logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Tujuh

Tatapan Mas Angga semakin tajam menusuk. Dia peluk Bilqis yang mulai mengantuk karena lelah menangis. Mas Angga tidak membolehkan menyentuh Bilqis. Aku ingin memberikan ASI pada Bilqis.
Bekas lebam di jidat dan pipi kirinya membuatku merasa bersalah.
Padahal keluar tidak lama, tetapi ketika aku sampai di rumah semua sudah terjadi.
Bilqis jatuh dari tempat tidur. Mas Angga pun marah besar dan menyudutkan aku. Memang salah, aku tidak ngasih kabar pada Mas Angga, kalau aku keluar dan Bilqis aku tinggal. Si kecil yang tak berdosa jadi imbas atas kecerobohanku.
"Kenapa kamu pulang? Gak usah pulang sekalian. Sudah ketemu laki-laki yang kau cari?" Mas Angga terus memarahi aku.
"Maafkan aku, Mas. Tapi aku keluar belum lama kok!" Berusaha memberikan penjelasan.
"Mau lama, mau gak. Itu bukan urusanku, Rum. Tapi keselamatan Bilqis yang jadi taruhannya. Kamu mau kemana, dan dengan siapa aku tak peduli."
Mas Angga pergi setelah berceramah. Dia tidak berniat sedikitpun untuk memahami aku, apalagi mau menerima penjelasanku. Aku mulai capek dan tak kuat. Mungkin, apa yang dikatakan Mas Faisal benar. Aku harus berpisah dari Mas Angga.
***
Hujan deras mengguyur atap rumah. Aku memilih tidur di kamar yang lain saja, seraya menatap layar ponsel yang memutar beberapa video di satu aplikasi.
"Wanita berhak bahagia. Ada kalanya pernikahan harus dipertahankan walaupun sakit. Namun, ada kalanya dilepaskan untuk menyembuhkan luka." Mendengar sebuah penjelasan dari satu video yang lewat.
Kutarik nafas dalam-dalam. Pernikahan kami masih seumur jagung. Kata Bu Yanti dulunya, "pernikahan di bawah lima tahun itu, memang besar cobaannya. Anggap saja itu tahap menyesuaikan diri. Jangan gampang menyerah."
Memejamkan mata, aku menjadi dilema. Perkataan siapa yang harus aku dengarkan? Bu Yanti atau Mas Faisal? 
Segera mematikan data seluler. Aku butuh ketenangan agar kepala bisa berpikir dengan jernih. Belum sempat jari menyentuh ikon data seluler, panggilan masuk dari Mas Faisal.
Menggigit bibir, jawab atau tidak? Lebih baik aku tidak menjawab telepon darinya. Menjauh darinya, kembali seperti Rumina yang dulu, mungkin jauh lebih baik. Dengan begitu aku akan kembali berdamai dengan keadaan. 
Namun, aku tetap akan memilih. Bertahan atau bercerai, malam itu juga aku putuskan.
Setelah menyingkirkan ponsel, aku menyendiri di sudut ruangan kamar. Memikirkan bolak-balik atas keputusan yang diambil. Apa plus dan minus dari pilihan tersebut. Berjam-jam lamanya, hingga aku sudah dapat keputusan yang menurutku kuat. 
Berharap aku bisa bahagia atas keputusan itu. 
Malam semakin larut, aku belum bisa tidur. Sepertinya Mas Angga juga belum tidur. Aku masih bisa mendengar kegiatannya di kamar utama. 
Tertegun di depan pintu kamar. Tangan terangkat untuk mengetuk pintu perlahan.
"Mas, aku mau bicara sebentar," ucapku setelah mengetuk pintu empat kali.
Tak ada jawaban, sehingga aku ulangi hal yang sama sampai Mas Angga bosan dan mau membukakan pintu.
Pintu kamar terbuka, Mas Angga muncul di ambang pintu dengan wajah kusutnya.
"Ada apa? Sudah malam begini kenapa kau belum tidur?"
"Apa pedulimu, Mas? Aku harus menyampaikan semua keputusan ini. Keputusan yang akan membuat kamu bahagia," ucapku di dalam hati.
"Hei, malah bengong! Kau mau apa, Rum? Kau pikir wajahmu itu tidak membosankan? Cepat bicara!"
"Maaf, Mas. Apa aku harus bicara dalam posisi berdiri seperti ini?" 
Mas Angga sungguh sudah menganggapku orang asing. Dia tidak mengizinkan aku masuk ke dalam kamar. Ke tempat dimana aku sering memenuhi kebutuhan biologisnya. Laki-laki berhati batu! Ya Tuhan, kenapa aku harus mencintai laki-laki seperti dia?
"Oh, oke. Baiklah! Ayo, bicara di dalam." 
Mas Angga menyingkir dari ambang pintu. Ketika aku masuk, bau yang tak asing mencucuk indra penciuman. Aku sampai mengernyitkan dahi. Kenapa dia melakukan semua itu?
"Aku sedang marah padamu, Rum. Jadi, aku yakin kamu tidak akan mau bukan?" Mas Angga berceloteh, seakan menjelaskan alasan kenapa dia melakukan semuanya.
Ketika dia pergi ke kamar mandi, aku menatap layar laptopnya yang masih menyala. Di sana, aku melihat foto wanita yang pernah aku temui di depan pintu. 
Tampilan foto-foto itu bergeser sendiri, menampakkan fose-fose Viona yang sangat berani. Aku bergidik ngeri, ketika melihat foto Viona menampakkan kemolekan tubuh rahasianya begitu saja.
Apakah Mas Angga yang menjadi fotografernya? Tiba-tiba aku menjadi cemburu.
"Kamu tidak bisa seperti itu 'kan? Untuk membuat hasratku bangkit saja kamu tidak bisa, Rum." 
Mas Angga masuk, seraya mengucapkan kalimat yang membuat aku seolah terjatuh ke jurang yang dalam.
Apa maksudnya? Bukankah selama ini dia masih menggauliku. 
"Jadi selama ini …?" 
"Aku memang melakukan bersamamu, tapi maaf, aku membayangkan itu adalah Viona." Mas Angga menutup layar laptopnya, seakan tanpa rasa berdosa sedikitpun.
Hatiku semakin terkoyak! Dia menyentuh tubuhku, tetapi membayangkan wanita lain. Aku tak lebih dari sekedar pelarian dan pelepas dahaganya saja.
"Kamu tidak usah marah, Rum. Kamu memang tidak punya kapasitas seperti Viona, bukan? Tampilan sederhanamu itu, justru membuatku bosan dan kadang muak." 
Aku diam, kepalaku terasa pusing mendengar semua kebenarannya. Usahaku menarik perhatiannya, membahagiakannya selalu terhalang oleh bayang-bayang Viona. Baginya itu tidak ada arti apa-apa.
"Jadi, kau tidak pernah mencintaiku, Mas? Setelah apa yang sudah aku lakukan untukmu?" Hanya bisa menjerit di dalam hati.
Air mataku hendak runtuh mendobrak pertahanan. Tidak ingin menangis di hadapan Mas Angga, aku membalikkan badan berlari keluar dari kamar. Masuk ke kamar lain, mengunci pintunya.
Air mata tumpah begitu saja. Isakan tertahan membuat dada terasa sesak. Selama hidup dengan Mas Angga, malam itulah aku menjadi sangat hancur. Mengetahui semua kebenaran itu. Mas Angga sudah menghujam sekeping hati, yang sudah aku berikan hanya untuknya. Mencabik-cabik, menginjak, lalu membuangnya begitu saja.
Aku terduduk lemas di balik pintu kamar yang sudah dikunci. Mencoba berdiri, tetapi aku tak mampu. Tungkai terasa lemah, tidak kuat menopang tubuh.
Aku tergolek lemah, bersimbah air mata kehancuran!
***
Jalan-jalan di pagi hari membuat kondisi hati sedikit membaik. Menghirup udara segar, menyehatkan jiwa yang terguncang.
"Ammm hmmm aihm." Aku tersenyum mendengar celoteh Bilqis. 
Kami berjalan menelusuri jalanan aspal yang basah. Mungkin hujan sebelum waktu pagi, membersihkan kabut-kabut jalanan yang mengotori udara.
"Sayang, tetaplah bahagia untuk Bunda," ucapku, seraya menatap mata polosnya yang bersinar. 
Bilqis tersenyum ala bayi, sangat menggemaskan. Semangatku kembali bertambah melewati semua ujian hati. Mas Angga tidak mencintai. Setidaknya masih ada Bilqis di sisi hidupku.
Stroller terus berjalan menuju taman. Aku kembali mengajak Bilqis ke taman menikmati suasana pagi di alun-alun terdekat. Sampai di alun-alun, aku duduk di bangku taman. Terus mengawasi Bilqis dengan seksama.
Baru beberapa menit melepas kepenatan kaki. Ponsel yang ada di saku berbunyi. Nada panggilan masuk terdengar nyaring. Aku penasaran siapa yang menelepon pagi-pagi. Berharap itu bukan dari Mas Faisal ataupun Mas Angga. 
Nama yang tertera di ponsel membuatku enggan untuk mengangkat telepon. Aku sedang enggan bicara dengannya. Nada panggilan pun aku biarkan mati sendiri.
Beberapa kali panggilan masuk. Sebanyak itu juga aku mengabaikannya. Setelah panggilan ke lima berakhir, bunyi nada pesan masuk. Segera aku buka dan baca pesan itu. 
"Kamu lagi dimana? Pagi-pagi sudah keluyuran. Harusnya kamu mengurus rumah dan suami lebih dulu."
Begitu pesan masuk dari Mas Angga. Tumben dia mencariku pagi-pagi. Untuk apa juga dia mencariku? Semua yang harus kulakukan sudah selesai aku kerjakan. Aku sudah merapikan rumah, dapur, dan sudah masak juga. Apalagi?
Pesan itu hanya dibaca dan aku abaikan. Ponsel masih aku genggam di tangan. Aku berpikir Mas Angga akan mengirim pesan baru. Apa yang aku pikirkan ternyata benar. 
Satu pesan masuk lagi. Segera aku buka pesan tersebut. Deretan kata yang ada di layar ponsel membuat mataku kembali perih. Belum cukupkah dia melukaiku?
"Setelah mengetahui semua kebenaran, kau belum juga sadar diri? Lekaslah pulang! Atau …."
Nafas tiba-tiba menjadi berat dan sangat menyesakkan. Apalagi yang dia mau? Atau apa yang dia maksud? Apakah dia akan menceraikan aku?

Komentar Buku (79)

  • avatar
    Xellyn

    baguz

    4h

      0
  • avatar
    _Desu`Dza

    kᥱrᥱᥒᥒᥒ

    2d

      0
  • avatar
    NASAIda

    sangat seru

    3d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru