logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

2. Luka

Hari ini tak ada semangat bagiku, usai sholat dengan malas keluar kamar membantu Bunda. Di sana sudah ada Ayah yang baru pulang dari masjid.
"Pagi, Sayang," sapa mereka.
"Pagi." Kujawab lengkap dengan seulas senyum, mereka tidak boleh tahu kalau hati masih galau.
"Nanti weekend kita mau kemana?"
"Terserah Zia saja, Yah," kata Bunda menatapku.
Aku yang ditatap begitu hanya bisa mengangkat bahu, "Kemana saja Dedek ikut."
Ayah dengan segala rencana mengajak kami pergi ke kampung nelayan, tapi aku hanya mengangguk-angguk saja. Setelah nasi goreng siap kami makan dalam diam, usai makan Ayah dan Bunda bersiap pergi ke tempat usaha mereka.
"Dedek, nanti mau ikut Bunda atau Ayah?"
"Clientnya siapa?"
"PT Angkasa."
"Kalau, Bunda?"
"Itu butik Khan, katanya pemilik butik itu dari luar negeri."
Luar negeri? Mendengar kata itu langsung kupilih ikut bunda, tentu saja ayah kesal.
"Ayah, ga boleh ngambek," kataku menggoda beliau.
"Bundamu itu tahu saja cara ajak kamu, setiap meeting sama clien ajak kamu. Giliran Ayah meeting engga pernah ikut," kata ayah cemberut.
Mendengar perktaan beliau tentu saja kami tertawa, baru kemarin aku tidak ikut beliau. Kemarin-kemarin yang menemani beliau meeting siapa kalau bukan aku. Hadeeh.
"Ayah, baru kemarin Dedek di rumah loh. Kemarin-kemarin Dedek ikut setelah itu baru nemui client, Bunda."
Ayah mengerutkan keningnnya dan memainkan mata menatap ke atas seakan berpikir, kemudian dia tertawa sepertinya beliau baru sadar.
"Iya, ya. Ayah, lupa," kata beliau nyengir tak lupa mengusap puncak kepalaku. "Ya, sudah nanti susul Ayah kalau meeting dengan Bunda sudah selesai," lanjut beliau.
"Kalau Zianya mau," ledek Bunda.
Hadeh, pagi-pagi mereka sudah mulai ribut lagi. "Stop! Nanti Dedek susul, Ayah. Asal jamnya tidak tabrakan," putusku.
"Good baby," kata mereka senang.
"Ya, udah selamat kerja Ayah, Bunda. Semangat, ya. Ingat anak kalian satu ini butuh milkita," kataku sambil menyalimi dan mencium pipi mereka.
"Milkita mulu," cebik mereka kesal.
"Enak loh," kataku meniru salah satu iklan di TV.
Mereka hanya geleng-gelengkan kepala melihatku, beginilah kalau punya anak penyuka milkita. Semua lewat kalau ada milkita, kelakuan siapa itu? Ya, akulah.
Rasanya waktu cepat berlalu, kulirik jam sudah menunjukkan angka setengah sembilan. Lebih baik segera ganti baju dan pergi ke butik bunda. Kupilih gamis berwarna biru tak lupa blezer biru tua, dengan hijab senada begitu pun dengan tas. Ngomong biru warna fovoritku setelah putih. Setelah siap tidak lupa berkaca.
"Perfect, saatnya lets go."
Kukendarai mobil dengan santai, butik FSD Colection yap itulah nama usaha Bunda. Nama perusahaan ayah juga FSD, dulu aku tidak tahu kalau itu singkatan nama mereka. Dengan riang segera kuparkirkan mobil dan masuk ke dalam, karyawan menyapa dengan ramah.
"Bunda sudah pergi?"
"Masih di atas, Dek."
"Oke, nanti Dedek nyusul," kataku tak lupa tersenyum.
Semua karyawan tak kuizinkan memanggil diri ini nona, kecuali pada pengunjung yang datang. Bunda pun begitu beliau tak suka dipanggil bu bos dan lebih suka dipanggil bunda.
Kulihat sudah banyak baju-baju yang kosong, segera ke ruangan sebelah. Di sana para karyawanan sibuk menjahit gaun. Yap, di sebelah tempat menjahit dan sebelah menjual hasil jahitan, lalu ruangan atas khusus pertemuan dengan clien. Namun, hari ini sepertinya kami akan bertemu di luar.
"Ada kesulitankah?" tanyaku pada mereka.
Mereka menggeleng dan kembali fokus, "Jangan lupa istirahat dan saatnya salat berhenti," pesanku.
"Baik, Dek."
Mendengar jawaban mereka membuatku tersenyum, dan segera meraih HP dalam tas. "Kak," ujarku pada karyawan yang sedang memotong dasar.
"Ya, Dek?"
"Nanti, saat istirahat ambil makanan di ruang sebelah." Usai mengatakan itu aku bergegas kembali kesebelah.
Suasana lumayan ramai, mataku pun menatap salah satu pengunjung di sana. Itukan? Belum sempat ingin pergi dia sudah melihatku.
"Zia," panggilnya sembari mendekat.
Berusaha kupasang senyum manis dan mimik wajah bahagia. "Hai, Kak," sapaku dengan suara sedikit bergetar.
"Kamu di sini juga? Mau beli apa?"
"Emm, anu, Kak. Mau,-"
"Dek, bunda sudah menunggu di atas ada yang mau ditanyakan dan di suruh-suruh siap-siap."
Mati aku, ketahuan sudah kalau begini.
"Bunda?"
"Iya, Bunda Zia, Kak."
"Kak Jesi, pilih saja, ya. Zia temuin bunda dulu."
"Zia, tunggu."
"Iya, Kak kenapa?"
"Kamu anak pemilik butik ini?"
Kusenyumi saja dan segera berlalu, paling tidak suka kalau ada yang bertanya tentang diriku. Aku tidak ingin mereka memperlakukan istimewa itu saja.
Biarlah kak Jesi dengan pikirannya sendiri, tidak kusangka bertemu dia. Kalau kalian bertanya kenapa aku menghindar, jawabannya hanya satu dialah masa lalu yang membuat hati ini terluka. Drama sekali, ya. Lupakan lebih baik segera temui bunda.
"Bunda, Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh. I'm coming."
Bunda melihatku dengan geleng-geleng kepala, "Waalaikumusalam warohmatullahi wabarokatuh. Sini," panggil beliau.
"Coba cek surat kontraknya."
Segera kuambil dan kubaca, ternyata membacanya tidak sesulit membaca hatinya. Baiklah sepertinya bagus, kuanggukkan kepala sebagai tanda setuju.
"Yuk, berangkat."
"Se-sekarang?"
"Iya, Sayang. Jam setengah sepuluh nanti mereka datang ke sana."
"Jom berangkat, Bunda yang setir, ya."
"Mudah diatur," kata beliau sambil tersenyum.
Kubawa tas kerja bunda dan turun ke bawah, ternyata kak Jesi tadi belum pulang dan masih mengobrol dengan karyawan di sana.
"Zia," panggilnya mendekat.
"Bunda duluan, ya. Zia temuin, Kak Jesi dulu," kataku pada Bunda.
Bunda mengangguk dan tersenyum sekilas ke arah kak Jesi.
"Kakak, mau ajak kamu ke cafe, Dek. Kita ngobrol," katanya senang.
"Emm, Kak. Zia mau temani bunda dulu. Habis dari sana nanti Zia temui, Kakak, ya. Kirim saja lokasi," ujarku dengan mengedip-ngedipkan mata.
Terlihat jelas kalau kak Jesi kecewa, tapi aku tidak bisa karena sudah janji dengan bunda. "Kakak, mau cerita tentang kak Deva'kan?"
Melihat senyumnya yang malu-malu, entah kenapa ada rasa nyeri di hatiku. 'Aku harus kuat, pasti kuat,' batinku dengan wajah terus tersenyum.
"Adek, tahu saja," katanya dengan memukul pelan pundak.
"Ya, udah. Nanti share location saja, Kak. Bye," kataku berpamit. "Oh, ya, Kak. Nanti kalau ada yang mengantarkan makanan, kasih ke sebelah juga, ya. Tadi Zia sudah suruh ambil ke sini," pesanku pada karyawan di sana.
Setelah itu aku bergegas keluar karena bunda sudah menunggu, tak lupa kulambaikan tangan ke arah kak Jesi.
Dia pun tersenyum dan melambaikan tangannya, "Jangan lupa kabari, Kakak kalau sudah, ya." Kujawab perkataannya dengan acungan jempol.
"Siapa?" tanya Bunda begitu masuk ke mobil.
"Teman," jawabku singkat.
Bunda mengangkat bahunya singkat kemudian menancapkan gas dan jalan. Sepanjang jalan mataku menatap keluar, hiruk piruk kota tidak mampu usir sesak yang melanda. Kuhela napas dan mengambil Hp dari dalam tas, lebih baik mengirim pesan pada ayah.
[Ayah, jam berapa meetingnya nanti?]
[Jam satu siang, Dek. Adek sudah berangkat?] Balas dan tanya beliau cepat.
[Masih di jalan mau temani bunda, Yah. Nanti habis Zuhur Dedek ke kantor.]
Pesanku hanya diread gaes, pasti ayah sedang sibuk. Huft.
"Wanita tadi teman kamu atau ada hubungannya dengan orang yang ghosting kamu?"
"Dedek, males bahasnya, Bun. Lagian, Dedek mau lupain dia," jawabku menatap ke luar jalanan.
"Jadi itu masa lalunya Deva?"
Kuanggukkan kepala dari pada makin banyak pertanyaan bunda membuatku makin mengingatnya. Genggaman tangan bunda membuatku tersentak dan menatap beliau yang tersenyum manis, "Anak Bunda hebat. Bunda bangga sama kamu."
"Maksud, Bunda?"
"Sebentar lagi kita sampai, berkas tadi jangan lupa," ingat bunda mengalihkan pembicaraan.
Bunda bangga denganku? Kenapa? Entahlah, lebih baik fokus pada meeting saja. Kami lebih dulu tiba di sana, terlihat wanita seumuran bunda tiba dan melambaikan tangan dan meereka begitu akrab.
"Ini anakmu, Fir?"
"Iya, Ren. Sayang, kenalin ini Tante Rena."
"Zia, Tante," kataku sopan sembari menyalaminya.
"Cantiknya, cocok nih sama anak pemilik butik tempat, Tante."
"Tante, ada-ada saja," jawabku canggung.
Setelah basa-basi, kami pun melanjutkan pembicaraan tentang kerjasama. Tante Rena dengan cepat setuju dan akan menyediakan kain yang kami minta beserta asesoris yang dibutuhkan, dan butik mereka akan menjadi bahan utama produk kami nantinya.
"Oh, ya. Nanti kalau tuan muda datang Tante kabarin kamu," kata beliau menggoda.
Kubalas godaannya dengan senyum canggung. "Kalau bisa suruh dia ke sini sekarang, biar mereka temu," kata bunda mengompori.
"Hahaha. Iyalah, nanti aku bicara sama ibunya biar mereka ke Indonesia. Kalau tidak salah suaminya akan kerja sama dengan suamimu, Fir."
"Oh, ya? Bos kamu juga bisnis property?"
"Iya, semoga saja nanti kalian bisa besanan."
What? Hadeh, gini deh kalau ibu-ibu dah temu. Mereka berbicara sana sini dan aku hanya menyimak, rasanya seperti obat nyamuk. Hampir satu jam akhirnya selesai juga obrolan ibu-ibu.
"Ya, udah salam kalau gitu aku pamit," kata Tante Rena sambil cipika cipiki.
"Kapan-kapan kalau tidak sibuk mainlah ke butikku, Ren," kata Bunda memegang tangan Tante Rena.
"Mudah diatur," jawabnya sembari tertawa kecil. "Oh, ya, Sayang. Tante pamit dulu cantik," katanya tak lupa mencubit pipiku gemas.
"Hati-hati, Tan."
Beliau mengangguk dan segera bangkit menuju keluar, kami berdua pun memeriksa lagi berkas dan kemudian memasukkannya ke dalam tas. Setelah membayar makanan dan minuman kami keluar. Setelah sampai di dalam mobil kuambil Hp mengirim pesan pada kak Jesi kalau sudah selesai meeting dan akan ke tempat biasa bertemu.
"Langsung ke tempat, Ayah?"
"Ke butik dulu, Bun. Mau ambil mobil."
"Temui teman kamu tadi?"
"Iya, Bun. Ga enak sudah janji."
Bunda hanya mengangguk singkat. "Bun," panggilku hanya dijawab deheman singkat.
"Tante Rena kok bisa di suruh menjadi butik dan mengurus semuanya?" tanyaku penasaran, pasalnya heran saja orang asing mempercayai orang lain kenapa tidak saudaranya saja?
Bunda pun bercerita kalau dulu tante Rena bekerja di Pakistan, dan sering membantu saat dia akan pulang mereka juga ikut mengantarkan ke sini dan alhasil tertarik mendirikan butik. Akhirnya butik itu berdiri dan tante Rena dipercaya mengurus, lebih mencengangkannya lagi butik di sini adalah yang utama. Dan sudah ada beberapa daerah di Jawa menjadi cabang butik Khan.
"Ma Syaa ALLAH, ya, Bun."
"Mereka baik banget sama tante Rena, makanya dia diberi kuasa buat memimpin dan mereka juga sering datang ke sini kok, Dek."
Aku hanya mengangguk saja, lima belas menit sudah kami di jalan dan akhirnya sampai kembali lagi ke butik.

Komentar Buku (92)

  • avatar
    XieYueLan

    Wehehe gak bisa bayanginnya punya suami orang Pakistan. Putri Yue udah hadir disini. hayo ingat gak aku siapa?

    14/08/2022

      0
  • avatar
    Noordiana Binti Abdullah

    so good

    4d

      0
  • avatar
    Budi Mahesa

    good

    13d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru