logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 3 Tiga

Berhias! Bicara soal berhias, aku bukannya tidak bisa. Walaupun tumbuh besar di panti asuhan, Bu Yanti selalu mengajari anak-anak panti. Bagaimana cara berpenampilan sesuai porsi dan sikon. 
Selain itu, kami anak panti asuhan bukan pula anak-anak yang tumbuh tanpa pendidikan formal. Seperti aku misalnya. Dulu, aku menikah dengan Mas Angga tentunya setelah menamatkan pendidikan. Istilahnya, wajib belajar 12 tahun sudah aku lalui. 
Pun aku bukanlah anak yang bodoh. Jadi, aku bisa memikirkan dengan logika, apa saja konsekuensi dan akibat dari sebuah keputusan yang aku ambil.
Malam itu, aku putuskan tidak memoles wajah ataupun bibir dengan apapun. Setidaknya aku sudah berpakaian rapi. Dres selutut tanpa belahan rendah yang sedikit longgar, melekat di tubuhku. Sepatu biasa yang sederhana pun sudah melekat di kaki. Aku kembali keluar dari kamar. 
"Mas, aku sudah siap." Tersenyum untuk yang kesekian kali.
Mas Angga menatapku agak lama. Aku berharap tatapan itu adalah tatapan kagum. Namun, pada akhirnya dia mendekat dan menarik tanganku secara kasar, kembali ke dalam kamar.
Tidak ada kata-kata protes lagi yang keluar dari bibirnya. Bilqis yang mungkin kebingungan melihat orang tuanya, Mas Angga letakkan di tempat tidur. Dengan gerakan cepat, Mas Angga langsung membuka lemari pakaian. Dari dalamnya, dia keluarkan satu dress pesta yang tak pernah aku lihat sebelumnya. 
"Apakah dress ini baru? Kapan Mas Angga membelinya? Lalu apakah dress itu khusus untukku?" Aku hanya bisa bermonolog di dalam hati.
"Pakailah cepat!" 
"Iya, Mas."
Tanpa banyak bicara lagi, segera aku pakai dress pilihan Mas Angga. Akan tetapi, dress itu membuatku menjadi tak nyaman.
Dress berwarna soft itu menempel ketat di tubuhku. Hal itu tentu membuatku tak nyaman dan malu. Tidak sampai di situ, dress itu terlalu terbuka menurutku. Belahan dada rendah, yang hampir menampakkan lekukan tubuh bagian atas. Belum lagi bawahannya yang berada tepat di atas lutut. 
"Mas, apa aku harus memakai baju ini?" 
"Ya, apa ada yang salah?"
"Mas, baju ini aku rasa terlalu …." 
"Belajar menjadi wanita kota, Rum. Walaupun memang aslinya dari kampung. Tapi jangan kampungan!" Mas Angga berkata dengan wajah datar.
Sakit! Dia tidak pernah memikirkan perasaan di dalam dada. Aku berusaha menjaga semuanya, tetapi dia justru seolah-olah membebaskan aku mempercantik diri di luar sana. 
Apa tidak ada rasa cemburu sedikitpun untukku? Harusnya dia paham! Teman Mas Angga pasti lebih banyak laki-laki. Namun sepertinya dia tidak menaruh rasa cemburu sedikitpun.
Menatap pantulan diri di depan cermin. Aku semakin tidak percaya diri. Hanya bisa menarik nafas panjang, bersabar atas sikap Mas Angga.
"Ya sudah, Mas. Ayo kita berangkat," ucapku benar-benar pasrah.
"Sebentar," celetuk Mas Angga lagi.
"Apa lagi, Mas?" 
"Jangan terbiasa kampungan, Rum. Olesi wajah dan bibirmu dulu. Cepatlah, aku tunggu di luar."
Aku hanya bisa terdiam. Mas Angga kembali menggendong Bilqis dan beranjak dari dalam kamar. 
Tidak ingin membuatnya semakin kecewa, aku turuti segala keinginannya. Aku berdandan mengikuti style wanita-wanita kota pada umumnya. Setelah semua selesai, aku kembali keluar.
"Mas, aku sudah siap!" 
Berjalan menuju rak sepatu, di sana aku ambil sepatu hak tinggi punyaku satu-satunya. Tidak peduli lagi, jika penampilanku menarik perhatian teman-temannya, terutama Mas Faisal.
Sudahlah, aku pasrah!
Mas Angga masih bengong menatap penampilanku. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Mungkinkah Mas Angga terpana?
Mustahil!
***
Rasa gugup masih bergelayut setia menemaniku sampai di rumah baru Mas Faisal. Sepanjang perjalanan, Mas Angga bercerita kalau pesta yang kami tuju adalah pesta perayaan ulang tahun pernikahan. Selain itu, juga untuk merayakan atas keberhasilan Mas Faisal.
Usaha sampingan yang dia geluti satu tahun terakhir sudah membuahkan hasil. Sementara itu, dia masih tetap menjadi teknisi di perusahaan listrik swasta. Tentu penghasilannya lebih unggul dari Mas Angga. 
Suamiku hanya mengandalkan gaji bulanannya dari perusahaan. Belum terbesit mengumpulkan uang untuk membangun usaha sampingan.
Aku tidak pernah tahu mengenai gaji bulanan Mas Angga. Dia hanya memberikan aku uang keperluan dapur dan kebutuhan sehari-hari. Sisanya dia yang pegang. Semua itu tidak akan menjadi masalah bagiku.
"Buruan, kita sudah terlambat," ucap Mas Angga menarik tanganku. 
Malam itu aku berjalan di sampingnya sekalem mungkin. Niat awal tetap sama, aku tidak mau menarik perhatian dari teman-teman Mas Angga. Sedangkan Mas Angga menggendong Bilqis.
Alunan musik nan indah baru saja aku dengar, tatkala kaki menjejaki pekarangan rumah baru itu. Tidak terlalu besar, tetapi cukup mewah kulihat.
Kerlap kerlip lampu hiasan, melingkar di tiang kokoh rumah itu. Pintunya terbuka lebar, suara candaan serta alunan musik saling bersahut-sahutan.
Ketika kami masuk, beberapa mata langsung tertuju pada kami. Aku semakin gugup, apalagi beberapa pria dewasa menatap intens.
"Hai, gue belum telat kan?" tanya Mas Angga melambaikan tangan. Kemudian mereka saling berjabat tangan.
"Acara baru dimulai kok Ngga. Eh, ini anak pertama lu?" tanya salah seorang dari mereka.
"Yup, bro. Anak pertama ni. Anak kedua lagi diproses," ucap Mas Angga, seolah tanpa beban sedikitpun.
Aku hanya mematung mendengar obrolan mereka. Beberapa menit berlalu, datanglah Mas Faisal bersama istrinya–Ayu.
"Hai, Bro. Baru nyampe lu?" tanya laki-laki berbadan tinggi dan tegap. Dialah Mas Faisal–sahabat suamiku.
Aku hendak berlalu tapi tidak bisa. Mas Faisal menyapa ramah, seraya matanya tak berhenti menatap. Mbak ayu pun menyambutku ramah. Kami saling berjabat tangan dan cipika-cipiki. 
Sungkan! Itulah yang aku rasakan. Aku memang tidak terlalu dekat dengan Mbak Ayu. Bukan tanpa alasan, selain Mas Faisal jarang membawanya bertamu ke rumah, selain itu juga Mbak Ayu adalah wanita karir. Tentu saja dia tidak akan sudi menjadikanku sahabatnya. Apalagi aku hanyalah wanita yatim piatu berasal dari kampung. 
"Sebentar ya, Mbak," ucap Mbak Ayu meninggalkanku di situ. Dia sibuk menyambut teman-teman satu circle-nya.
Tidak tahu apa yang harus aku lakukan di pesta itu.
"Rum, kamu gendong Bilqis dulu. Aku mau gabung sama teman-teman yang lain dulu."
Aku mengangguk, mengambil Bilqis dari gendongan Mas Angga. Setidaknya aku punya alasan untuk pergi dari sana. 
Aku berjalan perlahan, menuju sudut ruangan. Di sana sudah tersedia beraneka makanan dan minuman. Tidak mungkin aku menggendong Bilqis sepanjang acara. Memutuskan untuk duduk diam, sambil mengamati mereka satu persatu.
Itu jauh lebih baik kurasa.
***
Satu jam berlalu, pesta belum juga usai. Justru alunan musik semakin besar memekakkan telinga. Aku tidak tahu persis apakah tetangga yang tidak jauh dari sana terganggu. Itu bukan urusanku juga.
Aku hanya ingin cepat-cepat pulang. Mata mulai mengantuk, Bilqis pun sudah terlelap tidur.
Mataku mencari-cari keberadaan Mas Angga. Tanpa sengaja, aku melihat kejadian yang membuat rasa cemburu bergejolak. Mas Angga sedang mengobrol akrab dengan seorang wanita. 
Ketika ingin beranjak menghampirinya, langkah kaki ditahan oleh kedatangan sang pemilik pesta.
"Mau kemana, Rum?" tanya Mas Faisal, seraya tersenyum.
Dia mendekat, serta duduk di hadapanku. Membuat pandangan ke Mas Angga menjadi terhalang. Entah disengaja atau tidak melakukan itu, tetap saja aku tidak suka.
"Kamu cantik, Rum."
Aku tertegun mendengar pujian dari Mas Faisal. Aneh saja rasanya, jika dia memuji istri sahabatnya sendiri. Tidak aku pungkiri, pujian itu sedikit menyentuh hati. Selama kami hidup bersama Mas Angga belum pernah memujiku sedikitpun.
"Biasa saja kok, Mas." 
Aku berusaha mengendalikan diri. Tidak ingin terbuai satu kalimat pujian dari laki-laki asing.
"Di mataku luar biasa, Rum. Kamu benar-benar cantik. Hmm, sebenarnya aku heran. Tapi sudahlah tidak usah dibahas."
Aku hanya terdiam. 
"Bilqis sudah tidur?"
"Sudah, Mas. Sementara ayahnya masih asyik mengobrol di sana."
"Hmm, kamu mau pulang, Rum?" tanya Mas Faisal lagi. 
"Iya, Mas. Tapi aku harus sabar sampai Mas Angga selesai."
"Bagaimana kalau aku saja yang mengantarkanmu pulang?" Mas Faisal menatapku agak lama. Mungkin dia menunggu jawaban.
"Tidak, Mas. Tidak usah," ucapku menolak tegas. 
"Kenapa, Rum? Aku sahabat suamimu loh!"
Mas Faisal seakan memaksa agar aku mau diantarkan olehnya.
Aku hanya diam saja, sembari mengalihkan fokus pada Bilqis yang terlelap.
"Ini sudah larut malam. Kasihan Bilqis, aku akan minta izin pada Angga untuk mengantarkanmu."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Mas Faisal sudah beranjak menuju Mas Angga. Entah apa yang mereka bicarakan. Kemudian Mas Faisal kembali dengan senyuman menang.
"Angga setuju kok, Rum. Ayo, Sayang aku antarkan pulang. Kasihan melihat kamu diabaikan begini." 
Apa? Mas Faisal memanggilku sayang? Ujian apalagi ini? Kenapa Mas Angga tidak mempedulikanku. Jika dia tidak peduli padaku, setidaknya dia pikirkan Bilqis. Tiba-tiba aku menjadi sangat sedih. Dia tidak menaruh cemburu sedikitpun. 
"Ayo, Rum!" 
Mas Faisal menggendong Bilqis, kemudian menarik tanganku. Lebih tepatnya menggenggamnya dengan lembut. 
Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku setuju atau segera menolak?

Komentar Buku (79)

  • avatar
    Xellyn

    baguz

    12h

      0
  • avatar
    _Desu`Dza

    kᥱrᥱᥒᥒᥒ

    3d

      0
  • avatar
    NASAIda

    sangat seru

    3d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru