logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

3. Bertemu Tuan CEO

Udara lembab pegunungan meresap menembus kulit, membuat tubuh ini mengiggil dan wajahku seperti membeku, pakaian yang kukenakan memang tidak layak untuk hawa dingin menusuk seperti ini.
Bos gendut masih terus berbincang dengan pria asing tersebut, sesekali pandangan mereka menatap tajam dan itu jauh membuatku merasa merinding dibandingkan hawa dingin yang berbincang. Situasi ini semakin membuat ketakutan, karena memang faktanya bos gendut adalah pemenang lelang atas tubuhku.
Seorang pria muda masuk tergopoh-gopoh, tanpa mengucapkan salam dan langsung menemui pria asing dan bos gendut yang masih duduk di depanku, dan mereka mulai bercakap-cakap menggunakan Bahasa Indonesia.
"Amila, lo ikut dia." Perintah si bos, sembari menatapku dalam. Sopir pribadinya segera mendekati dan menyerahkan map yang sedari tadi di pegangnya dan memberikan kepadaku.
"Nanti lo kasih map tersebut kepada olang yang ental Lo temuin nanti," ucapnya lagi, dan aku hanya mengangguk perlahan.
"Ayu, kamu ikut saya," ucap pria muda yang baru datang tadi. Aku segera beranjak dari tempat duduk dan mengikuti langkahnya, diikuti oleh semua orang yang ada di situ.
"Lo kasih selvis yang bagus sama olang itu, setelah ulusan lo selesai tunggu saja di depan vila, nanti di jemput, lo ngelti." Tegas bos gendut, sesaat akan menaiki motor mengikuti pria muda tersebut. Sekali lagi aku mengangguk.
"Dekat ko, hanya berselang beberapa rumah dari sini," ujar pria itu, saat aku sudah ada di boncengan motornya.
Mungkin hanya dua menit, kami sampai di rumah yang hampir sama dengan yang tadi, hanya warna cat bangunannya saja yang berbeda. Sepertinya masih di dalam lingkungan komplek yang sama.
"Kamu tunggu di sini sebentar." Pria itu segera masuk ke dalam vila tersebut, dan tidak lama keluar lagi bersama pria paruh baya yang sepertinya penunggu rumah ini.
"Kamu ikut bapak ini, setelah urusanmu selesai tunggu saja di depan teras, nanti kujemput lagi," ucap pria muda itu.
"Baik, Bang," jawabku, dan mulai mengikuti si bapak masuk kedalam rumah, dan si pria tersebut langsung berlalu dengan motornya.
"Duduk dulu neng!" ujar si bapak, sesaat setelah kami berada di ruang tamu, dan dia langsung masuk kedalam, sebentar kemudian langsung keluar rumah dan menutup pintu dari luar tanpa berbicara lagi.
Sendiri di ruang tamu yang lumayan luas, dengan map berada dipangkuan. Resah, gelisah ... apa yang akan terjadi dengan nasibku selanjutnya, apakah hanya akan berubah pemangsa saja, sementara terlepas dari mulut Singa dan Srigala justru malah menjadi santapan Buaya, aku hanya bisa berpasrah kepada pelindung takdir hidup.
Aku percaya jika Sang Pelindung itu ada, yang mengatur dan merencanakan hidup kita kedepannya, tidak terlihat tetapi hatiku sangat meyakini Dia yang mengatur semua, terkadang mungkin karena keceplosan ataupun lelah dengan hidup yang dijalaninya, tante banci pun suka bercerita tentang Tuhan, walaupun saat dia menyadarinya dia tidak mau lagi membahas tentang itu, tetapi aku selalu teringat tentang sosok Tuhan yang tante banci ceritakan.
"Kamu siapa?" terdengar suara berat bertanya kepadaku, sedikit mengagetkan di tengah-tengah lamunan tadi. Sekejap kumenoleh dan bertatap mata dengan pemilik suara berat tersebut. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap dan entahlah, ada kesan kewibawaan dalam dirinya, menatap dalam dengan wajah bersihnya yang memancarkan cahaya ketenangan dan pesona yang terpancar. Ada rasa kenyamanan merambat dalam diri, semoga apa yang terlihat dan terasa bukanlah sebuah tipuan belaka.
"Sa--saya, Amira tuan," jawabku, sedikit terbata.
"Ada urusan apa, Kamu menemui saya?" selidiknya, sembari tetap menatapku dalam, dan aku tertunduk tidak mampu lagi melihat tatapan matanya.
"Sa-saya, tidak tahu Tuan," jawabku, pandanganku tetap menunduk dalam.
"Ko bisa, Kamu sendiri tidak tahu, tiba-tiba ada di tempat penginapan Saya." Pertanyaannya masih terus menyelidiki keberadaanku disini.
"Saya hanya di suruh tuan, tanpa saya tahu apa maksudnya."
Pria itu mendekati, dan duduk pas dibangku seberangku, yang hanya terhalang dengan sebuah meja.
"Yang Kamu bawa itu apa?" tanyanya kembali.
"Entahlah Tuan, Saya benar-benar tidak tahu."
"Coba Kamu berikan pada Saya," ucapnya, sambil tangannya disodorkan ke arahku, meminta map yang sedari tadi ada di pangkuanku.
Kuberikan map tersebut, sembari memberanikan diri menatap ke arahnya. Di buka-buka map itu sebentar olehnya, dan sedikit bergumam dia berkata.
"Hmm ... benar ternyata adanya." Diletakkan map tersebut di atas meja, sesaat pria itu terdiam, sembari matanya tetap menatapku dalam.
"Siapa Kamu sebenarnya? Apakah kamu semacam upeti yang di berikan?" terus saja mencecarku dengan banyak pertanyaan.
"Upeti itu apa, Tuan?" tanyaku, karena memang tidak tahu maknanya.
"Sudahlah, jika kamu tidak tahu, tidak apa-apa."
Pria paruh baya itu segera berdiri dan masuk ke ruangan dalam, tetapi tidak beberapa lama, Ia keluar lagi dengan membawa dua gelas minuman.
"Minum dulu teh manis hangat ini, badanmu kulihat menggigil kedinginan," ujarnya, sambil terus menatapku tajam.
"Terima kasih, Tuan." Segera kuambil gelas itu dan meminumnya perlahan, Pria dewasa ini memang benar, tubuhku benar-benar merasa kedinginan.
"Berapa usiamu?" tanyanya.
"Jalan empat belas tahun, Tuan."
"Kamu tahu, kenapa kamu di suruh menemui saya dan untuk apa?"
Aku terdiam, menunduk dalam, walaupun tahu alasannya, tetapi tidak punya keberanian untuk menjelaskan.
"Kamu tahu, jika tubuhmu sengaja di serahkan untuk saya!" ada penekanan pada perkataannya. Aku tetap tertunduk diam.
"Kamu suka rela menyerahkannya?"
Aku tertunduk diam, berusaha mengendalikan debar di dada, menarik napas dalam-dalam, dan memberanikan diri bicara.
"Itu bukan inginku, Tuan," jawabku, sesaat memberanikan diri menatap ke arah pria tersebut.
"Sedari kecil, aku tidak punya hak untuk menentukan hidupku sendiri, semua sudah ditentukan oleh orang yang mengasuhku."
"Maksudnya?" tanyanya lagi, sembari meminum teh, tatapan matanya tidak lepas ke arahku.
"Dari bayi, aku dan beberapa kawan yang lain, diasuh hanya untuk dijual keperawanannya, Tuan," ujarku, air mata ini mulai mengembang.
Terlihat, pria paruh baya itu menarik napas panjang, dan menyenderkan tubuhnya di kursi yang didudukinya.
"Siapa, namamu?" tanyanya.
"Amira, Tuan."
"Kamu sudah Makan?"
"Be--belum Tuan," ucapku terbata, "Hanya makan sedikit jagung bakar tadi."
"Kamu mau makan apa?" tawarnya, kepadaku. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Apa saja, Tuan." Sembari mendekap tubuh, melawan rasa dingin yang menerkam.
Pria itu memainkan gawainya, bertelpon sebentar, lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam. Kembali mendekat dengan membawa selimut di tangannya.
"Pakai ini, untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil menyerahkan selimut. Sekilas tersenyum.
"Terima kasih, Tuan." Pria itu kembali duduk di tempat semula, dan terdiam sejenak.
"Kamu dibayar berapa, untuk melakukan pekerjaan ini?" tanyanya, menyelidiki.
"Ini bukan pekerjaan, Tuan. Saya pun tidak mau melakukan pekerjaan hina ini." Air mataku mulai membasahi pipi.
"Saya tidak punya kekuatan dan keberanian untuk menghindari ini semua, di mata pengasuh, kami hanyalah barang yang bisa diperjualbelikan semaunya," tegasku, sembari menyeka air mata.
"Berarti, kamu tidak tahu siapa orang tuamu."
"Tidak tahu, Tuan." Tangisku semakin terisak, sesak rasanya.
"Siapa nama pengasuhmu?"
"Mami Merry, Tuan."
"Mami Merry, baik terhadap kalian?" tanyanya lagi. Tangisku semakin kencang, mengingat bagaimana perlakuan mami terhadap kami semua, anak asuhnya. Aku terdiam, berat untuk bersuara.
"Setelah kamu dianggap selesai melayaniku, lalu kau akan kembali kepada pengasuhmu?"
"I--iya, Tuan."
"Lalu?"
"Kami harus melayani tamu yang datang, Tuan."
"Kamu, mau?" tanyanya, aku menggeleng perlahan.
"Tolong saya, Tuan ... keluarkan saya dari jalan kotor ini," lirihku, mengiba, meminta pertolongan, dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Bagaimana caranya menolongmu?"
"Sa--saya tidak tahu, Tuan." Jemariku, menghapus genangan air mata dengan selimut.
"Kamu bersedia, jika saya memintamu untuk melayani saya," ucapnya pelan. Terhenyak aku mendengar ucapannya, tertunduk dan terdiam sesaat.
"Saya hanya benda, Tuan. Sudah terjual, bebas untuk digunakan pembelinya, saya tidak punya kekuatan apapun untuk melawan."
"Kamu tahu, jika kamu sebenarnya cerdas?"
"Benda tidak bisa berfikir, Tuan. Tidak berhak untuk membuat pilihan." Pria itu tertawa pelan, tidak lama terdengar suara pintu diketuk dari luar, pria itu segera berdiri dan berjalan ke pintu utama, kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi makanan, dan diserahkan kepada ku satu.
"Kubelikan Nasi goreng, makanlah dulu."
"Terima kasih, Tuan. Terima kasih." Mengambil nasi goreng dari tangannya.
Entahlah, mungkin karena rasa lapar yang mendera, hingga terasa Nasi goreng ini nikmat sekali, sementara pria paruh baya itu memilih untuk memakan ketoprak, tidak ada pembicaraan sama sekali di antara kami, selain hanya sibuk menikmati makanan yang tersaji.
"Ceritakan padaku tentang Mami Merry?" tanyanya, selesai kami menghabiskan makanan.
"Mami Merry, menjual kami setelah selesai mendapatkan haid pertama kali, menjual keperawanan kami dengan cara ditawarkan kepada pembeli tertinggi," jelasku.
"Berapa hargamu?" tanyanya, pria itu menyalahkan rokok, dan mengisapnya perlahan.
"Saya tidak tahu, Tuan," jawabku, sembari meminum teh yang tadi dibuatkan, perasaanku mulai merasa tenang walau hanya berdua dengan pria tersebut.
"Panggil saja aku, Darmawan," ucapnya, "Boleh, Pak, Om, atau pun mau sebut nama saja, terserah kamu," ujarnya, sambil terus mengisap dalam rokoknya, tatapan matanya tetap memperhatikan aku.
"Baik, Om." Aku kembali tertunduk, tidak berani menatap ke arahnya.
"Selesai menjual keperawananmu, lalu akan Kamu lanjutkan menjadi sebuah profesi?" pertanyaannya benar-benar mengoyak hatiku.
"Saya tidak pernah menjual kehormatan saya, Om! Saya terpaksa. Jika menolak, bisa mati disiksa dan dibunuh Mami Merry dan tukang pukulnya," jelasku, tegas. Air mata ini mulai mengembang kembali.
"Maaf, jika membuatmu tersinggung, Mira." Om Darmawan mematikan rokoknya di asbak, dan meminum kembali tehnya.
"Kamu di sekolahkan pengasuhmu?"
"Tidak, Om. Saya tidak pernah bersekolah," jawabku. "Om, boleh saya ijin ke kamar mandi?"
"Silahkan, Kamu lurus saja, kamar mandinya ada di sebelah kiri." Tangannya menunjuk ke arah pintu ruangan dalam. Aku pun segera berdiri dan mengikuti arahannya.
Memperhatikan wajah diri di depan cermin kamar mandi, terlihat wajah gadis belia yang di paksakan dewasa, dengan makeup tebal dan lipstik berwarna merah terang, aku merasa jijik melihat mukaku sendiri. Membasuh wajah, membersihkan semua riasan, lalu mengelapnya dengan handuk kecil, berkaca sesaat, dan tertegun sejenak.
"Apakah aku sudah terlepas dari cengkeraman manusia buas?" tanya bathinku.

Komentar Buku (284)

  • avatar
    L U X YOpet

    mantap undang gua dong

    6d

      0
  • avatar
    timRadenk 97

    bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    YusriHelmi

    menanti kelanjutan ceritanya

    19d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru