logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Memutilasi Rambo

'Hari ini rasanya lelah sekali, kerjaan kantor menumpuk, mana tadi si bos marah-marah terus. Apesnya lagi pulang kerja ban motor pakai acara bocor pula. Haduh … mana perut sudah keroncongan minta diisi. Sampai rumah nanti aku mau makan yang banyak, semoga saja Markonah masak enak hari ini,' gumamku sepanjang jalan pulang.
Namun kenyataan tidak seindah harapan, sesampainya di rumah ternyata aku melihat Markonah duduk santai sambil nonton sinetron ikan terbang ditemani kacang goreng kesukaannya, sedangkan kondisi rumah saat itu sudah seperti kapal pecah.
"Markonah, jadi ini kerjaanmu selama aku pergi bekerja? Main HP sambil ngemil saja sedangkan rumah berantakan seperti kapal pecah." Tentu saja aku yang baru pulang kerja marah-marah melihat kelakuan Markonah.
"Baru juga istirahat Pa, dari tadi anakmu rewel tidak mau tidur tau," 
jawab Markonah tidak kalah sengit.
"Halah, alasan saja kamu ini. Cepat siapkan makan untukku, aku sudah lapar," ucapku sambil berjalan ke arah dapur. 
Markonah bergegas mengambil nasi ke piring dan meletakkan di depanku yang sudah duduk manis di kursi.
"Makanan apaan ini? Sayur bayam sama ikan asin?" protesku.
Melihat menu yang ada di meja makan benar-benar membuat nafsu makanku menurun drastis.
"Memangnya kamu mau makan apa, Pa?" tanya Markonah sembari duduk di kursi.
"Sesekali masak ayam goreng kek, rendang sapi kek, jangan ikan asin sama tempe terus dong."
Wajar dong aku minta makan yang enak, kerja capek-capek masak dikasih ikan asin terus, dapat gizi dan tenaga dari mana coba?
"Hey Bambang, memangnya berapa uang yang kamu berikan kepadaku, hah? Sok-sokan minta ayam segala, masih mending kita bisa makan hari ini, bisanya komplain saja kamu ini."
Merkonah mulai meninggikan suaranya karena merasa tersinggung dengan ucapanku.
"Masak seratus ribu untuk seminggu tidak cukup sih? Kamu ini jadi perempuan jangan boros-boros dong."
"Boros m*t*mu itu! harga sembako semakin mahal, tapi uang belanja tidak pernah kamu tambah. Sedangkan kamu sendiri bisa menghabiskan limapuluh ribu dalam sehari hanya untuk beli rokok, mikir dulu sebelum ngomong mbang!" jawab Markonah sewot.
"Aku kan kerja, ya wajar saja aku memakai uang itu untukku membeli rokok. Lagian kamu ini makannya banyak banget pantesan beras cepat habis. Lihat badanmu itu sudah seperti gajah saja, diet napa? Dompet yang ditebalin dong jangan lemak saja yang ditambah."
"Aku kan sedang menyusui, wajar dong kalau makan ku banyak, aku butuh nutrisi agar ASI melimpah. Nanti kalau anak kita badannya kecil atau sakit-sakitan karena kurang gizi, aku juga yang kamu salahkan. Kamu tahukan kalau ASI itu makanan yang paling bagus untuk si gemoy yang belum berusia satu tahun?"
"Ngeles saja kalau dibilangin, terserah kamu lah. Aku mau pergi ke rumah pak RT dulu, pokoknya aku pulang sudah harus ada ayam goreng di atas meja."
"Uangnya mana, Pa?"
"Pakai uangmu dulu Markonah."
Aku pun bergegas keluar rumah untuk pergi ke rumah pak RT. Rasanya dongkol sekali di rumah, maen ke tempat pak RT pasti bisa menjernihkan pikiranku.
...
POV Markonah 
Aku memang punya simpanan uang tapi tidak akan  kugunakan hanya untuk membeli ayam. Dia bilang menyuruhku menebalkan dompet? Uang belanja darinya saja cuma sedikit kok. Dia tidak tahu kalau aku juga punya penghasilan sendiri dari berjualan dan menulis online. Aku memang merahasiakannya, bisa-bisa tidak dapat jatah bulanan kalau Bambang sampai tahu.
Enak saja minta ayam goreng sedangkan dia sendiri tidak memberiku uang. Jangan salahkan aku jika rambo aku mutilasi hari ini!
Aku bergegas ke belakang rumah untuk mengambil ayam jago kesayangan Bambang. Segera aku sembelih dan kubersihan bulunya, aku memotongnya menjadi beberapa potong. Sebagian untuk simpan di dalam freezer dan sebagian  digoreng.
Terlebih dahulu aku membuat bumbu untuk mengungkep ayam tersebut. Setelah selesai mengungkep dan menggoreng ayam, segera kuhidangkan di meja makan.
Segera kucuci mentimun dan daun kemangi di dalam kulkas. Cabe, bawang dan tomat untuk membuat sambal juga dicuci terlebih dahulu, tidak lupa aku menambahkan terasi biar lebih sedap. Hmmm …membayangkan makan ayam goreng dan lalapan saja sudah membuat air liur menetes.
Pulang dari rumah Pak RT, Bambang langsung menuju meja makan. Dia terlihat takjub melihat ayam goreng beserta sambal dan lalapan sudah tersaji di meja makan.
"Nah, begitu dong, sesekali makan ayam, jangan ikan asin terus," ucap Bambang sambil berniat duduk di kursi.
"Eit, mau kemana Pa?"
"Mau makanlah, sudah lapar sekali ini," jawabnya tanpa rasa berdosa.
"Helo Bambang, jadi orang jangan jorok dong, cuci tangan dulu sana. Kamu tuh dari luar rumah tidak tahu tadi sudah pegang apa saja, banyak kuman di tanganmu itu," ucapku.
"Iya, iya, Markonah, dasar bawel," 
jawabnya sambil menggerutu.
"Heh? Ngomong apa kamu tadi?" 
"Eh, tidak kok, aku cuci tangan dulu sayang."
Bambang bergegas menuju wastafel untuk mencuci tangannya.
"Yang bersih cuci tangannya."
"Iya Ma."
Bambang makan dengan lahap bahkan sampai nambah dua piring nasi.
"Huh, hah, sedap banget sambalnya Mah, ayam gorengnya juga sangat nikmat," ucap Bambang sambil sesekali mengusap peluhnya.
"Iya dong Pa, siapa dulu yang masak," jawabku sambil membusungkan dada.
Aku juga sangat menikmati makanan kali ini karena belum tentu sebulan sekali aku bisa makan ayam. Apalagi untuk makan daging, jarang banget. Palingan waktu idul adha saja kami bisa makan daging dengan puas. 
"Lain kali Mama masak ayam seperti ini lagi ya, beli di mana tadi ayamnya?"
'Masak lagi? Ok lah kalau begitu, masih ada jambul di kandang kok. Lain kali pasti akan aku mutilasi lagi.'
"Tidak beli kok, gratis," jawabku santai.
"Masak ada ayam gratis sih? dikasih tetangga kah?" tanya Bambang penasaran.
"Tidak, ayam kita sendiri kok," jawabku.
"Ayam kita? Kita kan tidak memelihara ayam Ma, terus ayam darimana dong?"
Sepertinya Bambang belum paham dengan maksud ayam kita. Aku akui dia itu memang sedikit lemot untuk mencerna dan memahami sesuatu.
"Ada kok dua ekor."
"Dua ekor?" Bambang masih mencoba mencerna kalimatku. Setelah berpikir cukup lama dia baru paham maksudku.
"Jadi ayam ini…." Bambang tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena merasa syok dengan kenyataan yang terjadi.
"Iya, itu rambo, enakkan, Pa? Lain kali aku masak lagi deh Pa, mau di goreng apa dibuat opor? Lumayan kan masih ada seekor di belakang, dari mana lama-lama ayam itu mati karena umurnya yang sudah tua mending kita nikmati saja kan Pa?" jawabku santai sambil terus mengunyah ayam goreng.
"Rambo."
Gubrak … Bambang pun pingsan mendengar penjelasanku.

Komentar Buku (60)

  • avatar
    AicaBocil

    ceritanya sangat bagus sekali saya suka

    27d

      0
  • avatar
    NiRa

    bagus ceritanya

    29d

      0
  • avatar
    s******e@gmail.com

    ceritanya sangat bagus

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru