logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bambang  Dan Markonah

Bambang Dan Markonah

Eka Bigmama


Bab 1 Kondangan

Di sebuah kota kecil hiduplah sepasang suami istri yang sangat 'harmonis', jika salah satu dari mereka melakukan tindakan jahil atau usil maka si korban akan membalasnya. Ini adalah kisahku, kisah keluarga kecilku yang penuh warna.
Namaku Bambang Gentholet, pria tertampan di desaku. Aku menikah dengan seorang kembang desa yang bernama Markonah. Kehidupan rumah tanggaku bisa dibilang sangat tentram. Meskipun sering terjadi pertengkaran tapi kami tetap saling menyayangi satu sama lain. Bukankah pertengkaran itu adalah bumbu untuk suatu hubungan agar tidak monoton dan hambar?
Hari ini kami mendapat undangan  ke tempat orang nikahan. Dari pagi Markonah sudah sibuk di depan cermin. Entah apa yang dia lakukan yang pasti aku di buat repot olehnya karena semua pekerjaan rumah tangga aku yang harus mengerjakannya.
"Bang, kita mau pakai baju apa nih?" tanya Markonah.
Dia kadang memanggilku dengan sebutan Abang atau memanggil namaku saja saat di rumah, tetapi kalau di tempat umum kami akan saling memanggil dengan sebutan Mama dan Papa.
"Batik saja, Ma."
"Yang warna apa, Bang?"
"Yang warna hijau itu bagus."
"Tapi punyaku sudah kesempitan, Bang."
"Kalau begitu yang warna biru saja." 
"Punyaku yang biru itu sobek di bagian lengan."
"Yang coklat bagaimana?"
"Yang itu ada noda di dada dan tidak bisa dihilangkan, sudah aku sikat berkali-kali tapi nodanya bandel sekali."
"Kalau yang merah?"
"Masak merah lagi sih Bang? Minggu lalu kita sudah pakai yang itu loh, malu dong kalau tidak ganti."
"Terserah sajalah, aku ngikut kamu."
"Kok kamu gitu sih Bang, ditanyain pendapat selalu jawabnya terserah," ucap Markonah mulai merajuk.
"Habisnya kamu itu ribet banget. Pakai saja baju yang ada."
"Yasudah lah, kita tidak usah couplean. Pakai baju sesukamu!" Markonah merajuk dan masuk ke kamar.
Aku mengambil baju batik biru dengan celana hitam dan sepatu hitam. Warna biru selalu membangkitkan rasa percaya diriku.
Tidak lama kemudian Markonah keluar dari kamar dengan dandanan yang unik. 
"Ya ampun Nah Markonah, kenapa pakaian kamu seperti itu sih? Nabrak-nabrak menggangu pemandangan saja."
Aku melihat Markonah sudah selesai berdandan, baju pink, rok biru, sepatu merah dan tas besar berwarna hijau dia kenakan. Tidak lupa pulasan bedak tebal dan lipstik merah menyala dia kenakan di bibir jontornya. Benar-benar seperti ondel-ondel.
"Memang salahnya di mana sih Bang? full colour gini kok dikomplain, jadi meriah kan kesannya?" jawab Markonah dengan PD.
"Meriah apanya? Coba kamu ngaca deh, yang ada orang tuh ketawa liat kamu kaya gini. Cepat ganti baju sana."
"Tidak mau, pokoknya ini pakaian OOTD ku," jawab Markonah keukeuh.
"Abang malu lihat kamu kaya gini Nah."
"Kenapa harus malu? Karena aku gendut?" Markonah mulai merepet ke mana-mana, entah kenapa kalau sedang marah pasti selalu menyinggung masalah berat badan. Memangnya cewek selalu begitu ya? bingung aku.
"Bukan Markonah, tapi karena pakaianmu itu."
"Sudah lah, bilang saja kalau aku gendut, jelek, tidak perlu pakai alasan pakaianku."
"Ya ampun Nah, beneran bukan karena itu…."
"Bilang saja Abang tidak mau mengajakku karena sudah ada janji dengan teman Abang kan?"
"Tidak Markonah, yasudah ayo kita berangkat." Aku mulai geregetan, dari pada bertengkar terus akhirnya Aku lebih memilih untuk mengalah.
Aku mulai menyalakan sepeda motor buntutku. Ngik … ngik …terdengar bunyi skok motor yang meronta saat Markonah mulai duduk manis di belakangku. 'Ya Allah … semoga sepeda motorku baik-baik saja menerima beban sebesar gajah.'
Sepanjang perjalanan tidak sedikit orang yang melihat ke arahku. Wah … sepertinya level kegantenganku meningkat dengan memakai batik ini. Dengan percaya diri aku terus membusungkan dada karena merasa jadi bahan perhatian.
Sampai di lampu merah ada seorang pengendara yang berbicara denganku.
"Bang, dapat 'tanggapan' kemana?"
"Maksudnya apa ya?"
"Itu ondel-ondel mau dibawa kemana?" jawab orang tersebut sambil tertawa.
Ya Allah, aku malu sekali, saat lampu berubah hijau aku segera melajukan sepeda motorku. Ternyata, dari tadi mereka bukannya memperhatikanku tetapi istriku.
"Mah, ayo kita pulang dulu?"
"Kenapa sih, Pah? Ini sudah mau sampai loh."
"Kita pulang dulu, Mama ganti dulu bajunya."
"Tidak, pokoknya Mama tidak mau, Mama saja percaya diri kok pakai baju ini. Jangan dengarkan omongan orang lain dong."
"Tapi Ma…."
"Pokoknya tidak! Kalau Papa malu nanti duduknya kita jauh-jauhan."
"Yasudah lah." Akhirnya aku hanya bisa pasrah dengan keputusan istriku.
Sampai di tempat hajatan, kami pisah tempat duduk. Aku menggerombol ke teman kantorku. Sedangkan Markonah menuju ke kumpulan ibu-ibu.
"Eh, lihat itu ada ondel-ondel datang," ucap seseorang.
Aku tahu orang yang dia maksud adalah istriku tapi aku memilih diam saja. Doaku satu semoga acara kondangan ini cepat selesai sehingga aku tidak perlu berinteraksi dengan istriku.
"Pa, sini Pa."
Markonah memanggilku tetapi aku hanya diam pura-pura tidak mendengarnya.
"Pa, Papa."
Karena tidak ada tanggapan dariku dia terus memanggilku.
"Paahhh…." 
Dia memanggilku lagi dengan nada yang lebih tinggi menyebabkan semua orang menoleh padaku. Aku berusaha memberi isyarat kepadanya untuk diam tetapi dia tidak paham.
"Apa sih Papa ini, dipanggil-panggil tidak menoleh," ucapnya mulai kesal.
Aku mencoba memberi isyarat kepadanya lagi tetapi dia malah menghampiriku. Aduh … gawat nih, si gajah datang.
"Ayo Pa kita ke panggung dulu,"  ucapnya saat sudah berada di dekatmu. Kudengar orang-orang berbisik sambil mencemooh pakaian istriku.
"Ngapain sih ke panggung?" Gil* apa? Disini saja dia sudah cukup menjadi pusat perhatian. Apalagi kalau sampai naik ke panggung.
"Ya ngucapin selamat kepada pengantinnya dong, Pa."
Oh iya, aku sampai lupa kalau kesini menghadiri hajatan orang kawinan.
"Mama saja lah, Papa tunggu disini," ucapku mencoba menolak.
"Tidak bisa begitu dong Pa, dia kan teman Papa, masak Mama sendiri yang ke sana."
"Tapi Ma…."
"Sudah, ayo cepetan." Markonah menyeretku ke panggung. Dengan terpaksa aku mengikutinya.
Dari ekor mataku bisa kulihat tatapan mengejek dari tamu undangan yang melihat kami. Aku hanya bisa menunduk menyembunyikan rasa maluku.
Setelah sampai di panggung aku segera menyalami kedua pengantin. Saat menyalami mempelai pria dia membisikkan sesuatu kepadaku.
"Dapat darimana istri model beginian Mbang? Nyentrik banget gayanya," ucapnya sambil menahan tawa.
Aku yang merasa malu tidak menjawab pertanyaannya dan langsung turun dari panggung, bergegas keluar dari gedung.
"Pa, tungguin Mama."
Aku tidak menghiraukan ucapannya dan terus berjalan keluar.
"Pa…."
Bruuukk … terdengar ada bunyi benda jatuh, aku pun menoleh kebelakang untuk melihat apa yang terjadi.
Astaga, hal yang terjadi membuatku mengelus dada. Tas besar yang dibawa Markonah jatuh dan membuat isinya berhamburan kemana-kemana. Yang lebih membuatku malu ternyata isinya makanan dari tempat kondangan.
Aku berbalik dan terus menuju ke tempat parkir tanpa memperdulikan Markonah.
"Jiaaaan … duwe bojo kok ngisin-isini tenan (punya istri kok memalukan sekali)."

Komentar Buku (60)

  • avatar
    AicaBocil

    ceritanya sangat bagus sekali saya suka

    27d

      0
  • avatar
    NiRa

    bagus ceritanya

    29d

      0
  • avatar
    s******e@gmail.com

    ceritanya sangat bagus

    21/08

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru