logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

4. Bukan Salahmu

Kuabaikan notifikasi tadi dan kembali melanjutkan mencuci muka, mata ini terlihat agak sembab di kaca. Kacau sekali wajahku di sana, hari ini dan seterusnya semua akan kembali seperti semula. Sebagaimana pertama kali saling kenal.
"Dek ... Sudah belum, bentar lagi azan buruan. Ayah mau ke masjid."
"Bentar, Yah."
Dengan cepat kubasuh wajah dan mengambil wudhu, perfect sudah wajahku. Meski pun tanpa make up tetap saja cantik, hadeh PDku kumat. Abaikan! Segera kuangkat wajah dan keluar dengan wajah senyum, yah meski pun begitu hati ini masih nyeri.
"Nangis lagi?" tanya Ayah menatapku penuh selidik.
"Ga dong, Yah. Dedek'kan kuat," jawabku sambil tersenyum.
"Good."
Selagi Ayah mengambil wudhu kucari mukena di tempat beliau menyimpan peralatan salat. Ayah yang sudah keluar langsung mengambil peci dan sajadah.
"Ayah ke masjid dulu."
Kuanggukkan kepala dan langsung menggelar sajadah, karena masih ada waktu kuambil Al-Qur'an. Kubaca surat terakhir ayat Al-Baqarah yang artinya berbunyi.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."
Lalu kulanjut membaca ayat seribu dinar yang terdapat dalam surat At-Talaq, ayat kedua terakhir dan ayat ketiga yang artinya berbunyi.
"Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya,"
"dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu."
Air mataku menetes ketika membaca ayat di atas, bukankah semua sudah ditakar Allah begitu juga beban yang ada di hati ini. Berulang kali kuucap istighfar, rasa nyaman dan tenang hadir dalam hati. Aku termenung dan menangis.
Dosaku banyak, tapi malah menangisi hal sepele. "Astaghfirullah. Ampuni hamba Ya Allah," gumamku sambil terus beristighfar.
Azan Zuhur pun berkumandang menghadirkan rasa tenang, segera kutunaikan kewajiban. Dalam doa tidak banyak kupinta selain bisa membuat Ayah dan Bunda bahagia.
Berulang kali kuucap syukur atas ketenangan yang telah Allah berikan, bergegas kurapikan mukena dan memeriksa berkas untuk meeting siang nanti. Setelah menunggu hampir lima belas menit akhirnya Ayah pulang, kami pun segera makan yang tadi sudah datang sebelum beliau sampai.
Setelah selesai kami gantian mencuci mulut dan sikat gigi. "Ayah, PT Angkasa itu baru pertama kali, ya kerjasama dengan kita?"
"Iya, kenapa, Dek?"
"Tanya saja, Yah," jawabku sambil nyengir.
Beliau pun menggeleng-gelengkan kepalanya, kadang aku heran. Kenapa harus menggelengkan kepala, padahalkan aku tidak membuat ulah.
Tring!
'Siapa sih?' batinku kesal.
Namun, tetap saja kuambil Hp yang tak jauh dari tempat duduk. Begitu kubuka lagi-lagi notifikasi dari akun bernama Ali tadi, ternyata dia menglove postinganku.
"Dih kepo sekali nih orang," gerutuku kesal.
"Siapa, Dek?"
"Orang, Yah. Postingan Dedek yang sudah lama dilovein semua."
Ayah mendengar gerutuanku menjadi tertawa. "Mungkin dia suka sama tulisan kamu. Yah, sudah. Yuk," kata Ayah mengajakku keluar menuju ruang meeting.
Ruangan sudah ramai, manajer dan sekretaris serta orang yang ikut terlibat sudah berkumpul. Mereka semua menyambut kami dengan hormat, dan menyapuku dengan hangat. Kami pun terlibat pembicaraan yang akrab dan bertukar pendapat, lalu pintu pun diketuk membuat semua diam. Dari langkahnya dapat kudengar mereka ada tiga orang, benar saja mereka tiga orang.
Aku yang tadi memeriksa berkas langsung mengangkat wajah menatap mereka, betapa terkejutnya diri melihat manajer dari PT Angkasa. Dia pun terkejut dan langsung memanggilku. "Dek Zia," katanya terkejut mampu membuat diri ini membeku.
"Kak Deva," gumamku nyaris tak terdengar.
Beruntung Ayah segera memegang tanganku dan langsung meyadarkan, kubalas sapaannya dengan senyum singkat. Tidak ada jatuh cinta lagi dengannya tekadku.
Sepanjang penjelasan dan maksud kerja sama, mata Kak Deva tidak lepas menatapku. Rasanya membuat diri menjadi jengah, sesekali kubantu Ayah bicara dan dia ikut juga berbicara. Sampai terjadilah kesepakatan Ayah setuju bekerja sama dengan mereka.
Setelah kesepakatan di dapat aku meminta izin pada Ayah dan yang ada di sana untuk pergi, mereka semua menyilahkan. Ka Deva yang sepertinya tahu kalau aku sedang menghindar tidak bisa menghalangi, dia terus menatap sampai aku benar-benar keluar.
Begitu keluar aku langsung menuju ruangan Ayah dan menghempaskan tubuh di sofa, rasa sesak itu masih ada kali ini tidak akan ada lagi air mata yang terjatuh.
[Dek, Kakak sudah minta izin ke atasan ingin bicara denganmu. Bisakah kita bertemu di kafe depan kantor aku tunggu di sana.]
Mataku langsung membelak kaget dong, tiba-tiba saja dia mengajak temuan. Pasti akan banyak tanya hadeeh.
"Dek." Panggilan keras Ayah membuatku terlonjak kaget.
"Ayah," pekikku kaget sekaligus kesal.
"Kenapa? Mau temu sama Deva?"
Kok Ayah tahu, ya? Apa beliau bisa membaca pikiranku?
"Tadi dia minta izin ingin mengajakmu bicara," kata Ayah yang seakan tahu isi kepalaku.
"Menurut, Ayah temui jangan?"
"Temuilah, Nak. Tidak ada salahnya, jangan tunjuk'kan kalau kamu sedang menghindar, ya."
Mendengar nasehat beliau membuatku mejadi tertegun, benar kata Ayah tidak ada salahnya biar dia tidak curiga.
"Tadi dia kaget saat masuk melihat Ayah, makanya langsung sebut nama kamu," kata Ayah sambil tergelak.
"Bahagia banget lihat anaknya temu lagi sama orang yang ngeghosting," kataku dengan nada sedih.
"Sabar, ya. Sabar," kata Aya tetap tertawa. "Sana temui, ingat jaga diri dan marwah!"
"Siap bos," kataku sambil hormat.
Setelah pamitan dengan Ayah bergegas kulangkahkan kaki menuju kafe yang dimaksudnya. Mataku pun mencari dia yang duduk di meja tujuh belas, dengan cepat kaki ini melangkah ke sana. Setelah saling menjawab salamku dia mempersilahkan duduk.
"Ada apa, Kak?" tanyaku to the point.
"Kenapa Adek tidak membalas pesan Kakak?"
"Zia sudah ada di sini, Kak."
"Adek, Kenapa?"
"Kenapa? Apanya kenapa?" tanyaku seolah tidak tahu kemana arah pembicaraannya.
Dia menghela nafasnya dengan pelan, sebenarnya ada rasa tidak tega. Mau bagaimana lagi dari pada nanti dighosting? Lebih baik bersikap biasa saja.
"Kenapa Adek cuek dengan, Kakak? Berapa hari berbeda dan pesan Kakak tidak dibalas."
Mendengar perkataannya segera kuambil Hp dan mencari chatingan dengannya, setelah temu kuperlihatkan padannya.
"Siapa terakhir membalas pesan, Kak? Lalu siapa yang hanya read saja?"
Dia langsung diam dan menatapku, tapi segera tatapannya sama sekali tidak kubalas.
"Kakak pernah bilang jangan cueki, Kakak," katanya dengan nada lembut.
Sontak aku tertawa pelan mendengar perkataannya. "Jangan cuek?" tanyaku sambil tertawa membuatnya bingung.
"Zia sama sekali tidak cuek, tapi Kakak sendiri yang cuek. Kakak, menyapa dan akrab saat dia tidak ada," ujarku sambil tertawa sumbang.
"Maksud, Adek apa?" tanyanya dengan nada bingung.
Wajarlah dia bingung, karena dia belum tahu kalau aku mengetahu kisahnya dengan Kak Jesi.
"Adek, kenapa tiba-tiba begini? Kakak, ada salah apa sama, Zia?"
Salahmu banyak, Kak. Banyak sekali! Ingin sekali rasanya kuteriakkan itu, tapi rasanya tidak mungkin. Kugelengkan kepala dengan pelan. "Bukan salah, Kakak kok."
"Lantas kenapa, Adek bilang Kakak sapa Zia saat dia tidak ada? Apa Kakak mengganggumu, Dek?"
"Ini bukan salahmu, Kak dan Kakak sama sekali tidak mengganggu. Ini salahku," jawabku cepat.
"Kakak merasa, Adek tidak ada salah. Cuma Kakak heran kenapa Adek berubah cueki Kakak?"
"Zia tidak cuek," jawabku tegas. "Lupakan! Ada apa Kakak mengajak temu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dia langsung diam dan terus menatapku, berusaha membaca raut wajah. Sebisa mungkin aku bersikap biasa dan menatap keluar. Dia tidak bersalah di sini hatilah yang bersalah, bagaimana tidak baper kalau sikapnya saja begitu. Dedek betulkan? Coba deh kalian di posisi Dedek saat akan menjauh dan orang itu datang begitu perhatian. Melupakan atau kembali lagikah kalian?

Komentar Buku (92)

  • avatar
    XieYueLan

    Wehehe gak bisa bayanginnya punya suami orang Pakistan. Putri Yue udah hadir disini. hayo ingat gak aku siapa?

    14/08/2022

      0
  • avatar
    Noordiana Binti Abdullah

    so good

    4d

      0
  • avatar
    Budi Mahesa

    good

    13d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru