipit itu menggeser badannya dan membiarkan lelaki di depannya melangkah pergi.
**
Daeho mendapati Ayah dan Ibunya tengah duduk di ruang keluarga. Entah kenapa, pemandangan ini sangat berbeda dari biasanya. Jam masih menunjukkan pukul 5 sore dan ini bukan waktu biasa untuk kedua orang tuanya berada di rumah. Tuan Han adalah seorang pekerja konstruksi bangunan sementara sang Ibu hanya buruh pabrik biasa. Mereka pulang paling cepat jam lima sampai jam enam sore, bahkan pernah sampai larut malam jika ada lembur mendadak.
“Kau sudah pulang?” pertanyaan gadis cantik dengan rambut terikat rapi itu membuat Daeho menatap ke arahnya.
“Duduklah.” Ayah menepuk-nepuk tempat duduk di sampingnya. Dengan wajah yang masih diliputi rasa heran, Daeho menurut.
“Appa menerima laporan dari wali kelas.” Ayah menatap Daeho dengan wajah datarnya. “Walaupun kau berada di kelas yang sama dengan anak itu, bisakah kau mengabaikannya sementara untuk tetap fokus pada tujuan utamamu?” pertanyaan itu seperti sebuah pernyataan bagi lelaki berusia 18 tahun itu.
“Kau sudah mulai dewasa. Tidakkah kasihan melihat bagaimana Appa dan Eomma bekerja keras untuk menghidupi keluarga kita.” Gadis cantik bernama Han Sohee. Kakak pertama dengan usia 9 tahun lebih tua darinya.
Daeho nampak memikirkannya. Lelaki dengan wajah oval itu tak tega melihat bagaimana kerasnya Ayah dan Ibu bekerja demi sekolahnya. Mereka bukan berasal dari keluarga yang berada, tapi pendidikan haruslah menjadi nomor satu. Sekalipun hampir mati hanya untuk mendapatkan uang.
“Baik. Aku akan berusaha menaikkan poin nilaiku.” Daeho akhirnya benar-benar bertekad. Meskipun ia tahu, semua tak akan mudah. Posisinya ada di antara keegoisan dan demi orang tua.
*
“Mian. Membuatmu menunggu lama.” Gadis cantik dengan span di atas lutut menghampiri Kang Hoon yang duduk tepat menghadap kearahnya.
“Ei. Noona tidak pernah datang tepat waktu.” Kang Hoon mempersilakan Injae untuk duduk di sampingnya.
Sore ini suasana taman sungai Han memang sangat ramai. Saat musim panas seperti ini, akan sangat indah jika menghabiskan sisa penat akibat aktivitas yang dikerjakan sedari pagi dengan duduk memperhatikan goresan jingga yang terpantul di air yang tenang ini. Pun bisa sekedar berjalan-jalan menikmati angin musim panas yang hangat.
Bahkan ada yang hanya menoleh ke kiri dan kanan mengikuti pergerakan pejalan kaki yang tak ada habisnya. Terlepas dari itu, kedai es krim sangat mendominasi tempat ini. Makanan dingin itu nyatanya lebih ampuh menghilangkan dahaga.
“Jadi, apa ada hal serius?” tanya Hoon disela kesibukannya menikmati es krim kesukaannya.
“Semuanya serius.” Injae menatap manik mata Hoon dalam, seperti ingin lelaki itu bisa menangkap maksud darinya. “Sekarang, kembali lagi padamu. Kau bisa lebih serius atau hanya sekedar bermain-main.”
Suasananya benar-benar serius. Senyuman keduanya hilang bersamaan dengan hilangnya lukisan jingga di permukaan air sungai Han dan digantikan dengan gegap gempita lampu jalan. Hoon tertunduk. Fokusnya kini pada tangan yang memutar cup es krim yang sudah sirna isinya.
“Aku hanya ingin—“
“Apa … aku bisa mendapatkan hati Noona jika aku menuruti semua perintahmu?” pertanyaan Hoon membuat Injae nampak sedikit berpikir. Entah dari mana keraguan itu tiba-tiba saja muncul. Lelaki itu selalu menepati kata-katanya. Jika sudah bertekad dengan sesuatu, pasti ia perjuangkan.
Kang Hoon bukanlah orang baru bagi Jung Injae. Selama 2 tahun ia bekerja di bawah K grup, selama itu pula ia dekat dengan lelaki jangkung bernama Kang Hoon. Ia tahu, Hoon menyukainya, dari cara lelaki itu memperlakukannya dan juga kerap menuruti apa yang diinginkan Injae. Namun, jarak usia diantara keduanya yang membuat Injae terus berpikir berulang-ulang.
Injae akhirnya mengangguk mantap. “Kau bisa memegang ucapanku hari ini.”
Kang Hoon menatap sorot mata wanita itu. tak tahu kenapa, ada perasaan aneh yang tiba-tiba berdesir di hatinya. Entahlah, nyatanya Hoon tak pernah bisa menerka dan memahami dirinya sendiri.
***
Yohan terus melirik bangku paling belakang. Sesekali ia menarik napas panjang. Di tempat duduknya, Insu menyadari ke mana tatapan murid baru itu. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Yohan yang bahkan belum mengeluarkan buku pelajarannya.
“Ada apa?” tanya Insu membuat Yohan hampir terlonjak.
“Kau mengagetkanku saja,” gumamnya sedikit kesal.
“Kau saja yang tidak fokus. Aku bahkan tidak mengeluarkan suara keras, bisa-bisanya kaget.”
“Ah, sudahlah. Aku saja yang memang mudah kaget.” Yohan mengeluarkan buku pelajarannya dari tas dan menaruhnya di meja. Insu terkekeh kecil saat ia masih melihat wajah kesal lelaki itu.
“Di jam ini Kang Hoon sedang berada di ….” Insu mengarahkan jari telunjuknya ke atas. Yohan mengerti apa maksudnya, hanya saja ia tak tahu kenapa Hoon berada di sana saat jam pelajaran baru saja dimulai.
“Apa—“
“Jangan mendekatinya jika moodnya sedang tidak baik,” ujar Insu yang langsung kembali ke tempat duduknya tanpa menunggu Yohan yang hendak bersuara.
Kang Hoon bukanlah orang yang mudah di dekati. Nyatanya lelaki itu benar-benar menutup diri. Dia sangat dingin dan juga kuat, tapi Yohan yakin dia juga memiliki sisi lembut yang membuatnya sangat penasaran.
Sementara lelaki yang di cari Yohan kini memejamkan kedua matanya di sebuah bangku panjang yang ada di atap sekolah. Tempat ternyamannya saat membolos pelajaran yang tak disukainya. Kang Hoon terkadang tak tertarik untuk belajar atau bahkan menghadiri kelas jika pelajaran dan gurunya tidak ia sukai.
Akhir-akhir ini Hoon lebih suka sendiri. Entah kenapa, memimpin sekelompok orang untuk melakukan tawuran sudah tidak membuatnya bersemangat. Pikirannya hanya tertuju pada seorang wanita cantik yang membujuknya untuk melakukan hal yang selama ini ia hindari. Dengan imbalan ia bisa bersama dengannya.
Akan tetapi, Kang Hoon tak begitu yakin dengan tawaran itu. Meski kerap berharap masih ada orang yang bisa ia percaya, tapi saat ini begitu sulit untuk merasakan ketulusan seseorang.
-
Kembali ke kelas peralihan, Seojun memberikan sebuah buku kecil pada Youngsoo. Mengerti dengan maksud temannya itu, Youngsoo menerima buku dan membaca isinya. Di sana terdapat beberapa nama yang sepertinya sudah sangat dikenal lelaki berwajah mungil itu.
Youngsoo menatap Seojun lurus. Seperti mencari sebuah keyakinan di wajahnya. Tanpa mengatakan hal lain, Seojun kembali ke tempat duduknya, setelah melirik Minjun sekilas.
Han Daeho menghampiri Dongmin yang sibuk dengan buku pelajarannya. Merasa ada yang mendekat, lelaki dengan puppy ayes itu mendongak dan menatap Daeho datar.
“Pinjamkan aku buku catatanmu,” ujar Daeho setengah berbisik, tapi masih dengan nada datar.
“Lain kali perhatikan saat guru mengajar,” ucap Dongmin tak kalah datar sembari menyodorkan buku catatan miliknya yang langsung diterima Daeho.
Diam-diam Yohan memperhatikan kedua lelaki itu dari tempat duduknya. Beberapa hari lalu dia hampir mendapat nilai min karena menolak belajar dan membuat keributan di kantin. Manusia memang sangat cepat berubah, hanya saja kenapa secepat ini. Entahlah, pagi ini belum bertemu dengan Kang Hoon membuatnya sedikit kesal.
**
Kang Hoon menarik bibirnya membentuk senyuman saat seorang wanita berdiri tak jauh darinya. Berlari kecil menghampiri wanita cantik yang sapertinya tak menyadari keberadaan Hoon.
“Injae Noona.”
Panggilan itu membuat guru Jung menoleh kaget. Ia menghentikan langkahnya dan membiarkan lelaki itu menghampirinya.
“Ayo pulang bersama,” ujar Hoon saat keduanya berhadapan.
“Pu-pulang bersama?” tanya guru Jung memastikan. Kang Hoon mengangguk mantap. “Eum. Baiklah.”
Kang Hoon mengantarkan guru Jung pulang dengan mobil miliknya yang tentu saja ada sang sopir yang memegang kemudi. Kecanggungan menghiasi sepanjang perjalanan mereka. Hanya terdengar sekali sopir pribadi Hoon yang bertanya dimana alamat rumah guru Jung. Selebihnya tak ada lagi percakapan, mereka fokus dengan pikiran masing-masing.
“Ahjussi, saya akan mampir sebentar di kedai ramen. Bisa anda turunkan saya di perempatan jalan di depan,” ujar guru Jung setelah melirik Hoon sekilas.
“Noona sepertinya sedang ada urusan lain,” terka Hoon membuat guru Jung menggeleng pelan.
“Ani, kau hanya sedikit terganggu dengan beberapa tugas sekolah yang membuatku harus berpikir keras.” Guru Jung tersenyum lebar. Kang Hoon membalas dengan senyum tipisnya.
“Nikmati waktu senggangmu, Noona. Mian, aku membuatmu tidak nyaman.”
Guru Jung menggeleng. “Ani, terima kasih banyak atas tumpangannya.” Guru Jung turun dari mobil ketika sampai di tempat tujuannya.
Setelah berpamitan, mobil itu kembali melaju. Dari kaca spion, Kang Hoon bisa melihat guru Jung yang masih berdiri menatap mobil yang ditumpanginya. Detik berikutnya Hoon menyandarkan badannya sembari memejamkan mata seolah tak peduli. Ia bahkan tak tahu apa yang seharusnya ia pikirkan saat ini.
*
Di tempat lain, Seojun sudah berada di arena balap. Tempat biasa ia melakukan balap liar dan juga beberapa taruhan dengan pembalap lain. Suasananya masih sangat terang, tak ada satu pun orang di sana selain dirinya.
Seojun berjongkok, menatap jalanan lurus. Hampir satu tahun lalu, sebuah balapan besar berlangsung di sini. Tentu saja berjalan secara ilegal. Itu adalah salah satu kenangan terburuk dirinya. Harus berurusan dengan pihak kepolisian, bertengkar dengan orang tua, juga nyaris dikeluarkan dari sekolah.
Tangannya terkepal, ketikan wajah seseorang melintas di benaknya. Orang yang tanpa sadar membuatnya terlihat sangat buruk. Jika saja ada sedikit rasa solidaritas, mungkin semua itu tak akan pernah terjadi padanya.
“Hari ini … aku pastikan kau tidak akan kubiarkan lolos,” ujar Seojun penuh kebencian.
****

Komentar Buku (120)

  • avatar
    WindiAnisa

    mantab

    20/08

      0
  • avatar
    LestariRani

    cerita nya sangat bagus and menarik

    14/08

      0
  • avatar
    Fely Sia

    ini sangat bguss

    13/08

      1
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru