logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7

"Halah, Kasih juga nggak tahu kalo sawah itu emak wariskan buat dia. Jadi nggak masalah kalo kita jual, Pak."
"Aku nggak izinin sawah itu dijual, Pak. Sawah itu miliku."
Bu Welas dan Pak Darno terkejut saat tiba-tiba Kasih muncul di hadapan mereka.
"Sejak kapan kamu di situ?" bentak Bu Welas.
Kasih mengabaikan pertanyaan ibunya, ia malah fokus menatap Pak Darno.
"Sawah itu miliku, Pak. Tidak ada yang boleh menjualnya," ucap Kasih tegas.
Kasih sudah selesai menyiapkan sarapan pagi, ketika ia ingin memanggil orang tuanya untuk makan ia malah mendengar suatu hal yang menyulut kemarahanya.
"Apa-apaan kamu, hah? Sawah itu punya emak, ibu lebih berhak dari kamu."
Bu Welas seketika berdiri sambil berkacak pinggang, menatap Kasih dengan garang. Kasih sebenarnya malu jika harus ribut lagi pagi ini, apa lagi posisi mereka yang berada di teras rumah membuat beberapa tetangga menonton.
"Tapi nenek sudah mewariskanya untukku, Bu. Ibu sama sekali nggak berhak atas sawah itu."
Sudahlah, masa bodo jika mereka akan menjadi bahan gunjingan, Kasih sudah tidak peduli. Ia hanya ingin membela haknya.
"Apa kamu bilang? Tahu apa kamu soal hak dan kewajiban, hah? Sudah sepantasnya kamu sebagai anak berbakti pada orang tua, mau jadi anak durhaka kamu?" sentak Bu Welas dengan telunjuk yang selalu mengarah pada putrinya.
"Kurang bakti apa lagi aku, Bu? Aku udah melakukan yang terbaik, tapi Ibu nggak pernah hargain aku. Ibu selalu menganggapku rendah dibandingkan Mas Bagus dan Raja."
"Jelaslah, karena mereka laki-laki. Derajatnya lebih tinggi dari pada perempuan," ujar Bu Welas sengit.
Kasih menggelengkan kepalanya, heran dengan pemikiran kolot sang ibu. Di zaman yang sudah canggih dan sangat modern ini, ibunya masih saja menganggap rendah perempuan.
Apakah ibunya ini tidak tahu yang namanya emansipasi? Padahal tokoh pahlawan penggerak emansipasi wanita di Indonesia sangat lah terkenal.
Selain itu hari kelahiranya di jadikan hari nasional untuk mengenang jasa-jasa Beliau yang telah berjuang keras menegakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
"Kenapa sih pikiran Ibu masih aja kolot? Sekarang udah zaman modern, Bu. Laki-laki dan perempuan semuanya sama," ujar Kasih.
"Beda lah, buat ibu sampai kapanpun perempuan nggak akan bisa menyamai laki-laki. Kecuali kalo banyak duit. Kalo kamu mau ibu hargai, banyakin dulu duitmu," ketus Bu Welas sinis.
"Sudah, Bu, sudah ... malu." Pak Darno yang sedari tadi diam menyimak istri dan putrinya, akhirnya bersuara.
Pak Darno menegur istrinya yang mulai mencak-mencak memarahi Kasih, dilihatnya beberapa orang sudah berkumpul menonton. Lelaki itu berusaha menyeret istrinya masuk ke rumah.
Kasih menghembuskan nafas dongkol, tidak tahu lagi bagaimana menghadapi keegoisan ibunya. Karena sudah kehilangan selera makan, ia pun mutuskan langsung berangkat kerja tanpa sarapan.
"Mau kemana kamu, ibu belum selesai ngomong!" pekik Bu Welas saat melihat Kasih berlalu meninggalkan rumah.
"Sudah, Bu. Ayo, masuk!" ucap Pak Darno lagi dengan tegas seraya menarik lengan istrinya.
Bu Welas masih saja menolak untuk masuk, perempuan itu masih meneriaki Kasih yang berjalan semakin jauh.
"Jual sawah itu, Kasih. Bagaimanapun ibu lebih berhak dari pada kamu!"
Kasih terus saja berjalan, tanpa menoleh lagi ke belakang. Malas menanggapi Bu Welas yang tidak pernah mau kalah.
****
Ketika sampai, toko tempatnya bekerja masih tertutup rapat. Wajar saja karena jam digital di ponselnya saat ini baru menunjukan pukul enam lebih empat puluh menit.
Pemilik biasanya datang membuka tokonya jam tujuh tepat, para karyawan juga diwajibkan masuk pukul tujuh. Walaupun toko baru di buka pukul delapan, tapi sebelum itu perlu dilakukan banyak persiapan lebih dulu.
Saat jam pulang pun begitu, mereka akan pulang sekitar satu atau dua jam setelah toko tutup. Karena mereka perlu melakukan rekap penjualan, mengecek stok barang dan juga menata barang-barang pada raknya masing-masing.
Meski jam kerjanya relatif panjang, tidak ada karyawan yang mengeluh. Mereka dengan suka cita melakukan pekerjaanya, begitu juga dengan Kasih. Karena setiap bekerja diluar jam buka toko akan dihitung sebagai lembur dan upahnya ditambahkan ke gaji.
Selain itu mereka juga mendapat jatah istirahat dan makan dua kali sehari, saat makan siang dan makan malam. Setiap waktu sholat mereka melakukanya secara bergantian di mushola kecil yang terletak di belakang toko.
Kasih merasa betah bekerja di toko tersebut, selain karena pemiliknya yang baik teman kerjanya pun sangat ramah dan selalu bekerja sebagai team, jadi tidak ada yang merasa paling enak atau paling lelah sendiri. Semuanya sama rata.
Meskipun begitu, Kasih tetap bersikap sopan karena kebanyakan teman kerjanya berusia jauh lebih tua darinya. Dari sepuluh orang yang bekerja, hanya ada tiga orang saja yang berusia dua puluhan termasuk dirinya.
Tujuh orang sisanya merupakan bapak-bapak dan ibu-ibu. Kebanyakan dari mereka adalah korban PHK atau ibu-ibu yang kehilangan suaminya.
Pemilik toko yang bernama Ibu Zahra itu, memang sengaja mempekerjakan orang-orang berusia matang, karena biasanya orang dengan usia tersebut lebih susah mendapatkan pekerjaan.
Namun tetap, untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan pembukuan dan laporan pejualan dipegang oleh yang lebih muda. Karena pekerjaan tersebut membutuhkan ketelitian yang tinggi. Sedang keuangan tetap dipegang oleh pemilik.
Kasih sungguh mengagumi bosnya, sudahlah orang nya cantik. Hatinya pun sangat baik. Andai nanti ia diberi rizki menjadi orang kaya, semoga ia bisa melakukan banyak kebaikan seperti bosnya. Bercita-cita boleh saja, kan?
_____
Setelah beberapa menit berdiri sendirian di depan toko yang masih terkunci, Kasih akhirnya memutuskan untuk pergi ke warung nasi (warteg) di seberang toko.
Gadis itu baru ingat jika hari ini, akan banyak barang baru yang masuk. Ia butuh tenaga untuk memulai pekerjaanya nanti.
"Bu, pesan nasi separo sama tumis kangkung dan tongkol balado ya," ucap Kasih pada ibu pemilik warteg.
Kasih kemudian duduk di bangku panjang depan etalase kaca yang berisikan berbagai macam lauk dan sayur. Keadaan warteg kali ini sepi, hanya Kasih saja pelangganya. Padahal biasanya warteg itu selalu ramai, terutama saat jam makan siang.
"Makan sini apa bungkus, Neng?" tanya ibu itu ramah.
"Makan sini, Bu."
"Minumnya apa, Neng?" tanya ibu itu lagi, sementara tanganya mulai sibuk mengambil nasi dan lauk.
"Teh manis anget aja, Bu."
"Satria, Sat ... bikin teh manis anget satu," seru ibu pemilik warteg ke arah rungan belakang yang hanya ditutupi dengan tirai.
Kemungkinan ruangan tersebut adalah dapur yang digunakan ya untuk memasak. Setelah beberapa saat, tidak ada sahutan dari seseorang yang bernama Satria.
"Kemana, sih anak itu," gerutu ibu warteg.
"Ini Neng, pesananya. Sebentar ibu buatkan minumnya dulu," ujar ibu itu lagi lalu berlalu ke ruang belakang.
Kasih mulai menyiapkan nasi ke mulutnya sambil menunggu minuman datang. Dari arah dapur terdengar dentingan sendok yang beradu dengan gelas kaca.
Sepertinya ibu warteg tengah mengaduk gula di dalam gelas berisi teh sambil sesekali bergumam, bertanya-tanya dimana orang bernama Satria itu berada.
Beberapa menit kemudian Kasih mulai merasa kehausan, apa lagi sambel ikan tongkol yang ia pesan ternyata mempunyai rasa yang sangat pedas. Sejak dulu Kasih memang tidak pernah kuat dengan makanan pedas.
Untunglah, beberapa saat kemudian ibu warteg muncul sambil membawa teh manis hangat pesananya.
"Ini minumnya, Neng. Maaf ya agak lama," ujar perempuan itu.
Kasih hanya menganggukan kepalanya lalu segera meneguk minumnya hingga hanya tersisa setengah gelas.
Ibu pemilik warteg itu belum beranjak dari tempatnya berdiri. Ia masih mengamati Kasih yang terlihat kepedasan.
"Neng karyawan baru tokk seberang, ya?" tanya ibu itu seraya duduk di sebelah Kasih.
"Iya, Bu. Saya baru kerja sepuluh hari," jawab Kasih setelah menelah makananya.
Ibu itu menunggu Kasih menghabiskan makanan dan minumanya sebelum bertanya lagi.
"Umurnya berapa, Neng? Keliatanya masih muda."
"Dua puluh satu tahun, Bu."
"Namanya siapa? Saya Ibu Rahma, pemilik warung ini."
Ibu itu mengulurkan tanganya, sedikit Ragu Kasih menyambutnya sembari menyebutkan nama.
"Saya Kasih, Bu."
"Kasih, nama yang bagus. Orangnya juga cantik," puji Bu Rahma dengan senyum ramah.
"Ibu bisa aja," sahut Kasih tersenyum malu dengan semburat merah di pipinya.
Selanjutnya mereka terlibat obrolan dengan akrab. Kasih yang tidak mudah bergaul, entah kenapa merasa nyaman mengobrol dengan Bu Rahma.
Karena terlalu asyik mengobrol, Kasih sampai hampir terlambat masuk kerja. Ia lalu buru-buru membayar dan pamit pergi.
BRUGH!
Kasih terhuyung mundur saat tubuhnya menabrak seseorang. Karena terburu-buru saat berjalan ia jadi tidak memperhatikan sekitarnya dengan baik.
Kasih membungkuk, meminta maaf pada orang yang di tabraknya tanpa melihat wajahnya. Gadis itu lalu segera berlari kecil ke arah toko. Saat sampai di toko, bosya baru saja membuka pintu. Karyawan yang lain pun baru saja datang. Untunglah, ia tidak terlambat.
******
"Kasih, kamu dijemput, kan? Udah nggak ada angkot, lho. Nginep rumahku aja yang deket" ujar Susan teman kerjanya yang sebaya.
"Ayo, saya antar aja, Kasih," sambung bu Zahra sambil memasukan kunci toko ke dalam tasnya.
Hari ini toko ramai, banyak barang datang juga. Jadi mereka lembur sampai jam sebelas malam. Untunglah besok hari Jum'at, waktunya libur.
Setiap hari jum'at toko selalu tutup, kata Ibu Zahra biar mereka fokus pada ibadah saja. Karena hari jum'at hari yang penuh berkah.
"Makasih Susan, Bu Zahra. Tadi Bapak bilang mau jemput," tolak Kasih halus.
"Ooh, ya udah. Aku temenin kamu nunggu," ujar Susan.
"Nggak usah, kamu pulang aja San, udah malem."
"Tapi kamu nanti sendirian."
Karyawan yang lain memang sudah pulang semua, tinggal mereka bertiga di depan toko.
"Nggak apa, Bapak udah jalan ke sini, kok. Paling bentar lagi sampai."
"Susan kamu pulang aja, Kasih biar saya yang temani," timpal Bu Zahra.
Susan akhirnya pulang lebih dulu. Kasih menolak tapi Bu Zahra memaksa. Beliau bilang keselamatan karyawan adalah tanggung jawabnya. Kasih jadi semakin mengagumi sosok bosnya itu. Meski begitu, ia tetap merasa sungkan. Untunglah, tidak lama kemudian Pak Darno sampai.
______
Keesokan harinya, Kasih masih menjalani aktivitasnya seperti biasa. Meski libur ia tidak bisa bersantai. Justru ia lebih merasa lelah saat berada di rumah. Lelah fisik sekaligus mental, karena ocehan ibunya yang selalu memekakan telinganya.
"Lho, Mas Bagus kapan pulang?" seru Kasih kaget saat Bagus muncul di ruang makan untuk sarapan.
"Kenapa? Nggak suka kalo aku pulang?" sahut Bagus ketus.
Baru mereka berdua saja yang ada di ruang makan. Kasih mengambil satu piring kosong lagi untuk Bagus.
Laki-laki berperawakan besar itu menekuk wajahnya lalu duduk di kursi dengan sedikit menghentak. Bagus memang memiliki sifat pemarah dan temperamen seperti Pak Darno saat muda. Namun, kini setelah menjelang usia senja, Pak Darno lebih bisa menahan emosinya.
"Gimana kabarnya, Mas?" tanya Kasih.
Meski kakaknya tidak pernah bersikap ramah padanya, sebagai seorang adik Kasih berusaha untuk tetap menghormatinya. Walaupun hanya sekedar basa-basi belaka.
"Nggak usah sok peduli. Di depan aja kamu pura-pura bersikap manis, tapi di belakang licik," sinis Bagus menatap tajam adiknya.
"Licik gimana maksudnya, Mas?" tanya Kasih bingung.
Bagus mendengus Kasar. Laki-laki berusia dua puluh enam tahun itu terlihat menahan emosi.
"Sawah warisan nenek mau kamu kuasai sendiri. Padahal ada hakku, Raja dan Ibu juga. Apa itu namanya bukan licik?"
Kasih menghela napas panjang, pasti ibunya sudah menceritakan semuanya pada Bagus.
"Nenek mewariskan sawah itu cuma buatku, Mas. Jadi kalian sama sekali nggak berhak."
"Serakah! Licik, pantes aja ibu benci banget sama kamu. Kamu memang layak di benci karena keserakahanmu!" tuding Bagus pada Kasih.
Kasih tertawa, gadis itu merasa sangat tergelitik dengan ucapan Bagus yang mengatainya serakah. Padahal dia lah yang menikmati semua harta bapaknya.
"Aku serakah, Mas? Hahaha ... apa kamu nggak ngaca?"
"Apa maksudmu?" tanya Bagus dengan mata menyipit tajam.
"Kamu beneran nggak tahu apa berlagak bego, Mas? Lagian nggak usah berlagak juga udah keliatan begonya," ejek Kasih.
"Lancang!" seru Bagus dengan geram.
Tangan besarnya sudah melayang di udara, bersiap meluncurkan satu tamparan keras di wajah Kasih. Refleks Kasih menutupi wajahnya dengan kedua tanganya.
"Stop! Mau apa kamu, Bagus?" bentak Pak Darno.
Bagus dan Kasih menoleh secara bersamaan. Pak Darno muncul diikuti Bu Welas dan Raja. Bagus perlahan menurunkan tanganya.
"Kamu mau memukul adikmu sendiri?"
Pak Darno menatap murka pada putra sulungnya.
"Dia yang lancang duluan, Pak." Bagus membela diri, padahal sejak awal dirinyalah yang memulai.
"Sudah cukup! Kenapa, sih kalian suka sekali ribut pagi-pagi? Malu sama tetangga," ujar Pak Darno lelah, ditatapnya mereka satu per satu.
Kasih menunduk, ia tidak tega melihat bapaknya seperti itu. Bagus nampak tidak merasa bersalah.
"Ini semua gara-gara, Kasih. Kalo dia mau jual sawah itu, pasti nggak akan ada lagi keributan," ucap Bu Welas.
"Bener, kamu emang pembawa masalah, Mbak," sahut Raja pedas.
"Diam semua! Berapa kali harus bapak bilang sama kalian, hah? Dulu saat emak sakit sampai meninggal, Kasih yang pontang-panting menjaga dan merawatnya. Saat itu kalian semua kemana? Tidak ada satu pun dari kalian yang peduli.
Sekarang malah kalian berebut warisan dari orang yang sudah kalian abaikan selama ini, apa kalian nggak punya malu? Sawah itu milik Kasih, tidak ada satu orang pun bisa merebutnya."
"Tapi, Pak_" protes Bu Welas, tapi Pak Darno seketika mengangkat tanganya. Tanda jika lelaki itu tidak mau di bantah.
"Tidak ada tapi-tapian. Sertifikatnya pun udah bapak masukan ke notaris, udah mulai proses balik nama. Jadi, kalian tidak bisa berbuat apa-apa lagi," tegas Pak Darno.
"Apa?" Bu Welas dan kedua putranya nampak terkejut. Ekspresi wajah mereka seketika bertambah murka.

Komentar Buku (29)

  • avatar
    UdinSolik

    crita bagus

    22/06/2023

      0
  • avatar
    LestariArbiDwi

    bagusss

    07/04/2023

      0
  • avatar
    dickyzulkarnain

    ok baik

    10/03/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru