logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Jangan Panggil Aku Alissa

Selama dua tahun Reynand sekelas dengan gadis dingin itu, sampai kini dia masih tak mengerti watak gadis di depannya.
"Kenapa kau senyum-senyum?" Alissa mendelik.
"Kenapa memangnya, Alissa?"
Alissa memutar bola mata. "Jangan panggil aku Alissa!"
"Itu namamu."
"Lucy, panggil aku dengan nama itu." Alissa menatap Reynand tanpa kedip.
Tawa Reynand melayang. "Baiklah, jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku bergidik."
Alissa beranjak dari ranjang, mengabaikan perih yang menjalar di wajahnya.
"Mau kemana?"
"Bukan urusanmu!" ketus Alissa.
Gadis itu melangkah tertatih-tatih menuju gerbang sekolah. Saat sebuah taksi lewat, dia segera memberhentikannya.
Saat dia tiba di rumah. Raut cemas terpampang jelas di wajah ibunya. Alissa memutar bola mata, menyelonong mengabaikan panggilan Eva.
"Ada apa lagi dengan wajahmu?" tanya Eva berjalan menghampiri Alissa. Gadis itu sontak menepis tangan Eva yang ingin melihat wajahnya.
"Urus saja anak pertamamu!" Alissa mendecih, dia mendorong ibunya yang menghalangi jalan, lantas dia masuk ke kamar, membanting pintunya dengan kasar.
"Alissa!" Eva menggedor-gedor pintu.
Dava muncul dengan tatapan sendu menghampiri istrinya. Dia memeluk istrinya yang kembali menangis.
"Ini bukan salahmu," ujar Dava menenangkan Eva.
Di dalam kamar, Alissa bertelungkup di atas kasurnya dengan tubuh yang bergetar. Linangan air matanya kembali membasahi seprainya seperti malam-malam kemarin.
Alissa benci hidupnya.
Seharusnya dia tak lahir, cukup kakak kembarnya saja.
Lihat, sekarang dia hidup dalam penderitaan karena terlahir berbeda. Dia gadis buruk rupa.
Ibunya, Eva seorang model. Bayangkan saja bagaimana cantiknya ibunya. Lekuk tubuh yang menawan dengan potongan rambut sebahu bergelombang dengan iris mata hazel.
Ayahnya, Dava seorang pebisnis yang paling diagungkan karyawati, meskipun terpaut enam tahun dari Eva. Namun, sepertinya usia tak mengikis proporsi tubuhnya. Latihan fitness beraturan membuat otot-ototnya tercetak jelas, dan Eva menjadi wanita paling beruntung bisa menikahi pria yang berdarah setengah Rusia itu.
Saudara kembar Alissa. Dia gadis sempurna, begitulah kata orang-orang yang melihatnya. Fisiknya sempurna. Di umurnya yang masih belia, wajahnya sudah memenuhi sampul utama majalah. Lekuk tubuhnya bak gitar spanyol, kulitnya yang putih. Namun, tak sepucat Alissa, mata belo bernaung bulu lentik, dan hidung mancung yang mungil. Dia bagai maneken hidup-hidup alih-alih manusia.
Lalu, Alissa. Dia lahir lima belas menit setelah kakaknya. Gen-gen dominan sudah diberikan semua oleh kakak kembarnya hingga dia hanya mendapat sisa-sisa. Mereka kembar tak identik, dan sangat jauh berbeda, atau boleh dikata semua ciri fisik kakak kembarnya adalah kebalikannya padanya. Ya, katakan saja dia jelek.
Dia benar-benar tampak bagai tiang listrik. Tinggi 171 senti meter, tiga senti lebih tinggi dibanding kakaknya, itu kelebihannya, hanya itu, dan sisanya tak lebih sama dengan tripleks. Tubuh kurus nyaris tanpa lekuk. Tepatnya tanpa lekuk, dada dan bokong rata. Kau bisa bayangkan bagaimana fisik tubuhnya, tiang listrik berjalan atau tripleks berjalan.
Wajah? Lagi-lagi dia hanya mendapat sisa-sisa gen. Alis kakak kembarnya, lurus dan rapi layaknya alis sulam. Alissa? Alis buram, nyaris hilang. Kakak kembarnya bermata bulat dengan bulu mata tebal atas-bawah. Alissa? Matanya sipit dengan sudut mata yang tertarik memanjang, sorot matanya tajam, kelopak matanya hampir tak terlihat. Kulitnya pucat mewarisi gen resesif albino ayahnya.
Jika Alissa berdekatan dengan kedua orang tuanya, dia layaknya anak adopsi, hampir tak ada kemiripan.
Alissa menenggelamkan wajahnya di bantal kian dalam. Tubuhnya bergetar seiring isak yang tertahan.
Tak lama kemudian, Eva kembali datang mengetuk pintunya.
"Alissa, ayo makan, Sayang!" ujar Eva lembut.
"Alissa!" ulangnya.
Alissa mengangkat kepala memerhatikan pintu kamarnya diketuk. "Jangan panggil aku Alissa!" teriak Alissa.
Eva menghela napas, dadanya berdenyut sakit. Dia menatap nanar nampan makanan di tangannya, lalu meletakkannya di depan pintu kamar Alissa.
Alissa tak pernah makan bersama sejak umurnya berumur 12 tahun, sejak dia mengerti tentang fisiknya. Saat kakaknya sudah diborong oleh fotografer di usia itu, dan Alissa terduduk termangu menunggu fotografer memilihnya hingga dia tahu bahwa dia tak memenuhi standar untuk menjadi model. Siapa yang ingin melirik gadis jelek berwajah pucat, dia mirip hantu ketimbang dikatakan manusia.
Eva menghela napas, bulir-bulir air matanya kembali meluruh. Meletakkan makanan di depan kamar Alissa sudah menjadi ritual bertahun-tahun.

Alissa berjalan lesu memasuki sekolahnya. Di kala siswa lain berpikir bahwa sekolah adalah rumah kedua, berbagi canda tawa dengan sahabat. Namun, tidak bagi Alissa, dia bersekolah hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya. Ya, Eva memaksanya.
Alissa menghempas tasnya di meja, menyumpal earphone-nya dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Setiap pagi selalu begitu.
Hingga mata pelajaran berlangsung, Alissa tetap menyembunyikan wajahnya. Guru yang mengajar di jam itu tidak mengambil pusing melihat Alissa di belakang, guru muda itu sepertinya sudah lelah memarahi gadis pucat itu.
"Sebelum kelas Ibu berakhir. Ibu akan membagi tugas berpasangan," ujar guru seni itu.
Sontak kelas kian ramai, menentukan pasangannya. Guru itu lantas menyela ribut.
"Tapi Ibu yang menentukan pasangan kalian!"
Semua murid mendadak lesu, satu dua berbisik terang-terangan semoga tidak berpasangan dengan gadis pemalas di bangku belakang. Alissa.
Guru itu menghela napas, dia melirik Reynand. Sepertinya pemuda itu mengerti.
"Pasangan pertama, Reynand dan Alissa!" Selanjutnya guru itu melanjutkan menyebutkan pasangan sampai di urutan 14.
Sesi kelas berakhir diikuti bel istirahat. Semua siswa berhamburan keluar.
Alissa mengangkat kepalanya saat kelas sudah sunyi senyap. Tepat di depannya, pemuda berkacamata itu menatapnya.
Alissa melengos menatap pemandangan luar jendela
"Kau dengar tadi? Kita berpasangan," ujar Reynand.
Alissa tak menggubrisnya.
Pemuda itu menghela napas. "Aku pun juga tak mau satu kelompok denganmu, tapi karena aku ketua kelas, mau tak mau menerima."
Alissa masih tak menggubris, ucapan Reynand bagai angin lewat.
Walau Reynand kesal setengah mati dicuekkan, tapi dia tetap melanjutkan kalimat selanjutnya, dia tahu, gadis di depannya mendengarnya. "Jadi, kita harus tentukan dimana kita mengerjakannya, di rumahmu–"
Alissa sontak menoleh, memotong cepat ucapan pemuda hadapannya. "Kau siswa pintar, tak perlu bersusah payah bekerja sama."
Reynand mendengus. "Ibu Kirel butuh dokumentasi."
Alissa mendecih. Dia memutar bola matanya lantas menoleh kembali menatap luar jendela. "Kau ingin menghabiskan jam istirahatmu disini?"
Reynand lagi-lagi mendengus. Jujur, dia juga tak ingin berdekatan dengan gadis angkuh dan cuek dihadapannya. Jika bukan karena permintaan wali kelasnya, Reynand ogah.
Selain itu, dia harus mendapat gelar sebagai ketua kelas terbaik agar bisa mendapatkan surat rekomendasi beasiswa ke luar negeri. Mau tak mau, Reynand harus menurut.
Saat ini, masalahnya ada pada gadis dingin di depannya. Gadis pembuat onar. Gegara dia, kelasnya dicap kelas pemalas. Tak terhitung sudah berapa pelanggaran yang dibuat oleh gadis itu hanya dalam kurun sebulan.
Anehnya, dia tak dikeluarkan dari sekolah.
Satu poin itu juga yang membuat Reynand sedikit menerima untuk mengawasi gadis itu. Bagi Reynand, Alissa gadis misterius dan hal itu menantangnya untuk mencari tahu apa kendati yang disembunyikan gadis itu.
"Kita kerjakan di rumahmu atau di rumahku?"

Komentar Buku (202)

  • avatar
    Nisya hadahNadia

    banguss bgt😍 tapi ending nya gantung bangettt, plis sambung lgi😣

    27/03/2022

      3
  • avatar
    Chiaraa

    yukiiiiiii

    9h

      0
  • avatar
    HidayatullahSudirman

    sangat menyenangkan

    3d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru