logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Tak Pulang

Tak Pulang
“Maksudnya, Bang? tanyaku.
“Iya sudah kuduga kamu tinggal di sana, ujarnya sambil menyiapkan kopi untukku.
“Kok, Abang bisa nebak aku tinggal di sana?
“Kamu keluar masuk gang itu, tinggal di mana lagi kalau bukan di kosan itu. Cuma ada tiga pintu kosan di gang itu. Rumah di sekeliling situ semua menghadap ke jalan raya jadi semua rumah cuma bagian belakangnya yang menghadap gang, 'kan? Bang Tio menjelaskan.
Iya, memang semua rumah cuma bagian belakangnya yang berderet dengan kosanku. Akan tetapi, Bang Tio bilang kosan itu ada tiga pintu, padahal cuma dua pintu.
“Cuma dua pintu, kok, Bang. Aku menempati pintu kesatu, sebelahnya kosong, kataku, menerima segelas kopi yang disodorkan Bang Tio.
“Ada satu pintu lagi di belakang kosan sebelah kamu. Pintu itu menghadap ke barat. Coba nanti kamu lihat ada gang kecil di sebelah kosan yang kosong, tuturnya.
Masa sih, nanti coba aku lihat. Beberapa hari tinggal di sini aku benar-benar tak memperhatikan sekitar, sibuk ketakutan karena diganggu penghuni tak kasat mata.
“Kosan itu memang angker. Sebelum kamu kosan itu udah dua kali ditempati orang. Yang pertama cuma bertahan satu bulan dan kedua cuma bertahan seminggu,” tutur Bang Tio.
“Hah, masa sih, Bang?
Aku benar-benar sudah terjebak di kosan berhantu itu. Kalau lama-lama tinggal di sana, aku bisa gila.
“Iya, yang terakhir sebelum kamu itu pedagang warung nasi itu. Bang Tio menunjuk warung nasi yang berjarak hanya beberapa meter dari warungnya.
Menurut cerita Bang Tio pedagang warung nasi itu suami istri. Mereka tak tahan dengan gangguan yang dialaminya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pindah.
Mereka yang berdua saja tak tahan diganggu makhluk halus penghuni di sana. Apalagi aku yang sendirian.
Malam ini aku numpang di warung Bang Tio lagi. Terlintas untuk mencari kosan baru lagi. Biarlah uang yang kembali hanya separuhnya daripada aku mati ketakutan di kosan berhantu itu. Rasanya tak lucu jika aku mati ketakutan diganggu makhluk halus.
Kalau aku pindah itu artinya aku harus benar-benar menekan pengeluaranku. Tabunganku kemarin habis untuk membayar kosan itu selama tiga bulan, hanya tersisa untuk makan dua minggu ke depan. Gajian masih dua mingguan lagi.
***
Azan Subuh berkumandang, seperti biasa aku harus kembali ke kosan untuk bersiap berangkat kerja.
Setelah salat Subuh dan bersiap, aku berangkat kerja. Sebelum itu mataku memindai sekeliling kamar yang aku tempati ini. Benar-benar tak ada aura positif yang kurasakan. Lembap, suram dan dingin meskipun sudah dicat ulang. Malahan aku semprot pengharum ruangan, tetapi hanya menyamarkan saja. Setelah wanginya menghilang aroma lembap kembali menguar.
Pantas saja tak ada yang betah dan bertahan lama tinggal di sini. Kalau diperhatikan memang seram juga di dalam kamar ini.
Tekadku sudah bulat untuk mencari kosan baru. Sebelum itu aku juga harus cerita sama Toni. Ah, semalam aku lupa menghubunginya. Biarlah nanti saja aku hubungi.
Anak itu benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya ia menempatkanku di kosan berhantu seperti ini. Sekarang malah menghilang tak tahu rimbanya.
Sebenarnya aku masih memikirkan uang sewa yang sudah kubayarkan dan kosan ini juga yang paling dekat ke tempat kerja, tetapi aku tak sanggup tinggal di tempat berhantu seperti ini. Kalau makhluk itu tak menganggu, sih, tak apa, tetapi belum semalam aku menginap sudah diteror habis-habisan. Sejak hari Minggu pindah ke sini belum semalam pun aku menginap di kosan ini.
***
Jumat sore pulang kerja aku mampir ke warung Bang Tio, memesan segelas kopi dan mie instan goreng. Perutku lapar sekali tadi siang di tempat kerja tak sempat makan.
“Ke mana aja dua malam enggak ke sini, Git? tanya Bang Tio.
“Aku nginep di tempat kerja, Bang, dua malam, jawabku.
“Waktu malam Rabu terakhir kamu di sini paginya kamu kerja itu enggak pulang, Git? tanyanya lagi seraya senyum-senyum.
“Iya, Bang. Kebetulan ada temen yang lembur jadi aku nginep aja di sana. Capek diteror terus, Bang. Kayanya aku mau cari kosan baru aja.
Bang Tio malah menyarankan aku rajin salat dan mengaji. Ia bilang sayang juga kalau uang sewa hanya kembali setengahnya. Ia juga bilang manusia itu lebih mulia dari makhluk lainnya. Semakin kita takut semakin senang dan kuat mereka.
Ah, imanku memang tak setebal para ustaz apalagi kiyai. Kualitas ibadah saja masih nol besar. Salat dan ngaji pun masih bolong-bolong, tetapi aku masih punya keyakinan Allah pasti selalu menolong. Semua yang dikatakan Bang Tio memang benar. Tak seharusnya kita takut sama makhluk seperti mereka. Mereka hanya ingin menyesatkan.
Mendengar ucapan dan nasihat Bang Tio, aku jadi berpikir ulang untuk mencari kosan baru. Biarlah nanti kupikirkan lagi.
Selesai menyantap mie dan menghabiskan kopi, aku menuju bengkel Toni. Rabu lalu aku mengirim pesan mencari tahu kabarnya ternyata ia sedang sakit.
“Ton, aku mau cerita, ucapku, mendaratkan bokong di kursi panjang depan bengkelnya.
“Eh, Git, cerita aja,” katanya sambil memperbaiki motor pelanggannya.
“Kosan itu berhantu. Sejak pertama pindah ke sini, aku belum sekali pun menginap di sana. Setiap malam aku diganggu makhluk halus dan akhirnya lari ke warung Bang Tio, jelasku kepada Toni.
“Ah, masa sih, Git? tanyanya seperti tak percaya.
“Tanya aja sama Bang Tio. Kamu lama buka bengkel di sini masa enggak tahu kalau kosan itu berhantu, sih,” ujarku sedikit kesal.
“Sumpah aku enggak tahu, Git. Malah baru tahu sekarang dari kamu. Lagian aku di sini cuma siang aja, Bang Tio kan siang malam, wajarlah ia tahu, kata Toni membela diri.
“Ya udah nanti malam kamu nginep ya temenin aku. Masa iya aku harus numpang di warung Bang Tio terus atau nginep di tempat kerja terus, pintaku kepada Toni.
“Iya, nanti malam aku temenin, deh, tapi aku pulang dulu ya ada urusan sebentar.
“Iya, yang penting kamu nginep temenin aku, ucapku sambil pamit pulang.
***
Seperti biasa waktu Magrib telah tiba, aku menunaikan salat dan mengaji beberapa halaman. Seperti saran Bang Tio aku harus rajin ibadah.
Setelah selsai, aku menonton televisi. Teringat tadi sore pulang dari bengkel Toni aku sempat memperhatikan sekeliling kosan. Ternyata benar kata pemilik warung kopi itu, ada gang kecil di sebelah kosan yang kosong. Ada satu pintu kosan di sana menghadap ke barat. Ternyata gang itu buntu, hanya untuk jalan ke kosan tersebut. Sebelahnya terdapat sebuah tembok yang ternyata bagian belakang rumah pemilik kosan ini. Rumahnya mengahadap ke jalan raya.
Kosan yang menghadap ke barat itu sedikit berbeda. Seperti lebih terawat dan sedikit lebih terang di banding kosan yang kutempati dan sebelahnya.
Saat sedang mengingat itu ada suara mengetuk kaca jendela. Hal itu membuatku tersentak. Tiba-tiba suara itu berubah menjadi gedoran.
Astagfirullah, batinku.
Aku tak berani membuka pintu, tetapi aku penasaran juga ada apa di luar. Kuberanikan diri membuka tirai jendela dan ternyata tak ada apa pun.
Sudah pukul tujuh Toni belum datang juga. Aku gelisah, takut ia tak datang dan tak jadi menginap. Kuambil ponsel dan menghubunginya. Ia bilang akan ke sini sekitar pukul delapan.
Dengan perasaan tak tenang dan jantung berdebar aku menunggu Toni. Serasa lama sekali jarum jam berputar. Sambil menonton televisi, aku memperhatikan ke luar jendela yang belum kututup lagi tirainya.
Seperti ada seseorang di luar. Aku bangkit mendekati jendela. Aku terpaku saat menyadari ada sesuatu di dekat pohon jambu.
“Kenapa Toni lama sekali? gumamku dengan badan yang mulai terasa kebas.

Komentar Buku (245)

  • avatar
    KarembongCebong

    Cerita nya serem tapi judulnya menarik👍👍

    13/04/2022

      0
  • avatar
    riskarufia'h

    baru memulai

    19d

      0
  • avatar
    WennyWennymarjeni

    lumayan

    21d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru