logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bagian 7

Berkali-kali purnama berganti, tak ada tanda-tanda kondisi Mamak semakin membaik. Justru semakin parah dan berlarut-larut. Jika dulu Mamak masih sering ingat dengan masa sekarang, kini hampir bisa dikatakan dominan Mamak teringat masa lalu.
Tadi pagi, pantat Sam dipukuli Mamak. Anak itu diam dan menerima saja. Mulanya dia bermain di kamar mandi belakang dekat ibunya yang mencuci. Setelah pulang sekolah dia memang jarang pergi bermain ke tempat teman.
Mamak menyangka itu aku yang sedang main air. Dalam pikiran Mamak, Samudera adalah Galih kecil. Sam terpaksa cepat menjadi dewasa untuk memahami keadaan yang mendera opungnya. Meski kesakitan, dia tak menangis, dia hanya diam.
"Nggak berfungsi telinga kau? Tiap hari Mamak bilang, 'Galih, jangan main air, Nak.' Sampai seratus kali Mamak ulang-ulang, nggak juga masuk ke otak kau, ha?!"
Lagi-lagi pantat Samudera menerima tepukan demi tepukan. Sakit pasti, aku dulu merasakannya. Halimah hanya bisa memilin-milin baju di sudut bak mandi. Dia takut melerai, takut disemprot tentunya.
"Mak, Mak ... sudah, kasihan!" Kutarik tangan Samudera. Dia bersembunyi di belakangku.
"Eh kau siapa? Kalau nggak dibeginikan, dia nggak paham-paham. Kau nggak tahu kan rasanya cuci baju tiga ember baskom tiap hari. Awas kau nggak!" bentak Mamak dengan wajah bengis. Ah, Mamak ... masih segalak dulu.
"Aku kebetulan lewat, nampak Mamak marah-marah, kasihan dia, Mak."
"Itu dia anak bungsuku. Jangan kau ikut campur pulak. Ada lagi tiga yang nggak kalah jogalnya.
Ntahlah, pening pula. Salah makan apa aku dulu ketika mengandung. Punya anak empat, sama semua tabiatnya. Nggak karu-karuan."
[Jogal : nakal]
Mamak melirik ke Halimah. Ya seperti melihat ke orang asing. Seperti orang tidak kenal. Tak bicara apa-apa.
Setelah mencuci kaki dan tangan, Mamak kembali ke rumah melewati pintu depan. Artinya Mamak memutar dulu sebelum mencapai pintu. Sepanjang itu juga Mamak terus mengomel dengan gaya khas beliau.
"Limah, tabah-tabahkan hati kau, Nak." Wak Wati muncul dari belakangku. Membawa tiga kelapa matang yang sudah dikupas.
"Iya, Wak. Imah nggak masalah."
"Sam, kau juga anak kuat. Persis bapak kau kocik dulu. Sudahlah pintar, ganteng, baik hati pula." Wak Wati mengusap pipi Samudera. "Oh ya, nanti Wak mau bikin bubur, kau jemputlah nanti. Khusus untuk kau Sam, Wak masakkan dengan resep spesial."
Samudera berjingkrak kegirangan. Dia memang sedekat itu dengan Wak Wati. Harusnya dia panggil opung, tapi ya tersebab semua orang panggil Wak, dia pun ikut-ikutan.
Halimah melanjutkan pekerjaannya. Samudera mengekor dengan Wak Wati, katanya mau menemani Wak-nya mengaduk bubur. Aku masuk ke rumah melewati pintu dapur.
Mamak duduk lagi di depan jendela, murung seperti biasa.
Kubawakan segelas teh panas untuk Mamak. Tadinya aku akan ke rumah Pak Kepling, mana tahu ada yang bisa dikerjakan. Ya begitulah, kerja serabutan setiap hari.
[Pak Kepling--Kepala Lingkungan : Pak RT]
Kek mana lagi ya kan we, keahlian khusus tak punya. Sekolah hanya tamat SMA. Mau buka usaha, modal yang tak ada.
"Mak, ini teh panas, minumlah sikit."
"Eh, kau repot-repot pula. Mauliate ya sudah kau bikinkan Mamak kopi. Enak aromanya, pintarnya kau meramu."
[Mauliate : terimakasih]
Dalam hatiku, 'teh panas disangka Mamak kopi, sampai kek gini kali terbolak-baliknya pikiran Mamak.'
Mamak murung lagi setelah meneguk sedikit teh di genggamannya. Lirih terdengar suara Mamak menembangkan salawat nabi. Hebatnya ayat suci menurutku, ayat Alqur'an, salawat, doa-doa, tak luput dari ingatan Mamak. Masya Allah.
Apa yang terjadi setelah baku hantam via telepon tempo hari dengan Abang-abangku? Aku dikeluarkan dari grup WA. Lebih menyakitkan lagi, yang mengeluarkan adalah istri Bang Anton. Beliau bidan bernama Sarifah.
Setelah itu, tak sekalipun aku hubungi mereka lagi. Baik Bang Anton, Bang Hendar atau Si Sumo. Pantang bagiku meminta belas kasih mereka.
Jika ada kiriman uang, Wak Wati yang jemput ke agen. Pun mereka mengabari ke HP Wak Wati, bukan ke aku. Keinginan Mamak agar kami rukun, nampaknya semakin sulit untuk diwujudkan.
"Nak, kau tahu anak-anakku?" Mamak menoleh padaku, air mata menggenang di sudut matanya.
Mamak meneguk lagi teh dalam cangkir putih di tangannya.
"Namanya Anton, Hendar, Danang, dan si bungsu Galih. Belakangan aku sering memimpikan mereka. Ntah di mana mereka sekarang."
"Mamak rindu dengan mereka?" Aku bertanya hati-hati.
"Tak terkatakan, Nak. Mereka ... semoga merasakan Rindu yang sama. Aku tak ingin mati menahan pedih ingin bersua, Nak. Seperti Bapak mereka dulu."
"Bapak meninggal ...."
"Iya, malam itu Bapak menangis sangat lama. Ketika itu hari ulang tahun anakku yang sulung, Anton. Teringat dulu sekali, ketika Anton masih sekolah di SMP ... Bapak membuatkan nasi kuning untuknya.
Bahagianya Anton masa itu, sebab tak pernah ada perayaan ulang tahun sekalipun untuk dia dan adik-adiknya. Adiknya yang tiga turut bersuka cita.
Sorak sorai di rumah ini, menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Ada nasi kuning dan ayam bakar alakadarnya. Tapi anak-anakku itu begitu senang. Lelah kami sepanjang hari sirna seketika melihat tawa bahagia anak-anak."
Mamak menyeka sudut matanya dengan kerudung yang ia kenakan. Mataku juga terasa mengembun. Aku ingat betul malam itu, hanya kebagian sayap, tungkai, dan leher ayam. Si Sumo tak tertandingi kalau urusan melahap makanan.
Sementara aku lamban mengunyah. Pertama, karena tak biasa makan cepat-cepat. Kedua, gerahamku banyak bolongnya, jadi mesti hati-hati kali kalau mengunyah.
"Kerinduan itu menjadi penyakit untuk Bapak mereka, untuk suamiku. Pagi harinya beliau sudah tak ada. Hanya si bungsu yang pulang. Datang dengan anak istri, hanya membawa badan.
Aku tahu, hidup si bungsu tak semujur kakak-kakaknya. Merantau ke Riau, memulai hidup dari bawah. Namun, Nak ... Galih si bungsu itu memang seperti namanya, hati yang bersih.
Dari kecil, dia banyak mengalah dengan keadaan. Termasuk mengalah pada kakak-kakaknya dalam banyak hal. Kadang aku merasa gagal menjadi Mamak yang adil. Galih itu terlalu sabar dan lunak hatinya. Bukan nggak bisa tegas, dia kalau terlampau marah memilih diam dan memendam sendirian."
Hampir aku meratap mendengar penuturan Mamak. Iya, cukuplah rasanya aku mengalah dari dulu. Untuk marah, aku pun hanya bisa marah biasa. Nggak bisa marah sampai memutus pertalian darah.
Tiap hari Halimah mengingatkan agar minta maaf pada mereka, abang-abangku. Untuk saat ini barangkali belum. Entahlah nanti aku nggak tahu.
"Anak-anakku sudah besar semua, sudah jadi orang semua. Mereka sudah punya hidup masing-masing. Aku tak berhak menuntut banyak." Mamak lagi-lagi menyapu air mata yang menetes.
"Kadang-kadang aku menyesal, terlalu sering memarahi mereka ketika masih anak-anak. Barangkali itu sebabnya mereka tak mau lagi pulang. Dulu aku begitu keras menghukum kelakuan mereka.
Nak, kalau kau nanti punya anak, jangan terlalu keras ya. Di mana rumah kau di sini? Anak siapa kau rupanya?" Mamak menoleh padaku.
Astaga, aku harus jawab apa.
"Namaku Galih, Mak. Orangtuaku asli sini pula. Bapakku meninggal tahun lalu. Aku pun baru balik, sebelumnya merantau ke Riau."
"Oh, kau senama dengan bungsuku. Ada rupanya kelen saling kenal?"
"Kenal, Mak."
"Cam mana kabar Galih anakku di sana, ada dia baik-baik aja kan? Anak istrinya semua, sehat kan?"
"Iya, Mak. Mereka semua sehat."
"Syukur alhamdulillah. Kalau kau jumpa dengan Galih anakku, bilang kalau Mamak di kampung rindu dengannya ya. Suruh dia pulang sebentar. Ingin kali loh aku cubit-cubit pipinya." Mamak tergelak sedikit.
"Iya, Mak." Gemuruh di dadaku entah mungkin terdengar hingga keluar.
"Tiap malam, tiap tahajjud tak lupa kutitipkan doa untuk mereka. Ya Allah Ya Tuhanku, jaga anak-anakku saat penjagaanku tak sampai pada mereka. Ya Rabb, peluk dan balur kepedihan hidup di rantau saat tanganku ini tak sampai untuk memeluk mereka." Mamak menerawang jauh ke seberang jalan.
Aku sudah menitikkan air mata sekian kali. Begitu lembutnya hati seorang ibu. Meski anak-anak jauh, doa ibu tak pernah putus.
"Kau percis seperti anakku, Nak. Lembut dan ramah bila berkata. Dari empat putraku itu, Danang paling usil kerjaannya. Galih inilah bulan-bulanan mereka bertiga."
Selepas berkata demikian, Mamak menaruh cangkir teh di nakas tepat kursi yang beliau duduki. Perlahan berjalan ke kamar mandi. Kembali ke kamar dan mengenakan mukena.
"Mamak salat apa?" tegurku, jam dinding baru menunjukkan pukul tiga.
"Mamak salat Magrib. Habis ini mau ke surau jemput anak-anak. Mereka nggak akan berani pulang kalau nggak dijemput. Padahal empat kakak beradik, masih ajanya takut diculik begu.
Oh ya, kalau mau makan silakan, Nak. Nggak palalah kau malu-malu. Anggap saja rumah kau ya, itu ada nasi, ada sambal tahu di bawah tudung.
Maklum ya, Nak. Cuma ada makanan biasa. Dahlah, aku salat sebentar, lepas wudhuku nanti."
[Tak palalah : tak usahlah, tak perlulah]
Kutinggal Mamak, Halimah masih sibuk memasak di dapur. Aku hendak ke rumah Marta. Teringat bahwa suaminya sudah pulang. Bayang-bayang diagnosa Samudera masih menghantui pikiran aku ini.
"Cari siapa, Bang?" sapa seseorang dari dalam rumah, pintu terbuka.
"Marta ada?" Aku tak kenal dengan orang ini, dulu pun tak pernah jumpa rasanya.
"Ooh, Tante Marta lagi ke kota dengan suaminya. Awak ponakan suami Tante Marta, Bang. Abang mau masuk?" tawarnya tersenyum.
[Awak : saya]
"Nggaklah, Dek. Nantilah aku kemari lagi. Perlunya dengan Marta. Abang permisi kalau cam tu ya."
[Cam tu : seperti itu]
Sesampainya di rumah, Mamak sedang mondar-mandir macam setrikaan di halaman. Tak lupa pegang ranting pohon. Mamak menitah angin, seolah-olah ada orang di halaman itu. Padahal tidak ada pun sama sekali.
Orang yang nggak paham, pasti mengatakan Mamak kami gila. Ya wajar, Mamak bicara sendiri.
"Cabut rumputnya, kelen nggak bosan kena marah terus, ha? Itulah makanya pergunakan benak kelen itu untuk berpikir." Mamak mengomel sambil menunjuk-nunjuk ke arah depan.
Seakan-akan ada orang yang jadi lawan bicaranya.
"Lagi apa Mamak loh?" Kudekati Mamak.
"Ini loh, mereka habis main lumpur. Tengoklah, berkubang macam kerbau. Nggak pula mau mandi. Ya terpaksa aku hukum cabut rumput sampai bersih.
Eh kau, Danang ... jangan sok-sokan lemas pula! Kau pun Hendar, pura-pura sakit perut. Memanglah kelen!
Nggak kasihan kelen sama Mamak ini, we? Tiap hari merepet sampai robek mulut Mamak. Nggak terpikir kelen, betapa capeknya Mamak gundar baju kelen ini nanti.
Nakku, tolonglah berpikir sedikit. Kelen dikasih otak sama tuhan untuk dipakai, buat digunakan berpikir, bukan untuk pajangan!" Mamak terus saja marah sambil mengacungkan ranting di tangannya.
Makin tersayat-sayat hatiku tengok Mamak. Belum lagi, dua hari ke depan harus pergi menebus obat-obatan dan vitamin beliau ke rumah sakit. Ada yang dicover asuransi kesehatan, ada yang nggak.
Masalahnya, tak ada dananya.
Kukikis habis gengsi dan rasa tinggi hati. Pesan singkat kukirimkan pada Bang Hendar.
[Bang, tolong masukkan lagi ke grup.]
Hitungan menit, sudah berada di grup lagi aku.
[Ada Galih?]
Begitu pesan dari Kak Siska, istri Bang Danang.
[Assalamualaikum, horas. Setelah diusir diam-diam, aku pun masuk lagi. Tak palalah terlalu benci pada si miskin. hahahaha.]
Kuintip info siapa yang baca. Semua anggota grup ternyata online.
[Tolong kau apakan pesan ke apa Abang, Lih.]
Balasan dari Bang Anton.
Maksud dia itu, japri Abang alias chat secara pribadi ke dia. Langsung aku tekan namanya, mengetik secepat mungkin.
[Horas, Abang sulung. Apa kabar kau?]
Kukirimkan segera padanya, hitungan detik terlihat dia mengetik.
[Kek mana Mamak kita, Dek]
[Mamak sehat. Oi, lusa harus tebus resep. Aku nggak ada duit.]
[Besok Abang kirim, perlu berapa kau?]
[Tiga ratus. Pagi kau kirim ya, awas kau lambat. Aku sorak-sorakkan di grup.]
[Otak kau bersorak!]
Aku tertawa sedikit. Sial kali berurusan dengan orang ini.
[Bang ....]
Kukirim lagi pesan padanya.
[Apa lagi, we?]
[Berhubung aku anak bungsu, kata Mamak bungsu kebanggaan yang lemah lembut hatinya. Maka dengan pesan ini kubilang sama kau ... tolong kau maafkan Adek kau ini, bila ada salah-salah kata baik yang sengaja mau pun yang disengaja kali.]
[Aku nggak mau buat kecewa Mamak juga, setelah Bapak kita buat sakit bersama-sama. Aku baru tau loh, Bang. Malam sebelum Bapak pergi, beliau menangis teringat ulang tahun kau.]
[Jadi kek mana, ada kau maafkan aku kan?]
Semua pesan itu sudah bercentang biru. Artinya sudah dibaca sama Bang Anton.
[Rasanya ingin kugibalkan kepala kau, Lih.]
Balasan darinya begitu menggelikan.
{Gibal : pukul}
[Ya terserah kau ajalah ya, yang penting besok pagi kau kirimkan duit, dah!]
[Abang mau bicara panjang dengan kau, tapi nantilah. Tunggu kondisi sedikit kondusif.]
[Ih ngeri kali bahasa kau, haha. Kalah bahasa si Sumo. Ya terserah kau ajalah, Bang ... aku ini kan nggak ada terikat waktunya, kapan pun kau telepon pasti kuangkat.]
[Titip dulu Mamak sebentar, Lih. Abang pasti pulang secepatnya. Pedih kalau Abang ceritakan sekarang.]
Ntah apa-apa Bang Anton ini. Nambahin beban pikiranku aja dia. Belum sempat kubalas pesannya, panggilan dari Kak Sarifah masuk pula.
Kagok tanganku mengangkat. Bukan apa-apa, selama ini tak pernah komunikasi secara pribadi. Sebatas berbalas pesan di grup ajanya.
"Galih?" serunya, suara Kak Sarifah nyaring.
"Oi, Kak?"
"Berhentilah mengemis duit dengan suamiku. Kau kan ada badan sehat, kok nggak usaha? Mau sampai kapan nadah tangan terus. Kau sangka Abang kau kaya raya. Dia juga ada keluarga, ada anak, ada kebutuhan rumah tangga." Kak Sarifah berkata dengan kecepatan tinggi.
"Alamakjang, bukan untuk aku loh, untuk berobat Mamak."
"Ya terus apa gunanya kau di kampung kalau apa-apa masih menyusahkan Abang kau?"
"Baaahh, lancang kali mulut kau, Kak. Kau rupanya biang kerok makanya cuma seratus ribu kiriman abangku. Oi, Kak ... hidup jangan terlalu bedangkik, nggak diterima bumi kau nanti kalau mati."
Kutekan tombol merah, panggilan berakhir. Bodat kah dia Atau otaknya beku.?
"Dikiranya harta dibawa mati, untung perempuan, kalaulah itu laki-laki kuajak duel satu lawan satu. Puk*mak, bab*, bodat kali kau! Disangkanya aku mengemis, ya Tuhan." Aku bicara sendiri sambil guling-guling jari di layar HP.
"Kau berantam lagi dengan Abang kau, Lih?" Mamak berujar lirih dari sampingku. Aduh, sejak kapan Mamak di sana? Semoga Mamak nggak dengar ocehan Sarifah bodat tadi.
[Bodat : monyet]
Aku menggeleng, gelagapan.
Mamak duduk di sisi kiri, mengusap cambang tipis di pipiku, mengulas senyum manis nan damai.
"Dengan ipar kau?" Mamak menilik jauh ke dalam mataku "Nak, semarah-marahnya engkau dengan kakak ipar kau itu, jangan umpat dia dengan kata kotor dan binatang. Kek manapun, dia kakak kau juga, istri Abang kau.
Kau kan anak bungsu kebanggaan Mamak." Mamak tersenyum lagi.
Lalu, Mamak berpindah ke kursi yang biasa beliau duduki. Melempar tatap ke seberang jalan seperti biasa.
"Galih, habis ini mengaji ke surau. Nggak bawa jajan dulu ya, Nak. Mamak nggak punya duit sikit pun.
Nanti kalau ketemu ketiga Abang kau, suruh pulang. Biar Mamak pecut pantatnya. Sudahlah senja raya, nggak tahu jalan ke rumah. Dipikirnya nggak risau pikiran orang tua."
Dalam hatiku, 'Ampunkan kami, Mak ... terlalu lama menghadirkan risau di hati Mamak. Sampai setua ini anak Mamak semua, belum mampu membahagiakan Mamak.'
Terbit juga air mata ini pada akhirnya.
Tbc
_________________

Komentar Buku (182)

  • avatar
    Amarilis

    cerita yang sangat menggugah hati dan juga bagus. Semangat thor

    22/04/2022

      0
  • avatar
    LaiaDewimanis

    sangat terharu dgn ceritanya mama... maafkan aku dgn sikap aku selama ini 😌🙏

    23d

      0
  • avatar
    salamzulfa

    bagus sekali

    28d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru