logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

SERPIH 7

Bisnis dan cinta.
Dua hal yang aku merasa, masih bisa dipisahkan. Hidup enam belas tahunku tanpa cinta, tak lantas membuatku mengemis dari banyak pria. Itu hal paling mustahil yang akan kukerjakan. Hatiku masih penuh akan cinta walau rasa yang kupunya itu sudah beda dunia.
Hidupku memang bergelut dengan bisnis. Bisnis. Dan bisnis. Aku tahu kelam dan kotornya permainan pejabat teras. Saling sikut di tengah senyum yang diberi. Saling bunuh di saat mengunjungi satu sama lain. Aku termasuk yang survive penuh bangga, selain karena aku kaum yang sering dibilang lemah tapi nyatanya banyak yang segan kalau berhadapan langsung denganku.
Papa dan Kakek sukses menempaku menjadi seperti ini. Tapi tak lantas menjadikanku pion terakhir dengan alasan yang sama. Aku memang diletakkan Papa untuk membesarkan CepatExpress. Sementara aku tahu Papa dan Kakek membangun bisnis lainnya. Kehadiran Mahreem di sana sebagai pemodal utama. Pembagian sahamnya jelas di antara mereka bertiga. Permasalahannya bukan ada pada keluarga Wijaya, tapi Mahreem.
Om Gu—aku terbiasa memanggilnya seperti itu sejak pertama kali mengenalnya—ingin lepas dari cengkeraman Darren Sonu. Siapa dia? Aku belum terlalu mengetahuinya. Lirikanku pada Rendra—direspon dengan angguk kecil tanda paham akan apa yang harus dilalukan nanti—sesaat setelah nama itu mengudara, membuat rasa penasaranku makin jadi. Ini pasti bukan perkara biasa.
Kakek Willy menimpali dengan satu penjelasan panjang, kalau menyingkirkan Darren ini butuh strategi. Gumilar dibuat tak berdaya olehnya dan setelah sadar, Aksara, perusahaan yang Om Gu banggakan itu sudah direbut sukar diambil.
“Kenapa bukan wanita lain saja?” tanyaku penuh tuntut. Om Gu ini punya kuasa, kenapa tak menunjukkan eksistensinya.
“Kami, saya terutama,” Om Gun membasahi bibirnya sembari menghela napas pelan. “Butuh seseorang yang ... seperti Inggrid.”
Keningku berkerut.
“Wanita yang cerdas, punya pendirian juga prinsip, tegas, dan ... yah ... Om akui, Inggrid punya digdaya sendiri.”
Bukan satu atau dua orang yang memujiku dengan kata-kata yang Om Gu luncurkan barusan. Mungkin Om Gu orang ke sekian puluh orang.
“Dukungan Inggrid tanpa pernikahan tetap dengan senang hati Inggrid beri, Om. Dan ... kenapa juga Om enggak gunakan kuasa sendiri?” rujukku pada satu kenyataan kalau benar adanya, Gumilar Adi ini punya digdaya yang berbeda.
Kulihat Om Gu malah tersenyum. Untuk obrolan ini, tak ada Ibu, Yaya, pun Ibu Puri. Murni hanya kami yang berkepentingan. Om Gu meminta istrinya untuk sejenak menyingkir—mungkin karena kata-kata tadi jelas menyinggungku.
“Inggrid benar. Tanpa pernikahan pun, kalau Om Gu meminta dengan pribadi, Om yakin, Inggrid akan senang hati membantu. Hal itu pun sama akan diberikan oleh Pak Willy dan Pak Harris tentu saja. Tapi,” Kulihat Om Gu melirik Andrew sekilas. “Putra Om sepertinya benar-benar menyukai Inggrid.”
“Memang Om Gu enggak takut? Rumah tangga kami, kalau saya terlalu superior, saya yang mengendalikan? Mengingat ... saya bukan orang yang mudah dikendalikan.” Aku bicara seperti ini pun ada Andrew. Agar dirinya berpikir ribuan kali. Seharusnya proposal bernama ajakan menikah, sudah ia pikirkan baik-baik.
“Ada kalanya, wanita memang dibutuhkan untuk menyetir rumah tangga. Enggak jarang malah berhasil, Inggrid. Tapi kodratnya sebagai seorang istri, tetap ia tunaikan. Superior yang ia punya, hanya untuk menjalankan agar tetap bisa meraih visi dan misi rumah tangga mereka.”
Ada jeda sejenak sebelum kudengar Gumilar Adi melanjutkan bicaranya, “Om butuh Inggrid mendampingi Andrew agar lebih ajeg, paham bahasa Om mengenai ajeg?”
Sebagai jawaban aku mengangguk.
“Dan orang yang tepat bagi Om, ya ... Inggrid.”
Sebelum pembicaraan ini berakhir, sekali lagi aku bertanya, “Kenapa Om enggak gunakan kekuasaan yang dipunya untuk membungkam Darren?” Namun aku tak menemui jawab yang tepat. Hanya ulas senyum yang kurasa sarat pertimbangan lain. Bibir itu ingin bicara tapi tertahan entah karena apa. Mungkin sebaiknya, aku meluangkan waktu sejenak nantinya.
Aku sendiri tak mengerti, kenapa ada sebagian kecil dalam diri ini yang penasaran sekali; ada apa sebenarnya.
“Sudah sampai,” kata Andrew pelan namun berhasil memecah lamunku. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku bungkam. Andrew juga. Kurasa dirinya lebih banyak berpikir setelah membicarakan permasalahan yang sebenarnya terjadi. Jangan lupa, aku juga mendesaknya agar mau menarik berita mengenai hubungan kami yang nyatanya tak ada.
“Thanks.” Kulepas seat belt yang menahan tubuh ini. Penuh gegas aku menarik handle pintu namun, aku menoleh cepat karena Andrew tak segera membuka kunci otomatisnya. “Andrew?”
“Lepas dari apa pun pembicaraan tadi, saya serius mengajak Bu Inggrid menikah.”
“Saya enggak punya alasan khusus untuk menerima, Andrew. Saya sudah katakan sejak awal.”
Netranya coklat terang. Imbang dengan wajahnya yang memang tampan tapi aku malas mengakui. Ia menatapku lekat-lekat seolah kata-kata tadi adalah penghakiman.
“Jadi ... saya benar-benar ditolak, ya, Bu? Padahal saya ngajak ibadah bareng, lho, bukan pacaran lagi.”
Aku terkekeh. “Iya, saya paham. Dan saya tersanjung atas hal itu. Tapi mau bagaimana lagi. Menikah itu hubungan dua orang yang memang memiliki pandangan yang yah ... seenggaknya ada beberapa yang sama. Saya rasa, antara kamu dan saya banyak bedanya.”
“Bu Inggrid enggak mau mencoba.”
Senyumku terbit perlahan. “Nah, itu jawabannya tepat sekali.” Sekali lagi aku menarik handle. “Saya pamit. Tolong pintunya.”
Kudengar Andrew menghela napas panjang. Aku tak perlu merasa bersalah atau ragu. Tindakanku untuk diriku. Yang nantinya hidup dengan Andrew—kalau aku jadi menikah—adalah diriku. Lantas, jika dasar kami memulai sesuatu saja berdasar pada hal yang rapuh seperti itu, akan dibawa ke mana kami ini?
“Tapi ... kita masih bisa ... ehm ...”
Gerakku menurunkan kaki di latar parkiran sedikit terhenti. Menoleh sesaat dan melihat Andrew yang tampak kehilangan kepercayaan diri barang sesaat. “Kenapa?”
“Bisa kah kita tetap berteman?”
“Kita teman, kok, Pak Andrew. Jangan lupa, relasi bisnis.” Kututup kata-kata itu dengan senyum kecil. Sekadar mengantar satu kepercayaan, kalau penolakanku bukan keburukan. Sebagai balas, ia lantas tersenyum.
“Terima kasih.”
Hingga ekor mobilnya menghilang dari pandangan, baru lah aku menyusuri area lobby menuju unit apartementku. Menenangkan diri kali ini sangat aku butuhkan. Andrew masih muda. Menyala terang. Masih banyak gadis muda, yang dengan suka cita menyerahkan dirinya di depan Andrew. Aku yakin itu.
Kecuali aku.
Bagiku ... aku sudah bahagia.
***
“Ya, semua report sudah kamu email?” tanyaku tanpa melepas pandangan dari tablet. Hady melaporkan perkembangan jalannya sistem baru kami agar lebih terprogress dengan tepat. Cara kerjanya hebat, aku akui itu. Tak banyak bicara tapi step yang ia ambil, terarah dan terukur. Aku suka kerja sama dengan orang seperti Hady. Umpan tawaran gaji yang naik signifikan dari tempat lamanya, berhasil ia makan.
Tak masalah bagiku asal sesuai dengan kinerjanya. Penghargaan terhadap satu keahlian bukan kah dari salary? Kalau bicara mengenai take and give antara karyawan dan staff. Sayangnya, Rendra selalu meremehkan. Katanya aku berlebihan. Kalau kusudutkan dia cemburu, Rendra makin manyun.
“Tinggal sekali lagi Yaya cek, Bu. Lima menit ditunggu.”
Aku mengangguk dan kembali masuk ke ruangan. Sudut mataku memperhatikan dua perempuan yang mejanya saling berhadapan. Sama-sama sibuk dan berkonsentrasi penuh. Minggu ini memang agak sibuk karena selain akan memasuki kuartal tengah, juga aku mempersiapkan meeting besar dengan para pemegang saham.
Sudah tiga hari ini, aku bersyukur kalau mengingat, tak ada lagi gangguan dari Andrew. Hidupku kembali. Rutinitas padatku masih membuntuti tapi aku menyukainya. Rasanya damai, tentu saja.
Dering ponselku menginterupsi konsentrasi membaca laporan Hady. Kulirik nama salah satu klien potensial, tertera. Aku segera meresponnya. Bicara mengenai banyak hal terutama perpanjangan kontrak untuk masalah ekspedisi. Biasanya kalau proyek bernilai milyaran rupiah, sudah bukan manager marketing lagi yang melobby. Tapi aku. Kebanyakan dari mereka juga ingin, kepalanya yang turun tangan. Mungkin ... kredibilitas yang jadi pertaruhan. Aku tak pernah menjadikan ini sebagai masalah.
Ketika diriku asyik berdiskusi, pintu dibuka dengan buru-buru. Yaya menatapku dengan pandangan menakutkan sementara sebelah tangannya, menjepit ponsel di telinga.
“Kak ... Papa,” katanya dengan suara berbisik tapi kurasa ada gemetar di sana.
Keningku berkerut. “Baik, Pak. Dua hari lagi kita meeting? Biar leluasa? Oke. Saya atur waktu segera.”
“Kenapa, Ya?” tanyaku bingung. Setelah memastikan sambungan teleponku terputus dengan pihak Tokepedua.
“Papa mau bicara, Kak.”
Kuambil ponsel Yaya dengan hati penuh tanya. “Assalamu’alaikum, Pa,” kataku setelah memastikan mendengar suara Papa di sana.
Detik yang kutahu, hanya ada satu kabar yang langsung membuat jiwaku terengut paksa saat itu juga.
Kakek Willy.

Komentar Buku (85)

  • avatar
    Asepmuh.zakwan

    mantap ini sih

    11d

      0
  • avatar
    Muhammad Khairun Nizam Bin Hashim

    ✌🏻 ⭐️⭐️⭐️⭐️

    28d

      0
  • avatar
    Wn07Ardian

    mantap

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru