logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Persiapan pertama

Sabilla kembali memainkan ponselnya, ia melihat pesan balasan dari Leo. Bear yang penasaran dengan benda pipih itu menoleh ke arah Sabilla dan memperhatikan wanita itu memainkan ponsel.
“Kamu ngapain lihat-lihat, duduk sana!” ucapnya dengan sinis.
Bear pun hendak beranjak, tetapi Sabilla segera menarik sweater yang dipakai Bear. “Tunggu dulu, aku harus ganti foto profil,” gumamnya. Jemarinya lincah memainkan ponsel untuk mengembalikan tampilan pada layar utama. Lalu ia menekan ikon kamera. Mengarahkan kamera depan ke arahnya.
“Ah, kamu ketinggian! Coba menunduk dikit, sejajarkan dengan wajahku!” pinta Sabilla. Bear sedikit membungkuk, tetapi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Sabilla. “Enggak gini!” ucapnya jengkel.
“Coba kamu yang foto!” ucapnya sambil menyerahkan ponselnya ke tangan Bear. Pria itu menatap ke arah Sabilla dengan penuh tanya, mulutnya yang penuh makanan itu menganga.
Sabilla berdecak. “Kamu ambil foto kita dengan klik tombol ini setelah aku menyebutkan tiga!” ucapnya memberitahu. Lalu memberi intruksi untu mengambil foto dari atas.
Bear mengangguk, lalu ia menggigit potongan makanan terakhirnya. Mengarahkan ponsel ke atas dan memperlihatkan potret dirinya dan Sabilla.
“Kamu ngapain sambil makan? Makanannya simpan dulu, terus peluk aku!” titahnya. Bear menurunan kamera dan menyimpan makanannya di piring. Ia memeluk Sabilla dengan kedua tangannya dalam posisi saling berhadapan. Sabilla memejamkan mata sambil menahan geram.
“Bukan gini! Bukan pelukan ala-ala teletubis!” ucapnya kesal.
Bear pun melepaskan pelukannya dan menatap penuh tanya pada Sabilla. gadis itu menghela napas panjang, ia menatap Bear dengan tatapan bete. Tangannya meraih tisu, lalu mengusap sudut bibir Bear yang penuh dengan saus mayo.
Setelah selesai mengelap bibir pria itu, Sabilla meraih tangan kanan Bear dan meletakannya di pinggang. Sungguh, ia sangat berdebar bahkan hatinya menggerutu, memarahi diri sendiri seperti seorang wanita jahat.
“Nah, seperti ini, wajah menghadap kamera, dan senyum!” ucap Sabilla.
“Ok!” ucapnya singkat. Tangan kanannya masih memeluk pinggang Sabilla, ia kembali mengarahkan kamera sesuai instruksi Sabilla.
“Satu, dua, tigaaa!”
Bear menekan tombol tengah, bunyi kamera pun terdengar pelan. Setelah selesai, Sabilla mengambil ponsel tersebut dari tangan Bear. Ia tersenyum melihat hasilnya.
Menyadari Bear belum melepaskan pelukannya, Sabilla segera menepis tangan pria itu dan segera mengambil piring humburger menuju meja. Ia duduk sila dan menyimpan piring serta segelas susu di atas meja. Bear pun datang, tetapi ia tidak membawa piring dan minumannya, melainkan hanya memegang humberger yang tadi ia makan.
Selesai makan, pria itu menatap Sabilla dan cegukan. Sabilla mendongak dan menyodorkan segelas susu hangat ke arah Bear. “Minum!” titahnya.
Bear terdiam, ia tidak mengerti dengan istruksi Sabilla. Gadis itu mendengus kesal, lalu mengambil segelas susu tersebut dan segera meminumnya.
“Minum!” titahnya sambil menyodorkan susu yang tersisa setengah gelas lagi pada Bear. Pria itu pun segera mengambilnya dan meminumnya.
“Kamu masak mie bisa, masa yang begini tidak bisa?”
Bear berdiri, lalu mengambil mie instan yang belum dibuang oleh Sabilla. bear kembali dan menunjukan tata cara menyeduh mie pada gambar di balik bungkus mie instan itu. Sabilla seketika tertawa, ia baru tahu jawabannya kenapa mie yang dihidangkan Bear mengembangnya berbeda.
“Kamu menyeduhnya dengan air dari mana?”
Bear menunjuk ke arah wastafel, Sabilla kembali tertawa sampai perutnya terasa sakit. Bian hanya bergeming menatapnya penuh tanya.
“Masak ini tuh bukan pakai air keran, tahu! Nanti aku ajarkan.”
Bear mengangguk. Sabilla mendengus kesal. “Kenapa kamu jarang bicara? Padahal pas aku pulang kamu mengajakku makan.”
“Aku mendengarnya dan menirunya.”
Sabilla terdiam dan menatap curiga. Apa jangan-jangan saat dirinya curhat di atap rumah ini sambil menjemur dia, pria itu mendengarnya juga? Sabilla menghempaskan napas kasar, betapa bodohnya dia mengajak boneka berbincang. Namun, siapa sangka boneka itu kini malah berubah wujud jadi manusia.
Sabilla segera melahap makanannya sambil berpikir, sebuah pertanyaan yang belum juga mendapat jawaban. Bagaimana caranya boneka permberian itu kini malah menjadi seorang manusia?
Sabilla bertekad untuk mencari sopir taksi itu dan menanyakannya tentang boneka yang kini menjadi seorang manusia. Ia melahap makanannya dengan cepat, lalu ia pun bersiap untuk segera pergi ke pusat kota, membeli berbagai macam baju untuk Bear.
“Kamu mau kuajarkan masak? Supaya kamu bisa membantuku berjualan?”
“Jualan?”
“Iya!” ucap Sabilla sambil mengunci kamarnya.
“Ayo!” ajaknya sambil menarik tangan Bear. Sebelumnya ia sempat berdebar saat menggenggam tangan Bear, tetapi lama kelamaan hal itu ia rasa bahwa Bear hanyalah seorang anak kecil dan dirinya adalah ibunya. Meski ia selalu hilang kewarasan akibat wajah tampan milik pria yang kini sedang digandengnya.
Sabilla mencari taksi, setelah mendapatkan taksi, ia meminta Bear untuk segera masuk ke dalam mobil, lalu diikuti olehnya.
Mobil taksi itu melaju ke arah pusat kota, Sabilla menatap lurus ke depan sambil bertanya-tanya, apa lebih baik jika dirinya memesan taksi onine? Siapa tahu pria paruh baya itu bisa ia temukan dan ia dapat bertanya mengenai Bear.
Nmaun detik berikutnya Sabilla menggeleng kuat, tidak mungkin dirinya mencari seorang sopir taksi, bahkan namanya pun ia tidak tahu.
Sesampainya di pusat kota, Sabilla segera turun dan membayar ongkos taksinya. Lalu ia membawa Bear menuju gedung Mall dan belanja dimulai dari baju sampai sandal.
Bear begitu penurut saat Sabilla menyamakan baju dengan tubuh Bear saat ia hendak membelinya. Setelah selesai memilih baju, ia pun segera membayarnya. Bear selalu mengikuti ke mana Sabilla pergi.
“Tunggu dulu!” pinta Sabilla saat ia melihat gerobak ice cream. “Kamu mau?” tanyanya memastikan. Bear diam, tetapi Sabilla segera membeli ice cream itu dua dengan rasa yang berbeda.
Selesai membeli ice cream, Sabilla mengajak Bear menuju kursi taman kota yang tak jauh dari gerobak ice cream itu berada. Ia duduk di atas rumput hijau yang terawatt.
“Begini cara makannya!” ucap Sabilla sambil menjilat permukaan ice rasa vanilla itu. Bear yang melihat apa yang dilakukan Sabilla, ia pun segera menjilan ice cream miliknya. Saat permukaan lidahnya menyentuh dingin dan lembutnya ice, Bear bergidik dan menjauhkan ice cream tersebut darinya.
“Kenapa?” tanya Sabilla ikut terkejut.
“Aneh.”
“Itu dingin, manis, aneh dari mana? Kamu nggak mau?” tanya Sabilla memastikan. Bear mengangguk, ia menyerahkannya pada Sabilla. Gadis itu dengan senang hati melahap dua ice cream sekaligus. Bear terdiam memperhatikan wanita di sampingnya yang begitu lahap memakan ice cream.
“Billa, kamu di sini, juga?”
Sabilla mendongak, lalu mengabaikan kedatangan sahabatnya itu. ia melahap semua ice cream yang tersisa.
“Aku ke sini karena melihatmu, kamu tidak memberitahuku rumahmu yang baru, aku ingin minta maaf.”
“Sudah aku maafkan, pergi saja sana!” ucapnya dengan ketus. Bear menatap Sabilla dan wanita yang berdiri di hadapannya.
“Kamu kok begitu, sih, Sa. Padahal aku ini teman baikmu, kan?”
“Pergi, aku muak lihat wajah kamu.”
“Oh, karena kamu sudah memiliki seorang pacar, makanya begini padaku? Kok bisa kamu secepat itu melupakan Leo?”
Sabilla mendongak dan menatap tajam ke arah Elis. “Tentu saja bisa, memang apa yang tidak bisa aku lakukan? Pria di dunia ini nggak hanya Leo. Memangnya kamu, doyan bekan orang!” cibir Sabilla. ia bangkit sambil menggandeng tangan Bear. Lalu beranjak pergi dari hadapan mantan sahabatnya itu.
“Sa, kok, kamu malah pergi?” tanya Elis tanpa merasa tersindir ataupun merasa bersalah.
Sabilla mendengus kesal, bagaimana tidak, wanita yang ia anggap sebagai sahabat itu kini menjelma menjadi wanita yang tidak tahu diri. Bear menghentikan langkahnya, lalu menarik Sabilla ke dalam dekapannya, wanita itu terkejut.
“Kamu ngapain peluk-peluk aku di depan umum?” tanya. Ia melepaskan pelukannya, lalu menarik tangan Bear.
“Kamu menangis, harus dipeluk.”
“Siapa yang menangis, jangan ngelantur! Ayo jalan cepat, kita harus mengurus data diri kamu.” Sabilla mengusap air matanya dengan tergesa. Ia berjalan di depan Bear supaya benar-benar tidak terlihat bahwa dirinya sedang menangis.
Sore harinya, setelah selesai mengurus semua data diri Bear di gedung pemerintahan, Sabilla pulang ke rumahnya bersama Bear. Gadis itu terlentag di atas karpet untuk melepas lelah. Sementara Bear duduk di sisinya, menatap penuh tanya pada amplop coklat yang masih dipegang Sabilla.
Masih melekat diingatan Sabilla perdebatan tadi siang bersama petugas.
“Sebenarnya nama dia Bear atau Malvin?”
“Keduanya sama saja.”
“Aneh, penyusunannya bagaimana?”
“Bear. Hanya Bear!” jawab Bear dengan wajah polosnya. Jawaban dari pria itu membuat Sabilla gemas dan mencubit pinggang Bear. Namun, pria itu tidak bereaksi apapun.
“Bear! Jangan bangunkan aku, aku mau tidur sebentar!” ucap Sabilla sambil meletakan lengannya untuk menutup mata. Hari ini benar-benar melelahkan, bahkan ia tidak bisa pergi ke toko kue miliknya.
Bear pun membaringkan tubuhnya di samping Sabilla, ia menatap wajah gadis itu yang ditutupi lengan. Bear pun melakukan hal yang sama seperti Sabilla. Tidur terlentang dengan lengan menutupi mata.
Lama Bear menunggu, wanita di sampingnya belum juga bangun. Terdengar pelan dengkuran halus oleh telinganya, Bear menurunkan lengan dari wajahnya, lalu tidur menyamping menghadap ke arah Sabilla.
Malam semakin larut, udara semakin menurun. Sabilla merasakan hawa dingin saat ia tidur, suhu hangat yang samar ia rasakan membuatnya beringsut mendekati Bear dan memeluk pria itu. Bear dengan polosnya membalas pelukan Sabilla. Suhu hangat dari tubuh Bear membuat wanita itu tidur nyenyak seperti sedang memeluk guling.
Esok paginya, Sabilla bangun dan mengernyitkan alis dengan mata terpejam. Ia mengendus-enduskan indra pengciumannya. Ada aroma wangi dari pewangi pakaian yang menabrak hidungnya, wangi bunga geranium. Ia diam dalam keadaan mengumpulkan kesadaan. Tubuhnya hangat tanpa memakai selimut? Ia pun merasakan tidur di lantai?
Tunggu, dengkuran halus yang ia dengar serta embusan napas hangat yang bertiup tepat di pucuk kepalanya milik siapa? Sabilla mebuka mata dan ia tersadar. Sejak kapan dirinya tidur berbantalkan lengan Bear dan dalam pelukan pria itu?

Komentar Buku (390)

  • avatar
    AnggariAlfien

    bagus untuk mengisi waktu luang tulisannya juga jesal

    15d

      0
  • avatar
    NikeAvrillia

    cerita ini sangat bagus dan rapi

    28d

      0
  • avatar
    ZaskiaKia

    sangat bagus😭😭

    24/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru