logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 4 Pinjamkan Aku Bajumu

Pintu terbuka menampilkan sosok Reynand, dia terkejut melihat wajah memerah Alissa.
"Panas," lirih Alissa.
Reynand pun membantu Alissa berdiri, inderanya langsung diserbu aroma pedas. Dia tak bertanya, dia langsung membawa Alissa ke dalam.
"Air ... air! Panas!"
Buru-buru Reynand memasukkan Alissa ke kamar mandi. Menyalakan keran mengisi bathtube. Alissa langsung melepas pakaiannya sontak Reynand membulatkan mata melihat tubuh Alissa yang kini membara.
Reynand meninggalkan Alissa di dalam kamar mandi, dia berjalan mondar-mandir sambil menggigit tangannya, tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Hingga satu jam lamanya, Alissa belum keluar lagi. Reynand kembali mengetuk pintu kamar mandi.
"Alissa! Kamu tidak apa-apa 'kan di dalam?"
Tak ada sahutan, hingga beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok Alissa yang hanya mengenakan sebuah sport bra. Lalu, tubuhnya kembali merosot.
Reynand langsung mendekat. "Alissa!" ujarnya sambil menepuk-nepuk pipi Alissa.
Reynand tak menduga hal ini akan terjadi. Hari ini, harusnya mereka mengerjakan tugas seni. Namun, justru berakhir seperti ini. Kacau.
"Kita harus ke rumah sakit." Reynand menyelipkan tangannya di bawah tengkuk dan lutut Alissa.
Namun, gadis itu tiba-tiba bergumam kecil. "Jangan!"
"Ini bukan masalah sepele, kulitmu terbakar!"
Alissa menggeleng. "Ku mohon jangan. Aku mohon!" pintanya.
Reynand hanya menghela napas, tubuhnya pun ikut basah akibat pakaian Alissa. Tatapan mata Reynand tak sengaja memerhatikan tubuh Alissa. Kali ini, dia benar-benar melihat tubuh kurus nyaris tanpa lekuk milik si gadis pucat itu.
Reynand menurunkan Alissa dari gendongannya. Dia berlalu keluar dan kembali dengan membawa es batu. Reynand menarik dua kursi, memerintahkan Alissa duduk, dan dia pun ikut duduk di depan gadis itu.
Alissa yang terkenal pemberontak kini terdiam dan menuruti ucapan Reynand.
Reynand menatap prihatin tubuh pucat Alissa yang kini membara. Dia mengoles es batu di bahu dan lengan Alissa. Dia pun tak tahu apakah es batu ini akan membantu atau tidak.
"Masih panas?" tanya Reynand hati-hati.
Alissa tak menjawab, kepalanya menunduk. Lalu, dia menepis tangan Reynand, es batu di genggamannya sontak terpelanting.
"Pinjamkan aku bajumu," ujarnya.
Reynand hanya menghela napas seraya bangkit dari duduknya. Dia mengambil baju kaus miliknya dan celana training.
Alissa langsung menyelonong masuk ke kamar mandi.
Sekeluarnya dari kamar mandi, dia melihat kepulan asap mi instan di sebuah meja kecil di lantai.
"Kamu pasti belum makan, kemari!" ajak Reynand.
Alissa melangkah dan ikut duduk melantai di depan Reynand.
"Maaf, hanya ini yang tersedia!" Reynand menuang mi ke dalam mangkuknya.
Gigi Alissa kembali saling beradu, entah mengapa matanya kembali memanas. Pemuda di depannya menyadari Alissa yang belum menyentuh mi nya.
"Makanlah!"
Alissa mengusap sudut matanya yang entah kapan berair dan Reynand menyadari hal itu
.
Keduanya menikmati makanan dalam keadaan diam hingga Reynand bertanya kembali.
"Sejak kapan Brianna merundungmu?"
Alissa mengalihkan pandangannya. "Bukan urusanmu!" jawabnya ketus.
Reynand lagi-lagi hanya bisa menghela napas.
"Kau benar tidak apa-apa?" tanya Reynand memerhatikan kulit memerah di lengan kiri gadis itu.
Alissa hanya mengangguk.
"Ayo kerjakan tugas," ujar Reynand sambil bangkit dari duduknya. Dia berlalu menuju meja belajarnya, mengambil beberapa buku dan kamera digital.
"Sekarang pura-pura saja kau mengerjakan tugas!" Reynand mengatur pemotretan dalam hitungan mundur, lalu dia berbalik dan duduk di depan Alissa, berpura-pura sibuk hingga terdengar bunyi ceklikan dari kamera.
Setelahnya, Alissa duduk terdiam saja memerhatikan Reynand yang mengerjakan tugas. Hanya tugas sederhana, soal pilihan ganda seratus lima puluh butir. Ya, Alissa mengatakannya sederhana, dia tak perlu berlelah fisik mengerjakan tugas itu. Ah, dia kan memang tak pernah mengerjakan tugas.
"Kamu tinggal sendiri?" Alissa membuka obrolan setelah hampir sejam menghening.
Reynand yang sedang menulis, tiba-tiba tangannya terhenti. "Hm," jawabnya singkat.
"Orang tuamu mana?" tanya Alissa lagi.
Kali ini, Reynand mengangkat wajah melihat Alissa.
"Kenapa kamu bertanya?"
"Aku hanya ingin tahu saja, kalau kau tak mau jawab, ya tidak usah!" Alissa memalingkan wajah.
Reynand mendengus, dia kembali menekuni soal-soal di depannya tanpa menggubris Alissa.
Gadis pucat yang kini berbalut baju kebesaran, melirik sekilas ke arah Reynand. Masih ada satu pertanyaan yang menyangkut dalam kepalanya. Namun, melihat wajah serius Reynand yang mengerjakan tugas, alhasil pertanyaannya dia simpan aja.
Hingga jam menunjukkan pukul empat sore, Alissa masih mendekam di rumah Reynand tanpa melakukan apapun. Dia hanya menatap tanpa minat rak buku di kamar Reynand.
Pemuda itu pun tidak membuka percakapan sama sekali, dia begitu fokus menyelesaikan soal di hadapannya.
"Mau kemana?" tanya Reynand. Diam-diam, dia memerhatikan gerak-gerik Alissa.
"Pulang," ujar Alissa sambil menyampir tasnya yang berdebu.
"Baru juga beberapa jam, apa kau sudah rindu rumahmu?"
Alissa membatu. Rumah baginya tak lebih dari sekedar pelindung cuaca terik dan hujan. Hanya itu.
Alissa tak menjawab, dia melanjutkan langkahnya dengan lebar.
Sesampainya di rumah, Alissa berhenti sejenak memerhatikan dua mobil di depan rumah dan suara ramai di dalam. Dia lantas memutar bola mata, lalu memutari rumah, masuk melalui pintu belakang.
Tepat saat Alissa membuka pintu, Eva sudah berdiri disana dengan maxidress ketat yang mengerlap.
"Alissa," panggilnya lirih. Tangannya terjulur hendak menyentuh bahu putrinya. Namun, urung dilakukannya.
Alissa melontarkan tatapan datarnya. "Aku bahkan tak pernah keluar kamar meskipun ada atau tidaknya acara syuting keluarga. Jangan khawatirkan aku. Urus saja anak kesayanganmu dan suamimu itu!" Setelah mengucapkannya, Alissa berlalu. Namun, langkahnya kembali terhenti dengan ucapan Eva selanjutnya.
"Dia kakak dan ayahmu, Lissa!"
Alissa melirik Eva. "Jangan panggil aku Lissa. Lagi pula aku bukan anakmu, kan? Kau sendiri yang mengatakan itu berulang kali padaku!"
"Kapan ibu pernah berkata demikian?"
Aliss berbalik. "Tiap hari, tapi kau tak menyadarinya!"
Alissa menyelonong pergi.
Eva meremas dadanya saat Alissa sudah tak memanggilnya ibu. Air matanya kembali menitik di pipinya. Dava, suaminya muncul.
"Sampai kini aku masih menyalahkan diriku atas sikapnya," lirih Eva.
Dava menghela napas. Ini pun berat baginya. "Syutingnya sebentar lagi dimulai!"
Di dalam kamar, Alissa terduduk menatap datar kucing peliharaannya yang mengelus-eluskan bulunya di kaki Alissa.
"Ibu sudah tak sayang aku lagi. Semua orang tak sayang aku lagi," gumamnya.

Komentar Buku (202)

  • avatar
    Nisya hadahNadia

    banguss bgt😍 tapi ending nya gantung bangettt, plis sambung lgi😣

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Chiaraa

    yukiiiiiii

    1h

      0
  • avatar
    HidayatullahSudirman

    sangat menyenangkan

    3d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru