logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Melati Meninggal

. "Orang koperasi kan? Istri kamu ini memang tak tahu malu Man, mbak sampai malu lho banyak tetangga yang suka ngomongin istri kamu karena banyak utang koperasi," ucap Diah ketika melihat Herman melangkah mendekatinya.
"Iya Mbak, orang koperasi Indah Sakti, tapi mereka mencarimu Mbak!"
ucap Herman lesu, dia pusing, sebentar lagi pasti terjadi keributan.
"Ap_apa? Mereka mencariku?" tanya Diah ketakutan, wajahnya yang tadi angkuh sekarang berubah pucat.
"Cepat temui sana Mbak, masa yang dicari mbak Diah saya yang harus menemuinya, nggak nyambunglah," ucap Farah dengan senyum sinis.
"Diam kamu!"bentak Diah keras.
Tok tok tok!
Tok tok tok!
"Bu Diah, bu Diah, keluar Bu!" Toga berteriak memanggil Diah.
"Ada apa to kok ribut-ribut?" bu Ningrum bergegas keluar ketika mendengar suara pintu digedor dengan keras.
"Ooohh, pasti nyari Farah ya, ada itu di dalam, labrak saja Pak," bu Ningrum berkata dengan angkuh diiringi tawa mengejek.
"Kami nyari bu Diah, cepat suruh dia keluar,jangan main-main!" Toga membentak bu Ningrum dengan keras, pandangannya nyalang seperti seekor singa kelaparan.
"Di_Diah?"bu Ningrum mundur selangkah mendengar nama anaknya disebut, wajah yang tadi angkuh mendadak pudar menjadi pucat dan ketakutan.
"Diah, Diah, mereka nyari kamu Nak, memang benar kamu punya utang?" tanya bu Ningrum panik.
"Man, Herman, tolong kakakmu, tolong Man!" bu Ningrum mencari Herman di kamarnya.
"Man, minta uang buat bayar utangnya Diah, kasihan itu kakakmu ketakutan," bu Ningrum menggoncang tubuh Herman yang terbaring di ranjang pura-pura tidur.
"Aarrrgh, pusing aku, tiap hari uang, uang dan uang!" Herman mendengus kesal dan beranjak keluar kamar.
"Dek, kamu punya uang?" tanya Herman kepada Farah yang sedang melipat baju di depan TV.
"Iya itu istrimu punya uang banyak, ambil dari dia Man, itu si Toga sudah ngamuk di luar, takut tetangga pada tahu, malu aku," ucap Diah sambil mengintip ke luar rumah, di mana Toga sedang berteriak memanggil namanya.
"Sini Dek uangnya," ucap Herman sambil meraih tas yang ada di badan Farah.
"Jangan asal ambil tanpa izin!" sergah Farah sambil menepis tangan Herman.
"Jangan kurang ajar Farah, Herman ini suamimu!" bentak bu Ningrum.
"Memang benar dia suamiku, tapi dia tak berhak atas uangku, apalagi mau diberikan kepada kakak iparku," balas Farah ketus.
"Tolong Dek, sekali ini saja," Herman memohon.
"Sekali ini saja selama bertahun-tahun, mas mikir itu nggak? Aku ini istrimu Mas, bukan sapi perah yang memberi susu untuk keluargamu!"
"Dasar perempuan kampung tak tahu diri, cepat berikan uang, itu si Toga sudah ngamuk," Diah membentak Farah, dia hendak merampas tas yang ada di badan Farah, dengan sigap Farah menjauh dan berlari ke luar rumah.
Di depan pintu Toga dan Abas masih menunggu, dan di luar pagar sudah banyak ibu-ibu komplek yang berkumpul karena mendengar teriakan Toga tadi.
"Lepaskan!" Farah menyentak tangan Diah dengan kasar, lalu dia berdiri di belakang badan Toga yang tegap tinggi, melihat itu Diah tak berani mendekatinya.
"Bu Diah, mau ke mana? Mana uang angsurannya?"bentak Toga keras sambil mencekal tangan Diah,saat dia mau masuk ke dalam rumah.
"Minta sama Farah, dia bawa uang banyak!"tanpa rasa takut Diah membentak Toga.
"Kami nggak ada urusan dengan bu Farah, bu Diah yang punya utang sama bos kami, bu Diah yang harus bertanggung jawab, jangan libatkan orang lain," Abas yang dari tadi diam menyahut ucapan Diah.
"Farah, cepat bayarkan ke orang ini enam juta, jadi orang jangan pelit!" Diah membentak Farah.
"Aneh ya, orang minta tolong kok kasar," bisik bu Murni, tetangga dekat rumah.
"Lagian dia yang utang kok nyuruh mbak Farah yang bayar, pakai acara bentak lagi," sahut bu Ida, orang yang paling baik dengan Farah.
"Keluarga ini kan tukang utang," cecar Yulia si kompor julid.
"Mbak Farah banyak hutang karena untuk menghidupi keluarga suaminya," bu Ida membela nama baik Farah.
"Kalian selalu ikut campur urusan orang, pergi kalian dari sini," teriak Diah kepada ibu-ibu yang sedang berbisik-bisik. Diah datang membawa seember air yang siap disiramkan kepada ibu-ibu itu, sontak semua lari tunggang langgang.
"Gimana ini bu Diah, kami sudah capek berdiri di sini, kami ke sini mau minta uang angsuran, bukan untuk menyaksikan sikap ibu yang bar-bar," celetuk Toga dengan memasang wajah garang.
Di waktu yang sama Farah melihat Herman mengendap-endap menuntun motornya ke luar pagar, Farah enggan bertanya dia mau ke mana dari pada ribut lagi.
"Ibuuu, ibuuu, tolong Diah Buuu," Diah menjerit memanggil ibunya,karena Toga menghalangi pintu untuk dia masuk.
"Dari tadi ribut nggak habis-habis, sebenarnya berapa utangmu Diah?" tanya bu Ningrum.
"Sepuluh juta Bu," jawab Diah dengan ketakutan.
"Sepuluh juta? Buat apa uang sebanyak itu?" tanya bu Ningrum kaget.
"Bu- buat bantu usaha bang Iwan Bu, tapi nanti pasti di kembalikan dua kali lipat kok," ucap Diah yakin.
"Permisiii."
"Bu Farahnya ada?" Sardi, petugas koperasi mingguan yang datang.
Semua orang saling berpandangan,Farah mendekati Sardi dengan langkah pasti.
"Tumben datang sendiri Mas," tanya Farah ramah.
"Andrinya jalan ke arah lain, sudah Mbak nggak usah basa-basi, minggu kemarin janji dobel lho ya!" tukas Sardi serius. Sebelum berangkat tadi dia dapat teguran dari atasannya mengenai angsuran pinjaman Farah yang tersendat-sendat.
"Masih berapa utangku?" tanya Farah serius.
"Nggak usah tanya masih berapa, yang penting bayar empat angsuran, jadi satu juta dua ratus ribu harus ada sekarang,"Sardi bicara dengan tegas.
"Aku mau lunasi, semua berapa?" tanya Farah tegas, sambil menunjukkan setumpuk uang berwarna merah. Wajah Sardi yang tadi tegang, mendadak ceria melihat uang yang dibawa Farah.
"Semua enam juta, kan mbak Farah baru bayar empat kali," tutur Sardi menjelaskan.
"Ini dihitung dulu, kalau kurang bilang, nanti aku lunasi," ucap Farah sambil mengulurkan setumpuk uang merah tadi.
Toga, Abas, bu Ningrum serta Diah diam terpaku melihat transaksi antara Farah dan Sardi.
"Mbak, uangnya ada delapan juta dua ratus ribu, berarti sisa dua juta dua ratus ribu ya," ucap Sardi, wajahnya sangat ceria karena Farah yang selama ini sangat susah membayar angsurannya sudah melunasi semua hutangnya.
"Sisanya ambil saja, dibagi dua sama Andri, ingat ya, minggu depan jangan ke sini lagi!"
Mereka yang berada di situ terperanjat, begitu royalnya Farah memberi uang secara cuma-cuma.
"Enak saja, sini sisanya!" Diah mendekati Sardi dan menarik tas Sardi, karena uang yang dari Farah tadi sudah dimasukkan dalam tas.
"Eh, eh, apa ini mbak? Jangan sembarangan ya, main tarik saja, mbak punya sopan nggak sih?" Sardi menarik tasnya dengan kasar, Diah meringis kesakitan karena jarinya tergores besi yang ada pada tali tas tersebut.
"Cepat jalan Mas Sardi, di sini banyak perampok soalnya," ucap Farah sambil memberi kode kepada Sardi.
"Kamu memang benar-benar sombong dan kurang ajar Farah! Dengan saudara kamu pelit, dengan orang lain terlalu royal!"bu Ningrum marah- marah tak karuan.
"Pak Toga, ayo ambil uang dari menantu tak tahu diri itu, ambil saja untuk bayar utangnya Diah," bu Ningrum nekad menarik tangan Toga dan menuntunnya ke dekat Farah.
"Memang uang siapa Bu? Kami nggak mau seenaknya merampas hak orang lain!" Toga menyentakkan tangannya dengan keras.
"Huuuuu, ibu dan anak sama saja," tiba-tiba muncul beberapa ibu dari balik pagar tembok rumah Yulia.
Bu Ningrum menatap mereka dengan muka merah padam,dia baru saja mau melangkah untuk melabrak mereka, tapi niatnya diurungkan ketika Herman datang dengan memboncengkan Galang dan Melati di atas motornya.
"Bang, kenapa bawa anak-anak pulang, biar saja mereka tinggal bersama mas Agung!" ucap Farah, dia tak setuju kalau anak-anaknya tinggal serumah dengan Diah dan bu Ningrum, karena dia tahu mereka akan menggunakan anak-anaknya untuk kepentingan mereka.
Dengan adanya Galang dan Melati, mau nggak mau Farah harus berbelanja untuk kebutuhan mereka.
"Aku kan ayahnya, aku lebih berhak atas mereka," sahut Herman tegas.
"Baik, kalau memang itu alasan abang, tapi tolong penuhi kebutuhan mereka, jangan telantarkan mereka!"ucap Farah,dalam hatinya berkata, mulai sekarang dia hanya akan belanja untuk anak-anaknya.
"Pak Herman, bagaimana ini, nama bapak tercantum sebagai penanggung jawab atas utang bu Diah di sini,"ucap Toga sambil menunjukkan kertas yang di situ tertera namanya dan juga ada tanda tangannya.
"Saya nggak pernah merasa menanda tangani ini Pak," Herman berusaha mengelak.
"Buktinya ini ada!"tukas Toga.
"Mbak, ini siapa yang tanda tangan di sini?" tanya Herman, dia menatap wajah Diah minta penjelasan.
"Itu mas Iwan yang meniru tanda tanganmu Man," jawab Diah enteng.
"Iwan? Siapa dia?" tanya Herman.
"Calon abang iparmu, sudah nggak usah dibahas,sana minta uangnya Farah, sekalian di lunasi, jumlahnya semua lima belas juta, risih aku kalau di tagih utang begini!"
"Di jaga ucapannya bu Diah, kalau nggak mau ditagih jangan utang!" cecar Abas, dia merasa geram menghadapi Diah.
"Cepat sana Man, minta sama Farah!" Diah membentak Herman, dia sangat tersinggung karena ucapan Abas.
"Ya, sebentar Mbak," sahut Herman sambil mencabut kunci kontak motornya. Dia berjaga-jaga kalau Toga nekad merampas motornya karena marah.
"Nggak pakai lama!" bentak Diah sambil menendang motor Herman sekuat tenaga, hingga mengakibatkan Herman terjatuh, dan Melati yang sedang asyik bermain di sebelah kanan motor itu tertindih motor tersebut.
"Melatiiii!" Herman menjerit histeris.
Herman segera menarik motor tersebut yang dibantu oleh Toga.
"Melatii, Melati, bangun Nak," ucap Herman, Melati gadis kecil itu diam tak menyahut. Darah segar mengalir dari kedua telinganya.
"Innalilahiwainalilahi roji'un,anak bapak sudah meninggal," ucap Toga setelah memeriksa denyut nadi pergelangan tangan Melati.
Diah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keponakannya meninggal karena sikap bar-barnya. Dia diam membisu di tempatnya.
"Melati, ayo makan dulu..." ucapan Farah terhenti ketika melhat Herman melangkah gontai dengan air mata berlinangan sambil membopong tubuh Melati.
"Ada apa ini Bang? Melati kenapa?"tanya Farah panik, dia memeriksa tubuh Melati yang lecet di sana sini.
Ibu-ibu yang tadi berkumpul bergegas masuk mengikuti langkah Herman, mereka menatap sinis ke arah Diah.
"Siap-siap masuk bui bu Diah, aksi bar-bar tadi semua ada dalam HP ini!"

Komentar Buku (1454)

  • avatar
    AlmirandaaDzakiyah

    500

    04/08

      0
  • avatar
    CantikMaya

    bagus

    25/07

      0
  • avatar
    BillfoldAse

    bagus

    28/06

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru