logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Harapan Gio

Belinda menyandarkan punggung pada sofa dan menghembuskan napas lelah. Semua yang dikatakan Hasan terasa benar di telinganya. Seandainya semua itu, dikatakan jauh sebelum ia menerima pernikahan yang dirancang oleh Jendra Handari, semuanya tentu tidak seperti saat ini. Menghadapi kehamilan seorang diri bukanlah perkara mudah.
Memiliki suami, tetapi tetap hidup dalam kesendirian atau sebatang kara sudah biasa Belinda rasakan. Jangankan suami yang tidak mencintainya, ibu yang melahirkan dirinya dan selalu berbuat kasar saja selama ini, bisa dihadapi. Kepasrahan, itu yang membuat Belinda bisa bertahan. Toh, pernikahan ini terjadi demi sang ayah yang terbaring lemah tidak berdaya, sementara saudaranya yang lain tidak bisa membantu. Syukur-syukur mereka masih bisa memberikan bantuan untuk makan sehari-hari.
Lahir dari keluarga sederhana tidak membuat Belinda meratapi nasib. Hanya saja, kadang kala timbul rasa penyesalan di dalam diri jika mengingat semua. Sifat tidak tega dan janjinya pada pria tua itu, membuat dirinya terseret dalam arus hubungan tanpa cinta dengan Gio Zaron, cucu dari pria baik hati yang sudah membantunya untuk meneruskan pendidikan dan bahkan memberikan dirinya pekerjaan, hanya karena Belinda pernah menolong Jendra saat akan terserempet sebuah mobil.
“Semuanya sudah terlambat sekarang,” jawab Belinda seraya menunduk, kepercayaan dirinya sedang terguncang saat ini.
Ia baru menyadari sangat membutuhkan teman bicara. Namun, untuk bercerita pada seseorang seperti Hasan yang muncul entah dari mana, sangat tidak mungkin. Apalagi, pria itu tampak memusuhi suaminya. Sungguh aneh, karena jika dirinya tak salah ingat Hasan yang meminta Gio untuk tidak meninggalkan Tasia. Sekarang, pria itu meminta dirinya untuk meninggalkan Gio dan meminta bantuan kepadanya? Ini lebih tidak masuk akal.
“Semua belum terlambat. Setelah melahirkan, bercerailah dari Gio dan carilah aku.”
“Kenapa kamu kembali? Bukankah, kamu sudah pergi jauh? Kamu teman Mbak Tasia dan Gio. Kenapa kamu ingin membantuku?”
“Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di kota ini.”
“Itu tidak menjawab pertanyaanku. Baiklah aku harus pergi sekarang. Aku tidak mau Gio pulang dan tidak mendapati aku di rumah.”
Pria bernama Hasan itu mendengkus lalu tertawa lirih meremehkan. “Apa kamu pikir suamimu peduli dengan hal itu?”
“Tentu saja dia akan peduli,” balas Belinda yang tidak ingin orang lain terlalu ikut campur urusan rumah tangganya, termasuk pria tampan di depannya saat ini yang setahu Belinda merupakan sahabat sang suami dan juga kenalan dari Tasia, calon madunya jika sang suami benar-benar akan menikahi wanita itu.
“Suatu hari kita akan bertemu kembali dan kamu akan meminta bantuan dariku. Aku cinta kamu, Linda.”
Belinda tidak menyahuti ucapan pria yang memiliki rasa percaya diri sangat tinggi itu. Dengan perutnya yang besar, wanita itu segera bangkit dari sofa, lalu pergi dari sana. Ia bisa melihat pintu gerbang rumahnya dari kafe ini yang letaknya juga berdekatan dengan kios salah satu ekspedisi langganannya untuk mengirim hasil kerjanya. Ia tidak ingin selalu dianggap sebagai parasit, walau kenyataan sebenarnya jelas tidak bisa dikatakan demikian. Bukankah sudah menjadi tugas seorang suami untuk menafkahi istrinya?
Belinda tersenyum tipis. Dia sangat tahu sang suami belum pulang, walau saat ini jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Seperti malam-malam sebelumnya, ia akan menikmati kesendirian di rumah itu. Mungkin mereka memang tidak ditakdirkan bersama.
Pemikiran itu sering datang akhir-akhir ini. Satu hal yang pasti, Belinda tidak ingin sendirian lagi. Ia perlu tempat untuk merasakan kembali, seseorang yang menjadi tujuannya. Tanpa sadar ia mengusap perutnya.
Wanita itu mulai menyadari, dengan atau tanpa keberadaan Gio, ia memiliki bayinya. Dia akan membawa pergi bayinya jika memang pernikahan ini tidak bisa dipertahankan. Cukup dirinya saja yang merasa sudah menjual diri pada keluarga orang tua itu demi pengobatan sang ayah, yang ternyata tetap pergi untuk selamanya.
Udara malam sudah mulai menerpa. Sambil berjalan kaki, ia membenarkan kaitan tas berisi bahan makanan dan membetulkan cardigannya. Namun, ternyata dugaan Belinda salah, begitu membuka pintu pagar, sang suami sudah berada di halaman depan dan duduk di pembatas taman yang terbuat dari beton.
“Dari mana saja kamu?” tanya Gio dingin seraya memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana dan bangkit sambil bersedekap.
“Dari kafe.”
“Dengan perut sebesar itu saja, kamu masih tebar pesona?” ujar Gio seraya menatap ke arah perut Belinda.
Spontan Belinda memeluk perut buncitnya dengan posesif. “Siapa yang tebar pesona? Jangan konyol. Aku hanya suntuk, butuh olahraga dan hiburan juga demi kelancaran kelahiran nanti.”
“Sudah semakin jago berdebat kamu sekarang, ya. Kamu pikir dengan berbuat demikian aku akan menceraikan kamu?"
“Jika memang bisa membuat hal itu terjadi, silahkan saja. Toh, aku tidak menuntut harta gono-gini darimu.”
“Jangan mimpi. Kamu sudah mendapatkan lebih dari yang seharusnya. Jangan lupa, jika anak itu perempuan, aku akan segera menceraikan kamu.”
Begitu selesai ucapan Gio. Pintu mobil bagian penumpang terbuka dan turunlah wanita cantik bernama Tasia.
“Jangan khawatir aku bahkan tidak menggunakan uangmu untuk modal tebar pesonaku. Apa kamu ingin bukti?” ujar Belinda setelah melirik keberadaan Tasia sekilas dan segera berjalan dengan langkah lebar ke arah pintu tanpa menunggu jawaban dari Gio dan membukanya.
Lihat bukan, ucapan Gio kadang membingungkan. Satu sisi ia bilang tidak akan menceraikan Belinda karena harta, tetapi disisi lain, ia juga akan segera menceraikan dirinya jika mengetahui anak yang dilahirkannya seorang perempuan.
“Silahkan, anggap saja rumah sendiri,” ujarnya karena tahu sepasang anak manusia itu mengikuti dari belakangnya.
Belinda dengan acuh meninggalkan Gio dan Tasia seperti biasa. Dia lalu menyusun bahan makanan dan segera menuju ruang laundry, menghabiskan waktu sore menjelang malam ini dengan merajut dan melipat pakaian bayi yang dibelinya secara daring.
Sementara itu, Gio yang sedari tadi memendam keresahan, menahan diri untuk tidak menghubungi sang istri karena keberadaan Tasia. Bagaimana dirinya tidak panik, saat mendapati rumah dalam keadaan kosong, sementara sang istri hamil besar dan ia sendiri tidak membawa kunci cadangan. Apalagi, Tasia sudah mengomel, mendesak Gio untuk segera menghubungi Belinda. Gio memang menghubungi Belinda pada akhirnya, tetapi ponsel wanita itu dalam keadaan mati.
Begitu ia selesai menelepon, muncullah wanita yang ditunggunya. Kelegaan seperti tersiram air sejuk mendera hatinya. Istrinya tampak baik-baik saja, hanya saja kegiatan di luar ini sungguh tidak ia sukai. Gio khawatir ada sesuatu yang akan terjadi pada Belinda.
Sebetulnya ia cukup jengkel, pasalnya bertahun-tahun tidak menemukan keberadaan Hasan dan juga tidak bisa menemukan pelaku yang sering meneror dirinya. Orang tersebut sangat ahli, itu sebabnya Gio menunda memiliki anak. Namun, rejeki tak mungkin ditolak. Sebentar lagi, ia akan menyandang status sebagai seorang ayah.
Gio juga belum bisa memutuskan hubungan dengan Tasia. Ia masih ingin mengorek informasi tentang keberadaan Hasan dari wanita itu. Ia sangat yakin Tasia masih berhubungan dengan sahabatnya itu. Gio yakin, jika Hasan masih hidup di antah berantah saat ini.
Gio yang awalnya tidak mencintai Belinda begitu menikah dan mengenal wanita itu, menjadi tak bisa berpaling. Namun, tanggung jawab dari sang ayah mengharuskan dirinya untuk sering bepergian dan bersama dengan Tasia. Ini juga merupakan usahanya untuk mencari informasi tentang wanita itu. Begitu juga keluarganya yang cukup misterius.
Gio sengaja tidak meminta tolong pamannya saat ini, karena merasa apa yang sedang ia selidiki sudah mulai menunjukkan hasil yang diinginkan. Namun, berbicara kasar dan membuat wajah istrinya yang sedang hamil bersedih serta bersikap dingin, membuat dirinya turut bersedih. Hanya saja, ia belum bisa mengakhiri sandiwara ini. Harapan Gio hanya satu, semoga saja Belinda bisa bertahan disisinya. Seandainya situasinya terbalik, Gio sudah pasti pergi sedari dulu.
tbc

Komentar Buku (44)

  • avatar
    KullbetWahyu

    baguss bgett

    20d

      0
  • avatar
    Raihan Tsaqif

    good

    16/08

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    05/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru