logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Listrik Padam

Setelah membeli sarapan aku mampir ke warung Bang Tio. Menceritakan kejadian semalam, padahal aku berdua sama Toni, tetapi tetap saja diganggu.
“Beneran kamu lihat wajah kuntilanak di situ, Git? tanya Bang Tio seakan tak percaya.
“Iya, Bang. Wajahnya lebam-lebam gitu terus di bibirnya menetes darah. Serem, deh, sahutku bergidik membayangkan kejadian semalam.
Sebenarnya hatiku masih gamang antara pindah kosan atau tidak. Kalau pindah berarti aku akan kehilangan separuh uang sewa yang sudah kubayarkan, tetapi kalau tetap di sini aku tak tahu akan tahan atau tidak.
Kalau ditemani Toni setiap malam, sih, mungkin aku bisa bertahan, tetapi tak mungkin ia tiap malam menginap di kosanku.
Aku membuka bungkusan nasi uduk, sekalian kubelikan untuk Bang Tio. Kami menikmati sarapan pagi ini ditemani terangnya sinar matahari.
“Bang, warung ini kan buka dua puluh empat jam. Memangnya enggak takut? tanyaku.
“Takut apa? Demit? Bang Tio malah balik nanya.
“Ya demit atau orang jahat gitu, Bang, ucapku sambil menyuap nasi uduk.
“Ya takut, sih, tapi insya Allah di sini aman. Setiap malam ada yang keliling ronda. Masalah demit, itu tergantung kita. Selama bisa membentengi diri dan berani menghadapi dedemit, mereka enggak akan berani. Lagi pula kalau kita enggak ganggu, mereka enggak akan ganggu, Git, jelas Bang Tio panjang lebar.
“Loh, aku enggak ganggu, tapi tuh demit ganggu, Bang, kataku protes.
“Wah kalau itu enggak tahu aku, sahutnya terkekeh. Yang penting kamu jangan lupa salat dan ngaji. Perbanyak ibadah! imbuh laki-laki bertubuh sedikit pendek dariku ini.
“Iya, Bang, jawabku singkat.
Bang Tio bilang aku boleh ke sini setiap saat kalau memang di kosan takut, sekalian nemenin katanya. Sebenarnya ia tinggal bersama adiknya, tetapi adiknya sedang pulang kampung sudah seminggu. Jadi, sementara ini Bang Tio sendirian di warung.
Sekitar pukul sembilan aku kembali ke kosan. Kebetulan hari ini libur aku mau nyuci baju. Sudah seminggu aku tidak nyuci, lemari kecil yang kupakai untuk menyimpan baju sudah hampir kosong. Rasa takut membuatku melupakan banyak hal. Sampai-sampai aku tak sempat memikirkan cucian yang sudah menumpuk di keranjang. Eh, aku lupa mau nanya soal laki-laki yang kulihat beberapa kali kepada Bang Tio. Biarlah nanti kalau ke sini lagi akan kutanyakan.
Saat berjalan tadi kulihat bengkel Toni sudah buka dan aku berjanji untuk main ke sana nanti siang. Lagi pula di kosan sendirian lebih baik aku main saja ke sana setelah selesai nyuci dan beres-beres.
Lumayan banyak juga baju kotorku, cukup menguras tenaga. Coba tadi aku laundry saja, tetapi lumayan mengisi waktu senggang juga, sih.
Setelah selesai semuanya, sekitar habis Dzuhur aku main ke bengkel Toni. Ternyata ada Arya dan Yusuf juga di sana.
“Apa kabar, Git? tanya Yusuf.
Arya dan Yusuf masih temanku. Kami sering ngumpul di kosan lamaku kalau sedang libur begini. Yusuf juga tetangga di kosan lama. Aku pindah karena ingin lebih dekat ke tempat kerja, sedangkan Arya tetanggaan dengan Toni dan satu tempat kerja dengan Yusuf.
“Alhamdulillah baik. Kalian apa kabar?
“Baik, ucap Arya dan Yusuf bersamaan.
“Gimana betah enggak ngekos di sini? Semenjak kamu pindah aku jadi enggak ada temen di kosan, kata Yusuf sambil menarikku untuk duduk.
“Ya gitu, deh, sahutku sambil nyengir.
“Kata Toni kosannya angker, Git? tanya Arya.
“Iya, aku baru tadi malam nginap di kosan. Dari malam Senin sampai Rabu aku numpang di warung Bang Tio. Dua malam kemudian aku nginap di tempat kerja.
Mereka tertawa mendengar ceritaku. Mungkin mereka membayangkan aku dan Toni yang ketakutan di ganggu demit.
Aku mengajak mereka main ke kosan. Mungkin kalau banyak orang demit itu tak akan mengganggu.
“Kalau malam ngumpul di sini aja, ajakku kepada kedua temanku.
“Boleh juga, ucap Arya.
Kami kembali ke bengkel Toni. Ia sedang sibuk memperbaiki motor pelanggannya. Petang mulai menghampiri, Arya dan Yusuf pamit pulang.
“Ton, nanti jadi nginap lagi, 'kan? tanyaku memastikan.
“Iya jadi. Aku enggak pulang dulu, kok, setelah bengkel tutup aku ke kosan kamu, ucap Toni.
Aku kembali ke kosan terlebih dahulu sedangkan Toni masih memperbaiki satu motor lagi.
Semenjak diganggu demit di sini, aku jadi lebih rajin salat. Biasanya bolong-bolong. Ada hikmahnya juga, sih.
Menjelang Magrib Toni belum juga muncul. Aku mulai khawatir ia tak jadi menginap. Akan tetapi, kalau ia pulang pasti bilang dulu. Setelah salat aku mau lihat ke bengkelnya.
Perasaanku mulai tak enak, seperti mulai banyak yang memperhatikan. Baru saja rakaat pertama, salatku mulai tak khusyuk. Makin tak khusyuk saat terdengar air keran mengalir dan seperti ada orang sedang mandi.
Jantungku mulai berdetak hebat. Pikiran jadi melayang membayangkan ada orang di kamar mandi. Mungkin karena salatku yang tak khusyuk demit itu semakin berani mengganggu.
Saat sujud terakhir tiba-tiba terdengar pintu kamar mandi seperti ditutup dengan kencang. Sontak saja aku kaget dan akhirnya aku terpaksa membatalkan salat dengan tidak sengaja karena menoleh ke arah kamar mandi.
Aku harus mengulang salatku, tetapi suasana di dalam kamar ini semakin dingin dan tak enak. Akhirnya, aku memutuskan ke bengkel Toni.
Aku buru-buru keluar dan mengunci pintu. Suara tertawa kuntilanak itu terdengar dari dalam kamar kos.
“Astaghfirullah, ucapku yang gemetar mengunci pintu.
Saat aku membalikkan badan hendak lari. Ada sesuatu sedang berdiri di dekat pohon pisang. Aku perhatikan sejenak. Sesuatu yang berdiri ini bukan pohon pisang, tetapi seperti pocong.
“Aaahhh, teriakku sambil berlari ke depan gang.
Napasku tersengal saat tiba di depan gang. Aku berpapasan dengan Toni yang ternyata baru mau ke kosanku.
“Kenapa? tanya Toni.
“Engenggak, jawabku. Tak kuceritakan yang terjadi barusan. Aku khawatir Toni ketakutan.
Akhirnya aku kembali ke kosan di boceng motor Toni. Ia numpang mandi dan aku mengulang salat Magrib yang sempat tidak sah tadi.
Alhamdulillah, tak ada gangguan sejauh ini. Mungkin itu demit lelah terus-terusan mengganggu. Kami menyantap nasi bungkus yang dibeli temanku tadi sebelum ke kosan.
Saat sedang asyik dengan ponsel masing-masing, kudengar suara ceramah dari ponsel Toni.
“Kamu dengerin ceramah? tanyaku menyenggol kakinya.
“Iiya, sahutnya nyengir.
Aku senang sekali ternyata memang temanku ini ada kemauan untuk belajar, hanya ia tak percaya diri saja.
“Waah bagus-bagus. Berarti mau dong belajar ngaji? tanyaku seraya tersenyum kepadanya.
Toni hanya bergeming sambil menyunggingkan senyum dan kuanggap itu sebagai jawaban mengiyakan pertanyaanku.
Sekitar pukul sepuluh malam, tiba-tiba listrik padam. Gelap sekali. Aku dan Toni terlonjak kaget.
“Mati listrik, Git, ucapnya.
“Iya, nih. Kamu jangan niup belakang telingaku, dong. Geli tahu, ucapku.
“Hah, aku enggak niup belakang telinga kamu, Git, kata Toni.
Kalau bukan Toni, lalu siapa?

Komentar Buku (245)

  • avatar
    KarembongCebong

    Cerita nya serem tapi judulnya menarik👍👍

    13/04/2022

      0
  • avatar
    riskarufia'h

    baru memulai

    18d

      0
  • avatar
    WennyWennymarjeni

    lumayan

    21d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru