logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Crazy In Love

Crazy In Love

Nur Cahaya


Part 1

Adzan subuh sudah berkumandang. Ayam jantan sudah ramai-ramai berkokok menyambut terbitnya sang surya. Namun, hal itu tak membuat cowok jangkung itu bangun dari lelapnya. Padahal, sang ibu sudah berkali-kali membangunkannya. Berkali-kali sang ibu mengomel dengan keras. Namun, cowok itu tak kunjung membuka matanya. Terlalu asyik meraih mimpi.
BYUURRR
Dengan mengesampingkan rasa kemanusiaan sang ibu mengguyur anaknya dengan air seember. Jamal dengan gelagapan terbangun dari tidurnya. Kepalanya pening akibat dibangunkan dengan cara seperti ini.
Dengan samar, ia melihat ibunya yang sedang berkacak pinggang menahan emosi.
"Mama, kalau bangunin itu yang manusiawi dong! Masa wajah ganteng begini dibangunin kayak gini. Emangnya aku ayam apa? Yang dimandiin pake semprotan?"
Mendengar protesan anaknya, sang ibu menoyor kepala anak itu dengan sayang.
"Persetan dengan manusiawi. Emangnya kamu manusia? Kayaknya bukan deh. Kamu lebih cocok jadi anak ayam, makanya ibu mandiin pake semprotan."
"Yaampun Ma, gitu amat sama anak sendiri. Kayaknya aku emang anak pungut deh, yang kekurangan kasih sayang."
"Udah, jangan kebanyakan ngomong kamu. Kebiasaan sholat dhuha kok pake spion. Nggak malu sama adik-adik kamu? Lihat, adik-adik kamu udah rapi, tinggal nunggu abangnya yang pemalas ini turun."
"Iya-iya. Anakmu yang pemalas ini akan segera bersiap."
Dengan malas Jamal melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Telinganya sudah super engap mendengar omelan serta teriakan maut sang ibu. Lama-lama ia bisa mati muda kalau setiap hari mendengar omelan sang bunda ratu.
.....
Setelah menyelesaikan kewajibannya sebagai muslim ia merapikan peralatan sholatnya. Walaupun ia terkenal nakal dan biang onar, ia tak pernah lupa untuk melakukan kewajibannya kepada Sang Pencipta.
Kemudian ia melihat dirinya sendiri pada cermin besar kamarnya. Ia tersenyum lebar, lalu mendekatkan dirinya ke arah cermin.
"Anjir... Ganteng banget gue. Pantes gak ada yang berani nolak pesona gue. Gila. Seribu bidadari pun bisa takluk kalau melihat wajah seganteng gue."
Ia bergaya bak model di depan cermin. Mengagumi wajahnya sendiri bak orang gila.
PLETAK
"Aduhh... Sakit!!"
Jamal meringis kesakitan ketika sesuatu yang keras mengenai kepalanya. Ia menoleh ke belakang. Ahh.. Ternyata ayahnya.
"Papa, kenapa si suka banget mukulin kepala aku? Gak Mama gak Papa semuanya sama aja. Suka banget bikin anak menderita."
"Adek-adek kamu udah nunggu kamu daritadi di bawah. Kasian. Eh, yang ditunggu malah asik sendiri di depan cermin. Koyok bocah gemblung!"
"Ganteng gini dibilang gemblung."
" Emang bocah gemblung gak boleh ganteng apa? Buktinya orang di depan saya gendeng tuh."
Jamal mendengus malas mendengar perkataan sang ayah. Ia tak mau membantah terlalu banyak. Nanti di cap anak yang super durhaka, kan payah. Lalu ia berkata,
"Yaudah yuk ke bawah, ayahnya bocah gemblung. Kasian katanya adek-adek udah nunggu."
Sang Ayah hanya bergumam menanggapi ucapan sang anak. Anak sulungnya ini benar-benar membuatnya sakit kepala. Bukannya menjadi contoh yang baik, sang anak sulung malah sering menjerumuskan adiknya ke jalan yang sesat. Huft, lagi-lagi pria paruh baya ini menghela nafas lelah. Mengingat kelakuan anaknya yang satu itu benar-benar membuatnya meradang.
.....
Kondisi meja makan keluarga Jamal benar-benar ribut. Lihatlah anak kembar seiras yang sedang mendebatkan hal-hal yang tidak penting. Entah itu dari ayam bertelur sampai gosip bakso Mang Dadang yang katanya menggunakan boraks.
Setelah mendengar bunyi hentakan kaki dari tangga, mereka bungkam. Mereka memelototi sang kakak tidak suka. Akibat menunggu sang kakak terlalu lama, membuat cacing-cacing di perut mereka sudah konser sambil meloncat-loncat senang.
Jamal yang ditatap seperti itu, hanya menyengirkan mulutnya. Menampilkan gigi-gigi putihnya yang rapi. Tanpa merasa bersalah, ia langsung mengambil piring kemudian menambahkan nasi dan lauk ke atas piringnya.
"MasyaAllah, nikmat mana yang kau dustakan. Masakan mama emang yang terbaiklah." Ucap Jamal menikmati masakan sang ibu.
TAK!!
Devan membanting sendoknya kesal. Kenapa kakaknya tak merasa bersalah sama sekali? Karena sang kakak, ia harus repot-repot berdebat dengan adik kembarnya. Benar-benar mengesalkan. Ia menggeram marah, urat ototnya tampak mulai menghiasi pelipisnya.
"ABANG KOK GAK MERASA BERSALAH SAMA SEKALI? CAPEK-CAPEK AKU SAMA DEVIN NUNGGUIN ABANG! EH YANG DITUNGGUIN GAK TAHU MALU MALAH MAKAN DULUAN KAYAK MONYET!!"
Jamal mengangkat sebelah alisnya. Suara adiknya ini benar-benar memekakkan telinga. Bahkan suara sang ibu kalah telak dengan teriakan nyaring Devan.
"Aduh, adekku sayang. Jangan marah dong. Kan abang nggak menyuruh kalian buat nunggu abang. Salahin tuh, Mama sama Papa. Kan mereka yang nyuruh kalian buat nunggu abang." Ucap Jamal santai.
Devin yang mendengar perdebatan kedua kakaknya hanya merengut kesal. Kesal sekali dengan kakak sulungnya yang berbuat seenak hati tanpa memikirkan perasaan orang lain. Dasar egois.
"Abang sama kakak udah deh berantemnya. Pusing nih kepala Devin. Dan buat Abang, jangan terlalu sering deh bikin kita nunggu lama. Devin capek kalau harus nunggu abang tiap hari."
Jamal mendengar celotehan adik bungsunya tersenyum gemas. Devin berbeda dengan Devan yang mulutnya seperti mercon 5 kg yang diletuskan tiap lebaran. Ia mengusak rambut Devin gemas.
"Iya adek abang yang manis. Abang janji gak bakal ngulangin lagi."
Devan hanya merotasikan bola matanya malas. Melihat adegan romansa di depannya benar-benar membuatnya mual.
Kedua orang tua mereka yang sedari tadi diam mulai merasa jengah. Selalu seperti ini. Setiap pagi tidak ada yang namanya hari tenang. Yah, setidaknya dengan keadaan seperti ini. Suasananya tidak terlalu monoton.
"Udah debatnya. Sekarang kita makan. Kasihan Mama kalian. Susah-susah Mama masak, malah makanannya jadi penonton keributan kalian." Ucap sang kepala keluarga, Darto.
Mendengar sang raja telah bertitah, mau tak mau ketiganya bungkam. Mereka tak mau melihat sang raja murka karena keributan yang mereka perbuat.
....
"Jack berangkat dulu ya Pa,Ma." Ucap Jamal sembari menyium tangan kedua orang tuanya.
"Hati-hati. Jangan ngebut. Kalau ada polisi tidur pelan-pelan aja, nggak usah ngegas!" Nasihat sang Ibu.
"Mama, kalau motornya nggak di gas ya gak bisa jalan,dong." Sahut Jamal
"Udah-udah, sana berangkat. Kalau debat terus nanti terlambat lagi." Itu suara sang Ayah.
"Iya-iya."
Jamal langsung menunggangi motor merah bahenolnya. Motor yang jadi kesayangannya ini merupakan hadiah dari sang ayah ketika umurnya menginjak usia tujuh belas tahun. Motor sport merahnya benar-benar menemani sang pemilik kemanapun ia pergi.
BRMMM
Jamal mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Walaupun ia terkenal sebagai biang onar, ia selalu mengutamakan keselamatannya sendiri juga orang lain. Kenakalannya hanya sebatas membolos kelas, menggoda cewek-cewek,menjaili teman, dan tak lupa merecoki guru. Ia bukan remaja yang suka kebut-kebutan apalagi balapan liar.

Komentar Buku (107)

  • avatar
    Zzzzbt

    cerita ini sangat bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    WahyudaRega

    menarik ceritanya kak

    12/08

      0
  • avatar
    channel8pool ball

    okbakk

    10/07

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru